KPU Ikuti Keputusan Mahkamah Konstitusi Terkait Kasus Oso
Oleh
Andy Riza Hidayat
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum menjawab gugatan terkait dengan dugaan pelanggaran administrasi pemilu di hadapan Badan Pengawas Pemilu, di Jakarta, Rabu (2/1/2019). Sidang sengketa putusan berkaitan dengan pencalonan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang alias Oso sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah pada Pemilu 2019.
Anggota KPU, Hasyim Asyari, mewakili pihak terlapor, membacakan jawaban di hadapan Ketua Majelis Sidang sekaligus Ketua Bawaslu Abhan. ”Pada intinya terlapor telah menaati konstitusi yang berlaku di negeri ini. Majelis diharapkan menjatuhkan putusan yang seadilnya,” ujarnya.
Hasyim mengatakan, KPU akan mematuhi Undang-Undang Dasar 1945 yang tecermin dalam keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/Juli 2018. Keputusan MK itu menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak boleh berasal dari partai politik, seperti Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam sidang itu, pihak pelapor diwakili tim kuasa hukum Oso, antara lain Gugum Ridho Putra, Firman Kadir, dan Dodi Abdul Kadir.
Pada 8 Desember 2018, Firman melaporkan dugaan pelanggaran pidana pemilu oleh KPU karena tidak menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) kepada Bawaslu. PTUN mengabulkan gugatan Oso agar KPU membatalkan surat keputusan daftar calon tetap anggota DPD yang tidak memuat nama Oso.
Pada 18 Desember 2018, Dodi melaporkan KPU karena memberikan surat yang memerintahkan Oso mundur dari jabatannya di partai politik. ”Kami akan mengajukan saksi fakta tiga orang dan saksi ahli dua orang,” kata Firman.
Besok, Kamis (3/1/2019), sidang lanjutan akan kembali dilakukan pada pukul 10.00 dengan agenda penyerahan bukti tambahan dari pelapor sekaligus pemerikaan saksi fakta dan ahli dari kedua pihak.
Sengketa aturan
Keputusan MK Nomor 30/PUU-XVI/Juli 2018 digunakan untuk memperbarui Peraturan KPU (PKPU) Nomor 14 Tahun 2018 menjadi PKPU No 26/2018. Keputusan MK baru itu dinyatakan tidak mengubah aturan terkait dengan aturan pencalonan anggota DPD sebelumnya, seperti pada Keputusan MK No 10/2008, No 92/2012, dan No 79/2014.
Dalam Keputusan MK yang diumumkan pada Juli 2018, MK melengkapi penafsiran terhadap frasa ”pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l UU Pemilu. Salah satu pekerjaan lain yang tidak boleh dijabat oleh anggota DPD adalah pengurus parpol. Keputusan baru ini berlaku mulai Pemilu 2019.
Sementara itu, Oso sempat mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung pada 25 Oktober 2018 (Kompas, 22/12/2018). MA mengabulkan permohonan Oso dengan menyatakan bahwa Pasal 60A PKPU No 26/2018 bertentangan dengan Undang-Undang No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU Pemilu. MA juga memutuskan bahwa pemberlakuan Keputusan MK No 30/2018 tidak berlaku mulai Pemilu 2019. (ERIKA KURNIA)