JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat tetap meneruskan proses seleksi hakim agung kendati ada permintaan penundaan seleksi oleh hakim tinggi Binsar Gultom dan kuasa hukumnya, Senin lalu, terkait proses seleksi yang tidak menunggu putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara. DPR menjadwalkan uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test terhadap calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial pada Maret mendatang.
Sebelumnya, pada 8 Januari, Komisi Yudisial (KY) menyerahkan empat calon hakim agung (CHA)-hasil seleksi KY- kepada DPR. Semua calon hakim agung yang lolos itu adalah hakim karier. Mereka ialah Ridwan Mansyur dan Matheus Samiaji untuk kamar perdata, Cholidul Azhar untuk kamar agama, dan Sartono untuk kamar Tata Usaha Negara (TUN) khusus Pajak. Menurut ketentuan Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY, sebelum dilantik Presiden menjadi hakim agung, mereka yang dinyatakan lolos seleksi oleh KY harus dimintakan persetujuan kepada DPR.
“Kami memang menerima masukan atau aspirasi dari Binsar Gultom, hakim tinggi yang sedang mengajukan gugatan ke PTUN terkait dengan mekanisme seleksi calon hakim agung di KY. Hal itu kami anggap sebgai aspirasi dari warga negara yang harus pula dihormati. Akan tetapi, kami juga harus mengikuti prosedur dan mekanisme yang diatur oleh UU dan keputusan internal DPR,” kata Arsul Sani, anggota Komisi III DPR, Kamis (17/1/2019) di Jakarta.
Binsar dan kuasa hukumnya, Irmanputra Sidin, menyampaikan surat kepada Ketua DPR Bambang Soesatyo yang meminta agar proses seleksi atau pemberian persetujuan dari DPR untuk calon hakim agung yang diajukan KY ditunda. Penundaan itu diminta karena saat ini proses hukum sengketa administrasi di PTUN Jakarta sedang berlangsung. Binsar menggugat dua surat keputusan KY tentang tahapan seleksi CHA karena mengikutsertakan CHA dari jalur nonkarier.
Penggugat mendalilkan seleksi yang dijalankan oleh KY itu akan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). “Putusan MK telah menyatakan “kebutuhan seleksi calon hakim agung harus mempedomani daftar kebutuhan dari Mahkamah Agung”. Berdasarkan surat dari Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial tentang pengisian kekosongan jabatan hakim agung, MA membutuhkan hakim karier dari kamar pidana, perdata, militer dan agama. Artinya berdasarkan hal tersebut maka yang dapat menjadi peserta seleksi CHA hanya dari kalangan hakim karir saja untuk kamar-kamar tersebut, tidak boleh diikutkan dari kalangan non karier,” kata Irman.
Bila seleksi terus dilakukan, menurut penggugat, seleksi itu akan merugikan tidak hanya CHA dari jalur karier, tetapi juga dari jalur nonkarier. Alasannya, proses itu tidak sah, dan DPR berpotensi menolak hasil seleksi itu berdasarkan perintah Putusan MK No. 53/PUU-XIV/2016.
Seleksi dilanjutkan
Namun, menurut Arsul, DPR akan tetap melanjutkan tahapan permintaan persetujuan atas empat CHA yang diajukan KY tersebut.
“Itu kan warga negara yang menyampaikan aspirasinya ke DPR. Kami menerimanya, tetapi bukan berarti harus kami turuti, karena DPR itu punya mekanisme dan aturan yang diatur di dalam UU KY dan UU MD3. Meskipun ada aspirasi itu, proses seleksi hakim agung akan kami teruskan pada masa persidangan berikutnya, Maret 2019,” katanya.
Dalam rapat konsultasi dengan MA, kemarin (Kamis), perihal permintaan penundaaan itu juga ditanyakan kepada perwakilan MA. MA membantah sengketa yang sedang diajukan ke PTUN ada kaitannya dengan MA, sebab sengketa itu murni gugatan pribadi yang diajukan oleh Binsar, hakim tinggi di Bangka Belitung, yang keberatan dengan proses seleksi oleh KY.
“Tadi persoalan itu juga saya angkat dalam rapat konsultasi dengan Komisi III dan MA. Ketua MA menjelaskan, sengketa itu tidak mewakili pendapat atau kepentingan MA, maupun IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia). Itu adalah tindakan pribadi dari Binsar Gultom. Nah, kalau konteksnya adalah DPR, tentu kemudian itu dipandang sebagai warga negara yang menyampaikan aspirasinya ke DPR. Kami terima, tetapi kan tidak harus kami turuti,” urainya.
Ketua MA menjelaskan, sengketa itu tidak mewakili pendapat atau kepentingan MA, maupun IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia). Itu adalah tindakan pribadi dari Binsar Gultom
Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengatakan, dengan telah diserahkannya empat nama CHA ke DPR, maka gugatan ke PTUN itu menjadi tidak relevan lagi. Alasannya, empat hakim yang dimintakan persetujuan ke DPR semuanya adalah hakim karier.
“Tidak ada dari empat itu yang merupakan hakim nonkarier. Kalau yang jadi pokok keberatannya ialah KY meloloskan hakim nonkarier, itu tidak lagi relevan. Sebab, semua yang lolos dan kami ajukan ke DPR adalah CHA dari jalur karier,” ujarnya.
Kemarin juga berlangsung sidang lanjutan di PTUN Jakarta terkait gugatan itu. Pihak KY menyampaikan gugatan itu tidak lagi relevan dalam duplik mereka.
“Proses seleksi di KY sudah selesai, dan hasilnya telah kami mintakan persetujuan ke DPR. Mengenai sidang di PTUN, itu tergantung kepada majelis, apakah akan diteruskan ataukah tidak, karena gugatan kami nilai sudah tidak relevan,” kata Jaja.