KPU mematuhi putusan MA dan PTUN Jakarta yang membuat Oesman Sapta tetap menjadi calon anggota DPD pada Pemilu 2019. KPU juga mematuhi MK yang melarang anggota DPD jadi pengurus parpol.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum akan berupaya menjalankan semua putusan lembaga peradilan terkait pencalonan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah pada Pemilu 2019. KPU kemungkinan akan memasukkan Oesman Sapta dalam daftar calon tetap DPD, tetapi juga akan mengatur calon terpilih harus mundur dari kepengurusan parpol.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Rabu (14/11/2018) memerintahkan KPU mencabut surat keputusan penetapan daftar calon tetap (DCT) DPD Pemilu 2019. KPU juga diperintahkan menerbitkan surat keputusan baru tentang DCT DPD Pemilu 2019 dengan mencantumkan nama Oesman Sapta sebagai calon tetap.
”KPU berada dalam posisi sulit karena harus menghadapi putusan yang berbeda. Tampaknya, suka atau tidak suka, dimungkinkan kami akan melaksanakan putusan PTUN. Namun, kami juga tetap harus melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi,” kata anggota KPU, Wahyu Setiawan, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (15/11/2018).
Menurut Wahyu, jalan tengah yang bisa ditempuh ialah setelah melaksanakan putusan PTUN Jakarta, KPU juga akan melaksanakan putusan MK dengan mengatur bahwa calon anggota DPD yang sudah terpilih harus mundur dari kepengurusan partai politik. Dengan formulasi tersebut, kata Wahyu, KPU sudah menjalankan dua putusan sekaligus dengan waktu yang berbeda. Dengan begitu, KPU juga akan membuat penyesuaian peraturan KPU untuk mengakomodasi putusan MK dan PTUN.
”Kami belum mengambil keputusan (dalam rapat pleno KPU), tetapi diskusinya mengarah ke sana. Setelah mempertimbangkan masukan berbagai pihak, kami cenderung mengambil keputusan ke arah sana,” kata Wahyu.
Putusan PTUN Jakarta muncul tidak lama setelah Mahkamah Agung memutus uji materi terhadap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan DPD yang diajukan Oesman Sapta. MA menyatakan PKPU itu berlaku sepanjang tidak diberlakukan surut. Sementara itu, PKPU No 26/2018 disusun berdasarkan putusan MK yang menyatakan anggota DPD tidak boleh merupakan pengurus partai politik. PKPU itu menjadi pedoman KPU menyatakan Oesman Sapta tak memenuhi syarat karena tidak mengundurkan diri dari kepengurusan parpol hingga jelang penetapan DCT.
Secara terpisah, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rahmat Bagja, mengatakan, Bawaslu menyerahkan kepada KPU soal tindak lanjut putusan PTUN Jakarta terkait pencalonan Oesman Sapta. Dia mengakui ada pertentangan putusan MK dan MA, tetapi pilihan tetap harus diambil KPU.
Namun, dia juga mengingatkan ada batas waktu yang harus dipenuhi KPU untuk menindaklanjuti putusan PTUN. Dalam Pasal 471 Ayat 8 UU No 7/2017 tentang Pemilu disebutkan, KPU wajib menindaklanjuti putusan pengadilan tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada Ayat 6 paling lama tiga hari kerja.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, jika KPU memilih jalan tengah memasukkan nama Oesman Sapta dalam DCT DPD, lalu mensyaratkan calon terpilih harus mengundurkan diri dari kepengurusan parpol, KPU tinggal memasukkan pengaturan itu dalam PKPU tentang penetapan hasil pemilu dan pelantikan calon terpilih. Artinya, KPU tidak perlu merevisi PKPU No 26/2018.
Dilematis
Mantan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Nur Hidayat Sardini, menyarankan KPU berdiskusi dengan pemangku kepentingan kepemiluan, seperti Komisi II DPR.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Khairul Fahmi, mengatakan, situasi saat ini dilematis bagi KPU. Sudah hampir pasti upaya mematuhi putusan MK sulit dilakukan karena ada putusan MA yang menyatakan sebaliknya. Di sisi lain, upaya mematuhi putusan MA sama artinya dengan mengabaikan konstitusi.
”Begitu pula kalau KPU tidak mengikuti putusan PTUN, nanti KPU pasti dibawa ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu,” kata Khairul.