JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah masih kesulitan memenuhi target penerbitan Surat Keputusan Perhutanan Sosial atau SKPS. Sampai Desember 2018, dari target 12,7 hektare, baru ada SKPS untuk 2,5 juta hektare yang sudah dibagi. Pemerintah perlu melakukan percepatan, tetapi harus tepat sasaran.
Program perhutanan sosial adalah pemberian lahan hutan oleh negara kepada warga selama 35 tahun dan bisa diperpanjang. Program ini bertujuan agar masyarakat mampu mengelola lahan untuk mendapatkan manfaat ekonomi sekaligus menjaga kelestarian hutan.
Sampai tahun 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan membentuk dan memfasilitasi sekitar 5.000 kelompok usaha perhutanan sosial di Indonesia.
"Tantangannya adalah memastikan proses percepatan ini tidak menafikkan ketepatan proses, ketepatan subjek, dan ketepatan objek," kata Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, dalam diskusi dan peluncuran buku "Lima Hutan Satu Cerita" di Jakarta, Selasa (15/1/2019).
Dewi mengatakan, percepatan hendaknya tidak diartikan terburu-buru. KPA mencatat, terdapat validasi yang tidak tepat terhadap penerima Surat Keputusan Perhutanan Sosial di Blitar sehingga ada 50 nama penerima yang tidak berhak mendapatkan perhutanan adat.
Menurut Dewi, distorsi semacam itu bisa terjadi jika masyarakat belum terorganisir dalam organisasi masyarakat seperti organisasi tani, organisasi masyarakat adat, atau organisasi nelayan. Organisasi semacam itu berguna untuk melindungi hak-hak masyarakat saat ada program perhutanan sosial.
Jika tidak ada organisasi semacam itu, kata Dewi, peluang masyarakat untuk mendapatkan perhutanan sosial bisa diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK Apik Karyana yang juga hadir dalam diskusi tersebut mengatakan bahwa pemerintah daerah perlu ikut andil dalam program perhutanan sosial. Sebab, sumber daya manusia PSKL terbatas.
"UPT kami hanya ada lima di Indonesia. Jumlah pegawai sekitar 350 orang. Bagaimana mungkin kami memberi pelayanan maksimal?" ujar Apik.
Apik mengatakan, untuk menjawab persoalan itu saat ini sedang digagas peraturan pemerintah tentang kewenangan kongruen sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Ia mengatakan, peran pemerintah daerah dalam percepatan perhutanan sosial ada landasan hukumnya.
"Dalam peraturan pemerintah itu, perijinan perhutanan sosial akan kami serahkan kepada pemerintah daerah. Selain itu, pendampingan juga dilakukan oleh pemerintah daerah karena yang paling dekat dengan lingkungan sekitar adalah pemerintah daerah," kata Apik.
Apik juga menyambut baik banyaknya organisasi nonpemerintah yang bergerak dalam pendampingan dan pemberdayaan masyarakat. Menurutnya, hal itu membantu masyarakat dalam mengelola lahan yang diberikan dalam perhutanan sosial.
Ketua Tim Perhutanan Sosial Perhutani Amas Wijaya mengatakan bahwa sosialisasi kepada masyarakat masih dibutuhkan dalam percepatan program perhutanan sosial. Amas masih mendapati ada oknum yang menjanjikan uang kepada masyarakat dalam program perhutanan sosial.
"Supaya tidak ada lagi permasalahan di lapangan setelah dapat SK perhutanan sosial kemudian menagih sejumlah uang karena ada yang menjanjikan dapat uang kalau ikut program perhutanan sosial," ujar Amas.