Evaluasi Menyeluruh Program JKN-KIS
Selama hampir lima tahun terakhir, banyak persoalan dalam pengimplementasian program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat. Mau tidak mau perbaikan harus dilakukan.
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah mendorong evaluasi menyeluruh terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan untuk mengoptimalkan pelayanannya kepada masyarakat.
Evaluasi terutama mencakup besaran iuran, layanan kesehatan, serta penanggung jawab pelaksanaan jaminan sosial kesehatan. "Mungkin tahun depan harus kita evaluasi ulang preminya, layananannya sampai batas mana, dan peranan daerah bagaimana agar turut bertanggung jawab," kata Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa (13/11/2018).
Wapres Kalla menegaskan, program JKN-KIS harus tetap dilanjutkan karena merupakan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Menurut dia, persoalan dalam penyelenggaraan layanan kesehatan tetap akan muncul, siapapun yang memimpin BPJS Kesehatan.
Persoalan keuangan, misalnya, akan tetap terjadi sepanjang iuran jaminan kesehatan lebih rendah dibanding permintaan layanan kesehatan. Karena itu menurut Kalla, premi BPJS Kesehatan perlu dinaikkan. "Tahun depan sudah harus dievaluasi," katanya.
Persoalan keuangan, misalnya, akan tetap terjadi sepanjang iuran jaminan kesehatan lebih rendah dibanding permintaan layanan kesehatan.
Evaluasi juga dilakukan pada aspek layanan kesehatan. Ketua Umum Palang Merah Indonesia itu berpendapat, manfaat kesehatan yang ditanggung BPJS Kesehatan harus dibatasi. "Kalau tidak terbatas, bisa-bisa terjadi seperti apa yang dialami Yunani. Itu (krisis) terjadi karena tidak ada batasan layanan kesehatan," tuturnya.
Hal yang tak kalah penting adalah penanggungjawab pelaksanaan jaminan kesehatan nasional. Sudah sejak lama pemerintah pusat merumuskan pelibatan pemerintah daerah dalam penyelengaraan jaminan kesehatan.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, dalam pertemuan dengan Forum Pemred, yang juga dihadiri Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo, menyatakan, pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah terkait kapan ada kenaikan iuran JKN-KIS.
”Kami menyampaikan prediksi hal-hal secara akademik harus dilakukan. Jika dari sisi iuran tak terpenuhi, akhir tahun ada suntikan dana tambahan,” ucapnya.
Berdasarkan perhitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tahun 2016, iuran JKN bagi penerima bantuan iuran (PBI) Rp 36.000 dan peserta bukan penerima upah (PBPU) kelas tiga Rp 53.000. Sementara pemerintah menetapkan iuran PBI Rp 23.000 dan iuran bagi PBPU kelas tiga Rp 25.500.
Tiga hal
Senada dengan wapres Kalla, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Ahmad Anshori, menyampaikan, semua persoalan yang terjadi dalam implementasi JKN-KIS terutama berasal dari tiga hal yang saling terkait, yakni kesesuaian pembiayaan dengan manfaat, ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan, serta efektivitas kinerja BPJS Kesehatan.
Semua persoalan yang terjadi dalam implementasi JKN-KIS terutama berasal dari tiga hal yang saling terkait, yakni kesesuaian pembiayaan dengan manfaat, ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan, serta efektivitas kinerja BPJS Kesehatan.
Ketidakcukupan dana jaminan sosial selama ini telah terbukti berdampak luas pada kualitas pelayanan yang tidak optimal dan berpengaruh negatif pada peserta.
"Kalaupun kenaikan iuran belum bisa dilakukan karena pertimbangan politis, dalam jangka pendek pemerintah penuhi saja kekurangan dana JKN-KIS. Tidak perlu lagi meminta audit toh sudah ada hasil audit BPKP," tutur Anshori.
Menurut Anshori, bauran kebijakan yang disiapkan mengantisipasi kekurangan dana JKN-KIS tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap likuiditas BPJS Kesehatan.
Ketua Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany menyampaikan, masalah pokok JKN-KIS adalah kurangnya dana. “Ini (dana yang kurang) kenapa enggak mau diakui oleh pemerintah. Padahal pemerintah yang punya kewenangan untuk membenahi dan yang mampu membenahi masalah ini,” ujarnya.
Masalah pokok JKN-KIS adalah kurangnya dana. Pemerintah yang punya kewenangan untuk membenahi dan yang mampu membenahi masalah ini.
Menurutnya, jika pemerintah tidak memenuhi kekurangan dana dalam program JKN-KIS maka kualitas layanan kesehatan yang diterima oleh masyarakat akan semakin menurun sehingga berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah ini.
“Sekitar 80-90 persen tenaga kesehatan dan rumah sakit juga mengeluh atas bayaran yang tidak lancar. Akibatnya, pelayanan pun yang dikorbankan. Kalau bayaran berjalan baik, swasta pun berani melakukan investasi agar layanan kesehatan bisa semakin baik,” kata Hasbullah.
Ketua Umum Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB) James Alan Rarung, menyatakan, apabila tidak ada evaluasi maka rakyat dan tenaga juga fasilitas kesehatan akan terus menjadi korban. Gejolak makin besar dan pelayanan bagi peserta tidak merata.
"Pemerintah jangan dulu bicara soal pencapaian Universal Health Coverage (UHC) kalau rakyat miskin belum mendapat pelayanan yang optimal," ujarnya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, mengatakan, pangkal masalah JKN-KIS adalah implementasinya yang tidak sesuai dengan regulasi. Misalnya, iuran yang harusnya disesuaikan setiap dua tahun sekali tidak dilakukan. Defisit pada akhirnya mendorong adanya pembatasan manfaat peserta.
Pangkal masalah JKN-KIS adalah implementasinya yang tidak sesuai dengan regulasi. Misalnya, iuran yang harusnya disesuaikan setiap dua tahun sekali tidak dilakukan.
Contoh lain, cakupan peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) masih belum optimal. Masih ada badan usaha yang belum mendaftarkan pegawainya pada BPJS Kesehatan. Padahal, sesuai aturan per 1 Januari 2015 seharusnya semua badan usaha sudah mendaftarkan.
"Ada banyak perusahaan alih daya yang pegawainya belum didaftarkan (BPJS Kesehatan)," ujar Timboel. Jika perbaikan dari sisi pendanaan dan pelayanan JKN-KIS tidak diperbaiki maka defisit akan terus terjadi. Persoalan yang sama akan terus berulang.
Sementara James menegaskan, evaluasi menyeluruh terhadap implementasi program JKN-KIS memerlukan kejujuran dan keterbukaan semua pihak. Ego sektoral perlu dikesampingkan karena sepanjang ini ada, evaluasi akan sulit dilakukan. "Bagaimana mau ada perbaikan kalau, misalnya, tidak mau mengakui kesalahan," ujarnya.
James mengingatkan agar program JKN-KIS jangan dijadikan "mainan" politik yang dipakai untuk pencitraan siapapun. Program yang sudah banyak membantu masyarakat ini jauh lebih besar daripada itu.
Menurut Anshori, saat ini justru waktu yang tepat bagi pemerintah memperbaiki secara serius JKN-KIS.
(DEONISIA ARLINTA/ ANITA YOSSIHARA/EVY RAHMAWATI)