Kurikulum sudah membahas bencana secara umum dan pada skala teori. Pendalaman materi bisa dilakukan melalui muatan lokal karena dapat menyasar kekhususan bencana di tiap-tiap wilayah.
JAKARTA, KOMPAS — Konsep mitigasi bencana harus diketahui oleh siswa sekolah, tetapi tidak perlu masuk ke kurikulum nasional. Akan lebih efektif bila materi itu masuk ke muatan lokal agar benar-benar terjadi pelatihan dan pembiasaan cara mencegah bencana dan cara menyelamatkan diri dalam keadaan darurat.
"Tidak semua hal harus masuk ke dalam kurikulum," kata pakar kurikulum Universitas Negeri Yogyakarta Ali Muhtadi, di Yogyakarta, Selasa (1/1/2019). Kurikulum di Indonesia sudah memiliki beban padat, apabila menambah materi, akan membuat siswa kepayahan.
Ia menjelaskan, kurikulum membutuhkan evaluasi yang terukur dan terstruktur. Artinya kurikulum menghendaki adanya ujian teori seperti layaknha mata pelajaran di sekolah. Hal ini tidak diperlukan dalam pendidikan mitigasi bencana. Alasannya adalah karena mitigasi bencana bertujuan memberi siswa kesadaran dan kecakapan mencegah terjadinya bencana dengan mengubah perilaku hidup serta mengetahui tindakan yang harus dilakukan di keadaan darurat spesifik, bukan sebatas pengetahuan akademis.
"Paling efektif adalah memasukkan pendidikan mitigasi bencana ke muatan lokal (mulok). Kalau mengandalkan kurikulum seperti sekarang, pengetahuan kebencanaannya sangat umum dan sebatas definisi," ujar Ali. Dalam mulok, materi tersebut bisa dipraktikkan dalam mata pelajatan terkait, pembiasaan harian, dan kegiatan ekstrakurikuler.
Aturan muatan lokal
Pendapat serupa juga diutarakan oleh dosen Pendidikan Geografi sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta Muhammad Zid. Menurut dia, kurikulum sudah membahas bencana secara umum dan pada skala teori. Pendalaman bisa dilakukan melalui mulok karena bisa menyasar kekhususan bencana di tiap-tiap wilayah. Misalnya, wilayah pesisir muloknya membahas risiko tsunami dan banjir rob. Adapun wilayah dataran tinggi fokus kepada pencegahan longsor dan evakuasi letusan gunung berapi.
"Kewajiban Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ialah mengeluarkan aturan, bisa lewat aturan Mendikbud terkait kewajiban sekolah memberi mulok mitigasi bencana sesuai dengan risiko wilayah tersebut," tuturnya.
Dalam menyusun mulok, dinas pendidikan hendaknya bersinergi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Terdapat pula jaringan lembaga swadaya masyarakat dan komunitas yang menggali nilai-nilai lokal terkait mitigasi bencana. Materi mitigasi juga harus selalu dibahas di dalam mata pelajaran, terutama di Ilmu Pengetahuan Sosial dan Ilmu Pengetahuan Alam yang memang bersinggungan langsung.
Parsial
Zid menerangkan, selama ini, pemerintah daerah sangat parsial dalam melakukan mitigasi bencana. Ia mencontohkan, di Yogyakarta, Bali, Sukabumi (Jawa Barat), dan Lebak Selatan (Banten) sudah memasang banyak rambu mengenai evakuasi tsunami. Akan tetapi, hal tersebut tidak diiringi kebijakan mengenai pelarangan mendirian bangunan di daerah rawan.
"Upaya melatih dan membiasakan siswa melakukan mitigasi bencana akan sia-sia apabila lingkungan tidak mendukung. Bagian dari pendidikan mitigasi bencana adalah memastikan lingkungan juga direhabilitasi," ucapnya.
Ia mengungkapkan, pada tanggal 10 Januari Ikatan Geograf Indonesia akan berkumpul di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, untuk mengembangkan materi mitigasi bencana yang akan disebar ke semua jenjang sekolah.
Pekan lalu, pada Kilas Balik Kinerja 2018 dan Program Kerja 2019 Kemendikbud, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud Totok Suprayitno menjelaskan bahwa kurikulum tidak hanya berupa teks formal, melainkan juga segala kegiatan pendidikan di dalam dan di luar kelas. Pendidikan mitigasi bencana harus ditekankan kepada simulasi evakuasi dan pembiasaan siswa memerhatikan serta merawat lingkungan guna mencegah kerusakan alam.
"Kalau masuk kurikulum formal malah kontraproduktif karena mitigasi melalui teks dan ceramah tidak efektif," katanya.
Tidak berlanjut
Miya Maharani, pendiri Sekolah Alam Minangkabau si Padang, Sumatera Barat, menuturkan, pada tahun 2009 pasca gempa bumi, sejumlah LSM melakukan sosialisasi mitigasi bencana di sejumlah sekolah. Namun hal itu hanya berlangsung selama beberapa bulan dan tidak dilanjutkan lagi.
"Pemerintah melakukan pelatihan tahunan untuk memperingati gempa tahun 2009, sayangnya hanya beberapa sekolah saja yang diundang," ucapnya.