JAKARTA, KOMPAS – Sikap fanatisme berlebih kepada calon pemimpin menjadi salah satu pemicu penyebaran hoaks dalam proses Pemilu. Sejumlah upaya pencegahan, seperti literasi digital dan penerapan regulasi kepada platform media sosial, mendesak untuk dilakukan.
Kantor Staf Presiden menggelar diskusi bertajuk Pemilu, Hoaks, dan Penegakan Hukum di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (15/1/2019). Penyebaran informasi hoaks yang masif terjadi dalam masa Pemilu menjadi topik bahasan utama.
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo mengatakan, semakin fanatik simpatisan atau masyarakat terhadap calon pilihannya di Pemilu, mereka akan berusaha menutupi kekurangan calon pilihannya. Dampaknya, mereka akan cenderung menonjolkan kelebihannya saja.
Adapun, jika kelebihan yang dimiliki tidak memuaskan, maka akan muncul fakta-fakta yang sengaja dibuat. “Saat bangsa ini dipenuhi pemilih yang fanatik, maka di situlah produksi kebohongan muncul,” kata Imam.
Menurut Imam, penyebaran hoaks yang meningkat dalam proses Pemilu terjadi lantaran masyarakat kini cenderung lebih kompleks dalam memilih pemimpinnya. Tak hanya sekadar memilih pemimpin yang bisa membawa perbaikan, tetapi juga yang bisa mewakili identitasnya.
“Keterwakilan identitas ini menjadikan Pemilu cenderung tidak rasional,” ungkap Imam.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo), Rosarita Niken Widyastuti, mengatakan, dalam tiga bulan terakhir, setidaknya ada 62 hoaks berkaitan dengan politik. Hal itu diidentifikasi melalui mesin penapisan kecerdasan buatan milik Kemenkominfo.
“Hoaks banyak menyerang pemerintah, dua calon presiden dan penyelenggara Pemilu,” ungkap Niken.
Duplikasi hoaks bersifat eksponensial, sehingga bisa dengan cepat menyebar secara luas. Isi didalamnya, amat rentan mempengaruhi persepsi publik terhadap suatu hal.
Kepala Satuan Tugas (Satgas) Nusantara Polri, Inspektur Jenderal Gatot Edy Pramono, mengatakan, penggunaan cara-cara negatif dalam proses Pemilu bisa dilakukan dengan cara menebar kampanye hitam. Penyebaran hoaks dan ujaran kebencian menjadi salah satu caranya.
“Bangsa kita sangat beragam, sangat mungkin untuk diadu-domba satu sama lain dengan hoaks,” ungkap Gatot.
Gatot menyebutkan, ada sekitar 174 juta gawai yang tersebar di masyarakat Indonesia. Adapun pada 2017, 143,26 juta diantaranya terhubung dengan internet. Dengan begitu, masyarakat menjadi rentan terpapar hoaks lantaran mudah mengakses apa saja.
Gatot menyatakan, persebaran hoaks di media sosial bisa menggunakan akun asli, semi anonim, dan anonim. Dalam prakteknya, mereka memulai dari grup-grup whatsapp yang terenskripsi. Setelah itu baru mereka menyebarkan lebih luas ke media sosial.
Literasi digital
Dalam upaya pencegahan hoaks, Polri bekerja sama dengan banyak pihak untuk melakukan literasi digital. Seluruh Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat di Polri sudah mendapatkan pembelajaran mengenai internet positif dari Kemenkominfo.
“Selanjutnya hal itu akan disebarkan kepada kelompok masyarakat lebih luas,” ungkap Gatot.
Gatot mengimbau kepada masyarakat untuk tidak mudah menyebarkan langsung informasi yang didapatkan. Perlu ada upaya verifikasi lebih dulu sehingga masyarakat bisa membuat kontra narasi yang menjelaskan bahwa informasi yang disebarkan adalah hoaks.
Selain itu, Gatot mendesak kepada pemilik platform digital turut bertanggung jawab dalam pengelolaan konten hoaks. Di Jerman dan Malaysia, regulasi yang mengatur mengenai penyebaran platform sudah diterapkan. Mereka akan mendapatkan denda jika tidak sanggup mencegah penyebaran konten hoaks.
“Kami sudah bertemu dengan para pemilik platform dan mereka akan mempelajari hal ini,” ungkap Gatot.
Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Dahana Putra, mengatakan, hal utama dalam upaya pemberantasan hoaks adalah dukungan dari aparat penegak hukum dalam menindak hoaks.
“Sekecil apapun hoaks harus ditindak, jika tidak akan menimbulkan menjadi kebiasaan. Sesuatu yang buruk akan dianggap benar," ungkap Dahana.
Tak hanya menyandarkan pada aparat hukum, masyarakat juga dituntut cerdas dalam merespon berbagai informasi. Penting juga untuk mendorong masyarakat menjadi melek hukum, sehingga budaya hukum bisa terbangun.