Di tengah gempuran transformasi digital, perusahaan mapan dapat diibaratkan seperti iguana yang lambat berubah warna guna beradaptasi dengan situasi terkini. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan rintisan malah lebih cepat menyesuaikan diri layaknya bunglon di tengah belantara revolusi industri 4.0.
Persaingan kedua jenis perusahaan itu tidak hanya terjadi di dalam implementasi otomatisasi, kecerdasan buatan, dan produk terkoneksi internet (internet of things/IoT). Perlombaan juga terjadi dalam upaya menjaring talenta-talenta muda untuk mengimplementasikan dan mengoperasikan teknologi digital.
Dalam paparannya, Country Manager Jobstreet.com Indonesia Faridah Lim di Jakarta, Kamis (13/12/2018), mengatakan, kebutuhan talenta muda dengan latar belakang pengetahuan teknologi digital semakin menjadi incaran perusahaan. Pasalnya, teknologi digital menjadi kunci dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan.
Namun, pada saat bersamaan, pola pencari kerja berubah. Karakter pencari kerja yang mayoritas adalah generasi milenial menginginkan jenis pekerjaan yang menantang sekaligus menjadi wadah aktualisasi diri. Di luar itu, mereka juga mencari gaji dan lingkungan kerja yang menarik.
Pencari kerja juga semakin dimudahkan dengan kehadiran platform digital yang membuat mereka dapat mencari kerja sesuai kriteria masing-masing. Mereka kini dapat menyeleksi pekerjaan berdasarkan besaran gaji, deskripsi pekerjaan, dan lokasi tempat kerja.
Dalam survei yang dilakukan Jobstreet.com Indonesia terhadap 1.000 perusahaan, ditemukan rata-rata perputaran (turnover) karyawan mencapai 25 persen. Bahkan, ada satu perusahaan yang memiliki perputaran hingga 50 persen. Jobstreet.com Indonesia adalah perusahaan pasar kerja daring dengan 83.128 unit perusahaan dan 7,8 juta pencari kerja terdaftar di situs tersebut.
Faridah berpendapat, karakter generasi milenial yang kini suka gonta-ganti pekerjaan membuat perusahaan terbagi dalam dua kategori dalam menjaring tenaga kerja. Perusahaan yang beradaptasi biasanya menyanggupi permintaan pencari kerja. Misalnya, dengan menyetujui waktu dan tempat kerja yang fleksibel, menyediakan makanan siang, atau mengadakan acara kantor yang menyenangkan.
Perusahaan yang menyesuaikan kebutuhan para milenial tersebut kebanyakan adalah perusahaan rintisan yang baru berkembang. Di Jobstreet, contohnya, perusahaan menyediakan waktu satu hari dalam seminggu sebagai ”Hari Buah”. ”Generasi milenial kebanyakan terinspirasi dari kantor perusahaan besar, seperti Google,” kata Faridah.
Di sisi lain, ada perusahaan yang masih belum dapat sepenuhnya menerima karakter pencari kerja masa kini. Ketersediaan anggaran masih menjadi batu sandungan bagi perusahaan tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menyampaikan, dampak perputaran karyawan yang tinggi biasanya lebih terasa pada industri konvensional, seperti sektor manufaktur.
”Sektor manufaktur memang lebih repot karena minat anak muda untuk bekerja di situ turun,” kata Hariyadi, Minggu (16/12/2018). Selain harus menguasai keterampilan khusus, pekerja juga memiliki jam kerja yang masih sulit untuk diatur secara fleksibel.
Ia melanjutkan, perusahaan mapan kini harus bersaing dengan perusahaan rintisan baru yang lebih banyak bergerak di sektor jasa. Oleh karena itu, sejumlah perusahaan menerapkan beberapa strategi yang dapat menarik minat pekerja muda bekerja di industri manufaktur.
Salah satu strategi yang dinilai paling efektif adalah dengan mendekati calon pekerja yang berada di level sekolah menengah. Di situ, siswa dikenalkan dengan cara kerja di perusahaan konvensional.
Tentunya, ketika bekerja, pekerja juga diberikan penghargaan berupa gaji dan fasilitas yang lebih tinggi. Suasana kerja di lingkungan pabrik juga didesain agar lebih ramah dan terbuka.
Institusi pendidikan
Tidak hanya perusahaan, institusi pendidikan juga menerapkan teknologi digital. Kini semakin banyak sekolah dan perguruan tinggi yang menerapkan interaksi belajar secara daring. Transformasi digital pada institusi pendidikan konvensional pun dilakukan demi menarik minat dan mengakomodasi tuntutan pelajar masa kini.
Beberapa waktu lalu, Rektor Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko dalam diskusi Catatan Akhir Tahun Unika Atma Jaya menceritakan, perguruan tinggi tersebut telah menerapkan pembelajaran secara daring dan luring.
”Kelas online merupakan komplementer, bukan pengganti, dari kelas offline,” ujar Agustinus. Universitas tersebut kini juga menyediakan program percakapan intelektual atau chatbot bernama Savira di sebuah media sosial yang akan menjawab pertanyaan terkait Atma Jaya.
Transformasi SDM
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, tidak hanya perusahaan, sumber daya manusia juga harus bertransformasi agar lebih melek digital. ”Indonesia keteteran dari semua negara anggota ASEAN dan G-20 terkait talent,” ujarnya.
Rudiantara, mengutip studi yang dilakukan McKinsey, menemukan, Indonesia membutuhkan 300.000 pekerja di sektor teknologi dan informatika setiap tahun. Oleh karena itu, kerja sama dengan negara lain untuk memajukan SDM penting dilakukan.
Pemerintah dan pendiri Alibaba Group (perusahaan e-dagang, ritel, dan teknologi terbesar di China) Jack Ma, sepakat memulai program Jack Ma Institute pada 2019 untuk memberi pelatihan bagi C-level (eksekutif) di perusahaan teknologi.
Faridah menambahkan, perusahaan akan semakin membutuhkan tenaga kerja dengan latar belakang TI pada 2019. Pengembangan kapasitas tenaga kerja yang telah bekerja di bidang teknologi digital perlu untuk terus dilakukan.