JAKARTA, KOMPAS — Mahalnya biaya politik di Indonesia menjadi salah satu penyebab masih maraknya kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah. Penegakan hukum yang konsisten dan sanksi hukum yang berat dinilai dapat menekan terjadinya kasus korupsi di Indonesia.
Pengajar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, Jumat (26/10/2018), mengatakan, mahalnya sistem politik di Indonesia menjadi salah satu penyebab masih maraknya kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah.
Korupsi oleh kepala daerah tak kunjung reda sejak 2004. Setelah Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin terjaring operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), giliran Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra yang kini diproses KPK. Sunjaya adalah kepala daerah ke-100 yang diproses oleh KPK jika dihitung sejak 2004.
Sunjaya ditangkap KPK pada Rabu (24/10/2018) sore karena diduga menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 6,7 miliar. Selain dari jual beli jabatan lurah hingga eselon III, uang itu juga berasal dari pemberian pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cirebon dan swasta terkait proyek pembangunan daerah.
Dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (25/10/2018), Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menuturkan, pemberantasan korupsi memang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Hal ini karena sistem yang kini berjalan di pemerintahan dan proses saat pemilihan pimpinan masih rawan disalahgunakan.
”Kajian kami, banyak kepala daerah yang mengaku disponsori pihak tertentu bahkan meminjam modal saat maju di pilkada. Di luar Jawa, biayanya bisa Rp 20 miliar-Rp 30 miliar. Di Jawa bisa lebih besar lagi. Jika dihitung dari penghasilan bersih yang legal untuk kepala daerah selama lima tahun, biaya itu tidak akan tertutup,” papar Marwata.
Menurut Fickar, calon kepala daerah membutuhkan biaya yang tinggi untuk menyewa perahu partai, pembiayaan tim sukses, termasuk biaya survei dan saksi, hingga biaya kampanye di sejumlah elemen masyarakat.
”Jika melihat tujuan dan modusnya, semua memanfaatkan jabatan atau kekuasaan untuk memperoleh uang korupsi yang ujungnya ditujukan untuk mengganti biaya politik, menumpuk kekayaan pribadi, hingga pembiayaan partai. Keadaan ini yang sering kali menjadi faktor pendorong korupsi para kepala daerah,” tutur Fickar.
Selain itu, Fickar menilai, lemahnya karakter atau integritas seorang kepala daerah juga menjadi faktor pendorong terjadinya korupsi. Kepala daerah tidak memiliki kekuatan untuk melawan sistem keuangan penyelenggaraan pemerintahan. Mereka mudah tergiur menyelewengkan anggaran meskipun sudah diciptakan sistem pengawasan.
”Seorang yang berintegritas seperti ulama atau pendeta sekalipun ketika menjadi kepala daerah akan berperilaku koruptif. Artinya, ini merupakan soal integritas pribadi dan di sisi lain soal sistem keuangan negara yang sangat mungkin memicu perilaku koruptif,” ujarnya.
Kendala sistem yang saat ini coba diatasi dengan cara negara menanggung seluruh biaya kampanye juga dinilai Fickar belum dapat menekan praktik korupsi. Hal ini, lanjutnya, menjadi kebiasaan atau bahkan budaya korupsi di negeri ini tidak akan pernah hilang.
Menurut Fickar, penegakan hukum yang konsisten dan sanksi yang berat dinilai dapat menekan terjadinya kasus korupsi di Indonesia.
”Meski belum tentu penegakan hukum bisa menyelesaikannya, pada saat ini rasanya menjadi pilihan yang tepat dengan menghukum secara maksimal, seperti penjara seumur hidup bagi koruptor,” ucapnya.
Prihatin
Berulangnya kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah membuat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo merasa prihatin. Menurut dia, kepala daerah tak kunjung memahami area rawan korupsi seperti jual-beli jabatan dan perencanaan anggaran.
”Saya tetap prihatin dan sedih. Padahal, area rawan korupsi sudah terus saya sampaikan. Jangan jual-beli jabatan, ikuti mekanisme dan aturan yang ada,” katanya.
Agar tidak terjadi kekosongan jabatan, Mendagri telah menyiapkan surat keputusan pengangkatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Cirebon Rahmat Sutrisno menjadi Pelaksana Harian Bupati Cirebon. Kursi bupati dijabat oleh sekda karena Wakil Bupati Cirebon Selly Andriany Gantina mengundurkan diri pada September 2018 karena maju sebagai calon anggota legislatif DPR.
”Sekda Kabupaten Cirebon akan kami tunjuk sebagai pelaksana harian, sampai kasus Sunjaya berkekuatan hukum tetap. Jangan sampai pemerintahan kosong dan tak ada yang bertanggung jawab,” ujar Tjahjo.