JAKARTA, KOMPAS - Semakin mendekati waktu pemilihan presiden, semua elit politik diharapkan semakin mampu menjaga dinamika politik yang memperkuat demokrasi. Adu gagasan dan program seharusnya lebih dominan dibandingkan penyebaran kabar bohong.
Belum lama ini, publik dihebohkan dengan adanya kabar bohong terkait tujuh kontainer berisi surat suara yang sudah tercoblos di Pelabuhan Tanjung Priok. Para elit politik diharapkan berpegang pada tanggung jawab moral, politik, dan hukum dalam menanggapi kasus ini.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, dinamika politik yang tinggi diperlukan, tetapi tetap dalam koridor diskusi dan perdebatan yang terbuka dan sehat.
"Dinamika itu berbasis programatik yang mendidik, seperti adu gagasan, adu program, saling menguji argumentasi, atau memberi tawaran dan janji kepada publik," ujar Titi ketika dihubungi di Jakarta, Senin (7/1/2018) siang.
Ia mengatakan, kabar bohong yang sengaja disebarkan untuk membuat kegaduhan dan perpecahan akan melemahkan demokrasi. Menurut Titi, seharusnya pemilihan umum (pemilu) sebagai program rutin sirkulasi pemimpin negara seharusnya dijalankan oleh masyarakat dan elit politik untuk memperpanjang usia demokrasi.
Jika cara-cara kotor yang digunakan, seperti menyebarkan kabar bohong, hal itu mengindikasikan pemilu tidak lagi dirayakan sebagai sirkulasi elit politik secara konstitusional.
"Jika gaduh kabar bohong seperti saat ini, demokrasi malah menjadi seperti pertaruhan eksistensi diri. Padahal ini prosedur rutin, seharusnya setiap elit politik mempertimbangkan kepentingan jangka panjang, yakni keutuhan dan persatuan bangsa," kata Titi.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mencatat, sejak Agustus sampai Desember 2018, konten kabar bohong di media sosial mencapai 64 konten. Hal itu mengalami peningkatan pada bulan Desember. Sebanyak 18 konten kabar bohong ditemukan pada bulan Desember.
Pada siaran pers yang diterima Kompas, Kemkominfo mencatat, kabar bohong pada Agustus 2018 sebanyak 11 konten, bulan September 2018 sebanyak 8 konten, Oktober 2018 sebanyak 12 konten, dan November 2018 sebanyak 13 konten.
Melihat fenomena tersebut, Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno mengatakan bahwa penyebar berita bohong perlu dihukum sesuai peraturan yang ada. Sebab, kata Magniz, penyebaran kabar bohong merupakan perbuatan kriminal.
Selain itu, Magniz juga mengatakan bahwa sudah saatnya bagi publik untuk membiasakan diri kritis terhadap setiap informasi yang diterima. "Hal ini tentu saja mudah dikatakan tetapi sulit diwujudkan dalam waktu yang cepat. Kita tahu informasi di media sosial terus menerus bergulir," katanya.
Ia mengatakan, hal ini merupakan kerja keras banyak pihak untuk meredam kabar bohong yang merebak di masyarakat. Seluruh pengguna media sosial belum tentu kritis terhadap informasi. Oleh sebab itu, ia mengatakan, sebaiknya tidak menyebarkan informasi yang belum diketahui kebenarannya.
Kemkominfo sendiri merekomendasikan untuk melaporkan atau cek berita bohong ke beberapa portal, seperti stophoax.id, aduankonten.id, dan kominfo.go.id. Masyarakat diminta untuk membantu mengurangi beredarnya kabar bohong dengan memanfaatkan portal-portal itu.