Dilema Anggaran Presiden Trump
Wewenang Kongres (DPR dan Senat) dalam sistem ketatanegaraan Amerika Serikat memiliki muatan strategis. Konstitusi AS memuat hal-hal menyangkut wewenang Kongres, seperti penyusunan anggaran negara. Kewenangan Kongres AS dalam penyusunan anggaran negara diatur dalam Undang-Undang Congressional Budget and Impoundment Control Act (1974).
Aturan perundangan tersebut memberikan hak kepada Kongres AS untuk mengontrol anggaran. Dasar hukum tersebut juga memberikan tata kerja organisasi Congressional Budget Office untuk menggodok dan merumuskan usulan anggaran Kongres.
Salah satu contoh wewenang budget Kongres AS terlihat saat Presiden Barrack Obama berencana menaikkan pagu utang AS pada 2013. Untuk mengambil kebijakan tersebut, pemerintah harus mendapat persetujuan Kongres. Persetujuan Kongres itu selanjutnya dilaksanakan Pemerintah AS lewat penerbitan surat utang. Intinya, tanpa persetujuan Kongres, kebijakan pemerintah tidak dapat dijalankan.
Kondisi inilah yang dihadapi pemerintahan Presiden Donald Trump saat ini. Presiden Trump dan Kongres AS masih belum mencapai kesepakatan soal anggaran negara. Kongres menolak permintaan anggaran Presiden Trump sebesar 5,7 miliar dollar AS untuk membangun tembok perbatasan AS dan Meksiko. Akibatnya, operasional hampir semua unit dan cabang pemerintah federal AS sejak 22 Desember 2018 terhenti atau shutdown.
Pembangunan tembok perbatasan merupakan salah satu janji kampanye Trump saat Pilpres 2016. Pembangunan tembok itu untuk mencegah imigran ilegal masuk ke wilayah AS. Trump tidak menghendaki orang-orang Meksiko karena banyak di antaranya para penjahat dan pengedar narkoba.
Namun, gagasan pembangunan tembok tersebut ditolak kubu Demokrat ketika diajukan di Senat. Penolakan didasarkan pada argumen bahwa AS memiliki prioritas lain dalam pemakaian anggaran, terutama untuk memberdayakan warga miskin. Selain itu, saat kampanye Trump menyatakan bahwa pembangunan tembok sepanjang 3.200 kilometer akan dibebankan kepada Meksiko.
Dilema anggaran
Istilah shutdown menurut Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan memiliki makna menutup atau menghentikan pekerjaan. Juga bisa berupa penghentian kegiatan-kegiatan perusahaan untuk selamanya jika tak punya kekuatan keuangan.
Bukan kali ini saja dilema anggaran dialami pemerintahan Trump. Pada 19 Januari 2018, sebagian operasionalisasi pemerintahan AS juga mengalami shutdown setelah Senat AS belum mencapai kesepakatan terkait strategi antisipasi imigran usia kanak-kanak ilegal yang tiba di AS. Partai Demokrat menuding Republik merusak kesempatan kesepakatan dengan menolak pembiayaan program perlindungan untuk sekitar 700.000 imigran ilegal yang disebut dreamers.
Program Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA) menjadi prioritas Demokrat yang memungkinkan imigran ilegal yang masuk AS sejak masih kanak-kanak mendapat status penduduk sementara. Setelah sempat terhenti 69 jam, operasionalisasi pemerintahan AS kembali berjalan setelah Kongres AS akhirnya menyetujui anggaran belanja sementara pemerintah federal AS.
Beberapa presiden sebelum Trump juga pernah mengalami shutdown, seperti Barrack Obama dan Bill Clinton. Kisruh anggaran AS yang terjadi pada pemerintahan Obama terjadi pada 2013. Saat itu, Pemerintah AS butuh utang baru untuk melanjutkan program anggaran pemerintah.
Alotnya pembahasan anggaran juga pernah terjadi pada 1996 dan membuat sekitar 800.000 pegawai federal dirumahkan. Tidak ada anggaran untuk membayar mereka karena Presiden Clinton dan Kongres belum sepakat soal anggaran.
Saat itu, Kongres bertekad menekan defisit anggaran pada 2002. Untuk itu, Kongres mencanangkan pengurangan besar-besaran dalam program kesejahteraan sosial serta menetapkan pemotongan pajak sebesar 245 miliar dollar AS.
Di sisi lain, Presiden Clinton menolak rencana Kongres untuk memangkas program sosial populer guna membuat anggaran seimbang. Alasannya, dengan pemotongan anggaran besar-besar ini, reputasi Clinton yang selama ini mengangkat jargon meningkatkan kesejahteraan sosial menjadi terkikis.
Lamanya pembahasan
Adu kuat Kongres dan Presiden Trump jika dihitung sejak 22 Desember 2018 lalu hingga 6 Januari 2019 berarti sudah membuat operasionalisasi pemerintah federal AS berhenti selama 15 hari.
Beberapa departemen yang berhenti beroperasi adalah departemen keamanan dalam negeri, pertanian, keuangan, pengadilan, dan taman nasional. Sebanyak 380.000 pegawai dirumahkan, sedangkan 420.000 pegawai lainnya tetap bekerja, tetapi tidak menerima gaji.
Jika dibandingkan dengan masa shutdown sebelumnya, era Presiden Trump melampaui sejumlah presiden. Terhentinya operasional pemerintah di era Presiden Gerrad Ford pada 1976 mencapai 10 hari. Saat itu pembahasan anggaran alot menyangkut alokasi dana kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.
Masa shutdown yang lebih lama tercatat pada era Presiden Jimmy Carter. Pembahasan anggaran jaminan kesehatan Medicaid membuat layanan pemerintahan terganggu selama 12 hari.
Namun, masih ada shutdown yang lebih panjang dibandingkan dengan yang dialami Presiden Trump sekarang. Data Committee for Responsible Federal Budget dan USA Today mencatat, ada tiga masa shutdown yang lebih lama dari era Trump.
Pertama, adalah masa Barrack Obama pada 2013, yaitu 16 hari. Kemudian era Presiden Jimmy Carter pada 1978, yaitu 18 hari. Rekor shutdown paling lama adalah era Presiden Clinton pada 1996 sebanyak 21 hari.
Gejolak Kongres
Alotnya perdebatan di Kongres tidak dapat dilepaskan dari tarik menarik kepentingan politik di parlemen. Presiden Clinton yang mengalami shutdown paling lama menghadapi pertarungan anggaran dengan Kongres yang dikuasai oleh Partai Republik.
Clinton yang berasal dari Partai Demokrat berhadapan dengan Senat AS yang dikuasai Partai Republik dengan komposisi 53 kursi, unggul dari kursi Demokrat yang memiliki 47 kursi. Demikian juga dengan DPR AS yang mayoritas kursinya dikuasai Republik dengan 235 kursi.
Latar belakang yang sedikit berbeda dialami Presiden Obama. Saat itu Obama menghadapi dua komposisi Kongres yang dikuasai partai berbeda. DPR AS dikuasai Partai Republik yang tidak suka dengan program-program Obama, sementara Senat dikuasai Partai Demokrat yang pro-Obama.
Salah satu program Obama yang tidak disukai kubu Republik adalah program Obamacare, istilah bagi UU Pelayanan Kesehatan Terjangkau (Affordable Care Act), yang bertujuan membuat jutaan warga AS bisa menjangkau layanan kesehatan.
Kondisi serupa juga dihadapi Presiden Trump. DPR AS dikuasai Demokrat, kubu yang berseberangan dengan Trump. Berdasarkan hasil pemilu sela November 2018, mayoritas kursi DPR AS didominasi Demokrat dengan 235 kursi.
Namun, untuk kursi Senat AS kubu Republik masih mendominasi dengan 53 kursi, sedangkan Demokrat 45 kursi. Walaupun demikian, jika ditotal komposisi kursi di Kongres, kubu Demokrat unggul dengan total 280 kursi dibandingkan Republik dengan 252 kursi.
Inilah tantangan terberat yang dialami Trump sejak pemilu sela. Hasil pemilu sela pada November 2018 mengubah peta politik di Kongres AS yang sebelumnya dikuasai Republik. Negosiasi yang diajukan tentu saja harus mengakomodasi suara Kongres yang kini dikuasai kubu yang berseberangan dengan Trump.
Sebelum mencuat perdebatan anggaran tembok perbatasan dengan Meksiko, setidaknya ada dua hal yang menjadi perdebatan seru di Kongres AS setelah pemilu sela, yaitu pemberian sanksi ke Arab Saudi dan kecaman ke China terhadap pelanggaran hak asasi manusia etnis minoritas Uighur.
Sistem kenegaraan di Amerika memang memungkinkan terjadinya pengawasan ketat Kongres terhadap pemerintah. Melihat sejarah shutdown, tarik ulur pembahasan anggaran merupakan sesuatu yang biasa terjadi di ruang parlemen AS. Namun yang harus dicermati, sudah 15 hari layanan pemerintah federal AS terhenti.
Menemukan titik temu sementara atau menyepakati anggaran belanja jangka pendek dapat membuka kembali operasionalisasi pemerintahan AS. Jika tidak, berhentinya pelayanan pemerintahan dapat mencapai rekor baru dan berpotensi menurunkan wibawa AS di mata dunia. (LITBANG KOMPAS)