Evaluasi Peradilan Menyeluruh Mendesak Dilakukan
JAKARTA, KOMPAS - Kembali tertangkapnya hakim dalam kasus dugaan korupsi menjadi sinyal penting untuk segera dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap badan peradilan di Tanah Air. Penangkapan terhadap hakim dan aparat peradilan dalam tiga tahun terakhir seharusnya dipandang sebagai suatu persoalan besar dan serius sehingga tidak cukup ditangani oleh Mahkamah Agung semata.
Sejak 2015, sebanyak 14 hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung terjerat kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Yang terakhir, pada Selasa (27/11/2018) malam, KPK menangkap dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Iswahyudi Widodo dan Irwan, serta panitera pengganti PN Jakarta Timur Muhammad Ramadhan, yang diduga menjadi perantara suap. Selain ketiganya, KPK menangkap advokat Arif Fitrawan. Keempatnya ditetapkan sebagai tersangka kasus suap.
"KPK terus mengingatkan agar seluruh pihak, khususnya aparat penegak hukum untuk terus menjaga integritas dan tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi dengan memperjualbelikan putusan," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Rabu (28/11/2018) di Jakarta.
KPK terus mengingatkan agar seluruh pihak, khususnya aparat penegak hukum untuk terus menjaga integritas dan tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi dengan memperjualbelikan putusan,
Iswahyudi dan Irwan diduga menerima Rp 150 juta dan 47 ribu dollar Singapura secara bertahap dari pihak advokat. Suap itu diduga untuk mempengaruhi putusan perkara perdata terkait pembatalan perjanjian akuisisi PT Citra Lampia Mandiri (CLM) oleh PT Asia Pacific Mining Resources (APMR).
Terkait penangkapan dua hakim ini, Juru Bicara MA Suhadi memastikan MA akan menindak tegas aparatnya yang telah berstatus tersangka.
Menurut Suhadi, banyak cara telah dilakukan untuk mencegah aparatnya menerima suap, termasuk dengan melarang pertemuan antara aparat peradilan dengan pihak berperkara, dan mewajibkan atasan melakukan pengawasan melekat terhadap bawahannya. Namun, segala ketentuan dan larangan MA itu belum mampu mengatasi risiko korupsi di tubuh peradilan.
“Ya rupanya seperti itu (tidak efektif),” kata Suhadi.
Resisten
Kembali ditangkapnya hakim karena suap menunjukkan ketidakberdayaan MA dalam mengawasi dan membina para hakimnya. Kondisi ini hendaknya ditangkap oleh MA untuk membuka ruang pengawasan dari Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal hakim.
“Selama ini, kami melihat MA sangat keras menolak pengawasan dari lembaga lain, khususnya dari KY. Namun, kalau terjadi lagi hakim tertangkap suap, menunjukkan MA sebenarnya tidak berdaya mengawasi dan membina hakimnya,” ujar Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Teuku Taufiqulhadi.
Oleh karena itu, dia mendorong agar MA tidak lagi resisten terhadap pengawasan KY demi kepentingan masyarakat pencari keadilan. Keadilan tak bakal ditemukan jika masih ada korupsi.
Komisi III DPR, tambah Taufiqulhadi, pun berpikir untuk memperkuat pengawasan KY terhadap hakim. Ini diupayakan melalui proses legislasi.
“Kami akan coba hadirkan norma yang lebih kuat di RUU Jabatan Hakim, yang intinya lebih memperkuat, mengoptimalkan peran pengawasan oleh KY. Kalau tidak, ini bisa berbahaya, kejadian itu bisa terulang terus,” katanya.
Ketua KY Jaja Ahmad Jayus yang ditemui terpisah mengaku prihatin dengan terus berulangnya penangkapan hakim itu. “Perlu ada koreksi total tentang pola pembinaan hakim, karena dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama ini terulang lagi. KY siap bekerja sama dengan MA, berdiskusi memecahkan masalah ini,” katanya.
Evaluasi total
Sementara itu, mantan hakim agung Topane Gayus Lumbuun berpendapat, penangkapan hakim akan terus terjadi jika evaluasi total tidak dilakukan. Evaluasi yang dimaksud tak lain dengan mengganti pimpinan-pimpinan pengadilan mulai dari pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, hingga MA. Pimpinan pengadilan yang tergolong baik dipertahankan, sedangkan yang terindikasi buruk harus segera diganti.
Dengan evaluasi total ini, badan peradilan Tanah Air akan mendapatkan wajah baru. Tidak lagi diisi oleh orang-orang dengan integritas yang meragukan, melainkan benar-benar dipimpin oleh hakim yang bersih.
Upaya evaluasi total ini akan memakan energi relatif besar, karena ada sekitar 600 Ketua PN di seluruh Indonesia, dan bila dihitung dengan Wakil Ketua Ketua PN, maka ada 1.200 pimpinan PN. Begitu pula dengan Ketua PT dan Wakil Ketua PT yang jumlahnya sekitar 60 orang. Selain itu, ada tambahan untuk evaluasi 10 orang pimpinan MA.
Selain evaluasi terhadap pimpinan badan peradilan, evaluasi total juga harus dilakukan untuk melihat sejauh mana efektivitas pembinaan dan pengawasan yang selama ini dilakukan oleh MA.
“Pembinaan dan pengawasan saat ini sudah tidak lagi efektif. Orang-orang lama ini sudah tidak takut dibina, tidak mau tahu, dan tidak peduli dengan pengawasan dan pembinaan. Jadi kalau mereka ditangkap itu dianggap malang atau sial saja,” kata Gayus.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menuturkan, penangkapan hakim terus terjadi karena peradilan masih separuh hati dalam melakukan pembenahan.
“Penangkapan tangan pelaku korupsi oleh KPK di PN Jaksel ini sesuatu yang berulang dan mudah ditebak. Artinya, MA gagal memperkirakan di mana saja lumbung-lumbung korupsi di peradilan, dan gagal membangun antisipasi agar peradilan terbebas dari perkara yang mencoreng marwah peradilan,” katanya.