Anggota KPU Diperiksa Polisi Terkait Laporan Oesman
Oleh
Rini Kustiasih dan Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Anggota Komisi Pemilihan Umum mulai diperiksa Kepolisian Daerah Metro Jaya, Jakarta, Selasa (29/1/2019) malam hingga Rabu dini hari, terkait dengan laporan yang disampaikan oleh kuasa hukum Oesman Sapta Odang, pekan lalu. Pemeriksaan itu menyita waktu hingga berjam-jam, dan membuat sejumlah agenda atau kegiatan KPU tertunda.
Ketua KPU Arief Budiman, Rabu di Jakarta mengatakan, pihaknya harsu tetap menghormati dan mematuhi panggilan pemeriksaan dari kepolisian terkait dengan laporan Oesman. Namun, pemeriksaan yang berjam-jam itu dikaui cukup menyita waktu anggota KPU.
“Hambatannya ialah soal waktu, karena KPU kan kerjaannya banyak. Kalau dipanggil-panggil begini kan KPU harus tetap menghormati dan mematuhi pihak kepolisian. Waktunya yang akan banyak tersita,” kata Arief, yang diperiksa pada Selasa malam bersama dengan anggota KPU lainnya, Pramono Ubaid Tanthowi.
Hambatannya ialah soal waktu, karena KPU kan kerjaannya banyak. Kalau dipanggil-panggil begini kan KPU harus tetap menghormati dan mematuhi pihak kepolisian. Waktunya yang akan banyak tersita -Arief Budiman
Dalam pemeriksaan itu, kedua anggota KPU tersebut ditanyai mengenai alasan dan kronologi keputusan KPU yang memberi waktu sampai 22 Januari 2019 kepada Oesman untuk mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik sebelum dirinya dicantumkan di dalam daftar calon tetap (DCT) perseorangan anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD) Pemilu 2019.
Dalam laporannya, pihak Oesman menilai KPU telah mengabaikan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan putusan Mahkamah Agung (MA), serta putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) lantaran tidak memasukkan nama Oesman di dalam DCT anggota DPD. Pelapor juga mempersoalkan surat KPU kepada pihak mereka yang meminta Oesman untuk mundur paling lambat 22 Januari 2019.
“Kami ditanyai mengenai pemberian batas waktu sampai 22 Januari tersebut. Kenapa juga KPU bersikukuh melaksanakan putusan Mahakmah Konstitusi (MK), lalu kami dianggap seolah-olah telah mengabaikan putusan PTUN, MA, dan Bawaslu,” kata Pramono.
Pramono mengatakan, KPU tidak pernah mengabaikan putusan PTUN, MA, maupun Bawaslu. Hal itu dibuktikan dengan dengan pemberian dua kali kesempatan kepada Oesman untuk mengundurkan diri supaya namanya dicantumkan di dalam DCT.
“Kalau kami mengabaikan putusan PTUN, dan MA, tentu kami tidak akan membuka dua kali kesempatan kepada pelapor pada bulan Desember dan Januari, karena penetapan DCT sudah ditutup pada tanggal 20 September 2018,” kata Pramono.
Tahapan pemilu
Pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, upaya pemidanaan anggota KPU yang tengah menjalankan amanat konstitusi itu bisa berefek pada pelaksanaan pemilu. Menurut dia, dalam kasus ini, yang dirugikan adalah masyarakat Indonesia menyusul tahapan pelaksanaan pemilu yang saat ini terganggu. Upaya pemidanaan itu dinilainya dapat mengancam kepentingan bangsa.
Apa yang terjadi pada anggota KPU merupakan bentuk kriminalisasi. Upaya kriminalisasi ini berdampak pada legitimasi penyelenggaraan pemilu ke depan. KPU sebagai penyelenggara tidak mungkin mengikuti keinginan banyak orang atau peserta pemilu
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, menyampaikan, apa yang terjadi pada anggota KPU merupakan bentuk kriminalisasi. Upaya kriminalisasi ini berdampak pada legitimasi penyelenggaraan pemilu ke depan. KPU sebagai penyelenggara tidak mungkin mengikuti keinginan banyak orang atau peserta pemilu.
”Setiap peserta pemilu itu beragam maunya, seleranya. Maka, institusi negara tidak boleh mengikuti satu-satu selera peserta pemilu. Kalau satu selera itu diikuti dan konstitusi diabaikan, di situlah muncul berbagai macam problem di KPU,” kata Donal.
Bivitri, Donal, dan sejumlah tokoh yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil kemarin memberikan dukungan kepada KPU. Mereka pun menolak upaya kriminalisasi terhadap anggota KPU.