Depok Bisa Gandeng Swasta untuk Hadirkan Angkutan Massal
Oleh
Emilius Caesar Alexey
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengelola Transportasi Jakarta menyarankan Pemerintah Kota Depok bekerja sama dengan perusahaan swasta untuk menghadirkan angkutan massal berbasis bus. Kerja sama itu dapat mengatasi masalah pendanaan yang sering menjadi ganjalan bagi Depok.
Hingga saat ini, Depok menjadi satu-satunya kota di sekitar Jakarta yang belum memiliki angkutan massal berbasis bus. Padahal, moda transportasi itu bisa menjadi solusi untuk mengatasi kemacetan yang terjadi setiap hari di jalanan Depok.
Kepala BPTJ Bambang Prihartono ketika dihubungi, Minggu (27/1/2019), mengatakan, Pemkot Depok tidak perlu khawatir soal pendanaan. Dalam menghadirkan angkutan massal berbasis bus, Pemkot Depok bisa menggaet perusahaan otobus (PO) untuk bekerja sama.
”Untuk pengadaan bus, pemerintah kota bisa bekerja sama dengan PO-PO yang ada, seperti Perum PPD (Pengangkutan Penumpang Djakarta). BPTJ siap memfasilitasi. Sebelumnya, Tangerang Selatan sudah bekerja sama dengan PPD,” kata Bambang.
Selain pendanaan, infrastruktur jalan yang sempit juga turut menjadi ganjalan dalam menghadirkan angkutan massal berbasis bus dengan jalur khusus atau bus rapid transit (BRT) di Depok. Terkait itu, Bambang mengatakan, ukuran bus yang dipakai bisa disesuaikan dengan lebar jalan.
Bambang melanjutkan, BPTJ saat ini tengah mendorong semua kota di wilayah Jabodetabek untuk memiliki angkutan lanjutan hingga menjangkau permukiman warga. Ini untuk memperluas jangkauan angkutan umum ke seluruh wilayah.
”Di dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek Tahun 2018-2029, ditargetkan KPI (indikator kerja utama/key performance indicators) untuk angkutan umum mencapai 80 persen pada 2029,” ujarnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Depok Widyati Riyandani, Jumat (25/1/2019), mengatakan, rencana menghadirkan BRT di Kota Depok sebenarnya sudah lama muncul. Pada 2014, Dinas Perhubungan Depok telah mengkaji trase jalan yang memungkinkan untuk BRT. Dari kajian itu, ada tiga koridor yang dinilai cocok. ”Namun, untuk merealisasikannya dalam waktu dekat tidak mudah,” ujarnya.
Menurut Widyati, pemkot belum sanggup untuk menyubsidi BRT. Padahal, subsidi penting agar tarif yang dibebankan kepada penumpang angkutan tidak terlalu tinggi. Tarif yang rendah dibutuhkan agar masyarakat mau menggunakan angkutan umum massal.
Selain itu, angkutan daring kini menjadi idola bagi masyarakat Depok. Walaupun pemerintah menyediakan angkutan umum massal berbasis bus, Widyati khawatir masyarakat akan tetap memilih angkutan daring.
Kepala Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Bappeda Depok Dody Setiawan menambahkan, tantangan yang tidak kalah berat adalah kapasitas jalan. Umumnya, jalan di Depok sempit dan kendaraan yang melintas sangat banyak sehingga lalu lintas menjadi padat.
”Hanya jalan tertentu yang bisa dilewati. Dengan kondisi jalan demikian, bus yang memungkinkan untuk BRT ukuran tiga per empat (sebesar kopaja),” ujarnya.
Peneliti transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai, angkutan umum bisa mengatasi persoalan kemacetan yang selalu terjadi setiap hari di Depok. Oleh sebab itu, penguatan angkutan umum menjadi penting. Tidak hanya di jalan-jalan utama, tetapi hingga masuk ke permukiman untuk memudahkan masyarakat Depok.
Terkait karakteristik jalan di Depok yang sempit, menurut Djoko, hal itu bisa diatasi dengan mengadopsi angkutan massal berbasis bus tanpa jalur khusus.
”Yang penting sediakan angkutan murah dan aman. Harus ada masterplan angkutan umum Depok,” ujar Djoko. (YOLA SASTRA)