SIDOARJO, KOMPAS — Bupati Tulungagung periode 2013-2018, Syahri Mulyo, dituntut pidana penjara 12 tahun dan denda Rp 700 juta subsider 6 bulan kurungan. Terdakwa kasus suap dari perusahaan rekanan pemerintah daerah senilai Rp 122 miliar ini juga dituntut membayar uang pengganti Rp 77 miliar paling lambat sebulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Tuntutan disampaikan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi pada sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Kamis (17/1/2019). Sidang yang berlangsung di ruang Cakra itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Agus Hamzah.
”Menyatakan terdakwa Syahri Mulyo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur Pasal 12 Huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” ujar Jaksa Dody Sukmono.
Dody juga meminta majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya. Pertimbangannya, terdakwa telah menyalahgunakan jabatan yang diberikan dan tidak mendukung pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Dalam sidang, Syahri Mulyo tidak sendiri duduk di kursi terdakwa. Dia bersama dengan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Tulungagung Sutrisno dan pihak swasta yang menjadi perantara suap, Agung Prayitno. Ketiganya didakwa melakukan perbuatan secara bersama-sama yang bertentangan dengan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam materi tuntutannya, jaksa menyatakan terdakwa satu meminta terdakwa dua mengumpulkan uang komisi sebesar 15 persen dari total nilai proyek yang dikerjakan oleh perusahaan rekanan Pemkab Tulungagung selama kurun waktu 2014-2018. Uang sebesar 15 persen itu diberikan dalam dua tahap, yakni 10 persen diberikan sebelum pelaksanaan pekerjaan, sedangkan 5 persen setelah pekerjaan selesai.
Akumulasi uang komisi yang diterima Syahri Mulyo dari pengusaha rekanan Pemkab Tulungagung selama empat tahun itu nilainya mencapai Rp 122 miliar. Sementar komisi yang diterima Sutrisno total sebesar Rp 10 miliar. Uang itu digunakan Sutrisno untuk membeli sejumlah bidang tanah pribadi dan membiayai operasionalisasi dinasnya sebesar Rp 600 juta.
Dana kampanye
Adapun Syahri Mulyo menggunakan sebagian uang komisi itu untuk dana kampanye pencalonannya dalam Pilkada Tulungagung 2018. Selain itu, terdakwa juga menggunakan uang sebesar Rp 41 miliar untuk menyuap sejumlah pejabat di Pemprov Jatim guna mendapatkan proyek yang didanai oleh APBD provinsi, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.
Atas perbuatannya itu, jaksa KPK menuntut kepada majelis hakim agar menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Sutrisno berupa pidana penjara 8 tahun dan denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan. Terdakwa juga dituntut membayar uang pengganti Rp 9,5 miliar paling lambat sebulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Sementara itu, jaksa KPK Joko Hermawan menuntut agar terdakwa Agung Prayitno dijatuhi hukuman pidana 6 tahun dan denda Rp 350 juta subsider 6 bulan kurungan. Kendati bukan penyelenggara negara, Agung dinyatakan turut serta dalam perkara suap tersebut.
Menanggapi dakwaan jaksa KPK, Syahri Mulyo, Sutrisno, dan Agung Prayitno menyatakan akan mengajukan nota pembelaan, baik yang disusun secara pribadi maupun oleh penasihat hukum masing-masing. Nota pembelaan itu akan disampaikan dalam sidang berikutnya.
Penasihat hukum terdakwa Syahri Mulyo, Hakim Yunizar, berpendapat tuntutan jaksa terlalu berat. Salah satunya terkait dengan pembayaran uang pengganti sebesar Rp 77 miliar yang dianggap terlalu tinggi dan tidak sesuai fakta persidangan. Alasannya, Syahri Mulyo tidak menggunakan semua uang itu untuk keperluan pribadinya.
”Ada uang yang digunakan untuk mendapatkan atau nyenggek sejumlah proyek fisik dari provinsi maupun pemerintah pusat agar turun ke Kabupaten Tulungagung. Rincian penggunaan dana itu nanti akan disampaikan pada nota pembelaan,” ucap Hakim Yunizar.