JAKARTA, KOMPAS — Gerakan populisme yang telah mengglobal memiliki potensi untuk memecah persatuan Indonesia. Organisasi keagamaan moderat, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sebagai salah satu wadah masyarakat perlu turun tangan untuk menghilangkan gerakan ini.
Direktur Institute on Culture, Religion, and World Affairs Universitas Boston, Amerika Serikat, Robert Hefner mengatakan, populisme saat ini merupakan fenomena global. Di Indonesia, gerakan ini tidak berbeda jauh dengan gerakan sama di belahan dunia lain. Pada dasarnya, strategi ini adalah upaya untuk menciptakan kegaduhan atau ancaman sosial terhadap sebuah isu yang menjadi perhatian masyarakat banyak.
Mereka menarik simpati dan perhatian masyarakat melalui imbauan-imbauan yang selaras dengan kebutuhan sebuah kelompok. Gerakan ini juga selalu berusaha mencari hal-hal yang dapat dieksploitasi untuk menguntungkan diri sendiri.
Hefner melanjutkan, gerakan populisme di Indonesia memang mengalami perkembangan yang cukup pesat jika dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Namun, jika dibandingkan dengan pergerakan populisme di negara-negara lain, pertumbuhan paham ini masih cenderung kecil.
”Tetapi jangan dianggap populisme tidak memiliki potensi untuk merusak persatuan bangsa. Jika dibiarkan, negara Indonesia bisa terpecah,” katanya saat ditemui di Jakarta pada Jumat (11/1/2019) malam.
Hefner mencontohkan gerakan populisme yang dimanfaatkan oleh Presiden Amerika Serikat saat ini, Donald Trump. Pada masa kampanye Presiden 2016, ia dan Partai Republikan berhasil memanfaatkan ketakutan warga AS soal ancaman imigran ilegal yang tinggal di AS. Pada akhirnya, Trump berhasil mengalahkan kandidat calon presiden dari Partai Demokrat, Hillary Clinton.
Menurut Hefner, organisasi keagamaan, seperti NU atau Muhammadiyah, memiliki peranan penting untuk menekan pertumbuhan populisme di Indonesia. Sebagai dua dari beberapa organisasi madani yang berperan dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mereka harus terus-menerus menekankan cita-cita yang sudah mereka perjuangkan sejak dulu, yaitu terciptanya negara kebangsaan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menanamkan nilai-nilai agama yang sesuai dengan kondisi sosial dan kebudayaan Indonesia saat ini. Dengan begitu, pemahaman generasi penerus terhadap ideologi bangsa dapat terus dijaga.
Selain itu, NU dan Muhammadiyah sebagai wadah perkumpulan masyarakat madani merupakan pilar yang turut berperan dalam pembentukan narasi kebangsaan Indonesia hingga saat ini. Untuk itu, Hefner berharap agar sumbangsih kedua organisasi ini terus dilakukan.
Sementara itu, Dekan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta, Mastuki mengaku optimistis paham populis dapat diredam sebelum berkembang pesat. Salah satu faktornya adalah kehadiran organisasi keagamaan seperti NU ataupun Muhammadiyah. Didukung oleh tokoh-tokoh agama moderat, mereka dapat menanamkan paham yang sama kepada masyarakat.
Mastuki menambahkan, kedua organisasi ini harus terus melakukan adaptasi seiring perkembangan zaman. Langkah-langkah yang diambil perlu disesuaikan dengan nilai agama dan kebangsaan untuk merealisasikan cita-cita negara sebagai sebuah bangsa yang inklusif. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)