Menggelegak, dari Indramayu Mengarungi Arafuru
Jangan lagi membayangkan sebagian besar nelayan Indramayu, Jawa Barat, masih berperahu tembon (panjang 7-8 meter), sope (9 meter), atau jegogan (12 meter) berbobot hanya 5-10 gros ton. Sebab, di awal 2000-an jenis perahu tradisional Indramayu seperti ini sudah tergeser dengan kapal-kapal kayu modern. Kapal yang paling banyak dibuat para juragan kapal di Karangsong, Indramayu, saat ini adalah kapal-kapal yang berbobot 70-150 GT.
Jarak tempuhnya pun kian jauh, dari Karangsong, Indramayu, ke Laut Arafuru (Arafura) di sekitar Maluku dan Papua, dengan tangkapan maksimal 170 ton ikan setelah empat bulan di laut. Bandingkan dengan perahu tradisional yang cuma mampu menjaring 200 kilogram ikan setelah dua hari menyisir pantai terdekat.
Tarya (48), salah satu mandor kapal, mengatakan, 2015 menjadi tahun pembuatan kapal terbanyak di Karangsong. Di tahun itu, Calim, atasan Tarya, menerima pesanan tujuh kapal berbobot 120 sampai 150 GT. Saat itu di Karangsong dan sekitarnya ada sekitar 10 jagoan pembuat kapal. Nama-nama tersebut selain Calim antara lain Daruki, Nursan, Carita, Carwan, Duliman, Tutung, dan Daman.
Saat ditemui di tepian Jalan Karangsong, Kamis (4/10/2018) siang, Tarya dan delapan pekerja lain sedang membuat perahu pesanan Haji Nur (67). Panjang kapal 22 meter dengan lebar 7,6 meter dan tinggi 4 meter.
”Tahun ini, dari Pak Calim, saya sudah membuat tiga kapal. Satu kapal di antaranya berukuran panjang 25 meter, lebar 8 meter, dan tinggi 4,5 meter, berbobot 150 GT. Tahun lalu, saya juga mendapat pesanan membuat satu kapal berbobot 150 GT,” ujarnya di sela-sela bunyi ketokan palu di salah satu dinding kapal.
Beberapa pekerja tampak sedang memasang pasak kayu dan mur-mur berukuran besar di bibir kayu kapal. Di bagian bawah kapal, beberapa pekerja lain sedang memberi lapisan antibocor pada lunas kapal dengan bibit busa dan mengecat dasar.
Sambil bekerja, Tarya menjelaskan, pada usia 25 tahun ia mulai membuat perahu di bawah bimbingan paman di Eretan, Indramayu. Enam tahun kemudian, ia pindah ke Karangsong dan mulai membuat kapal di bawah bimbingan Calim.
”Saya memimpin para pekerja setelah mendapat pesanan membuat kapal dari Pak Calim. Pak Calim menerima pesanan dari para juragan kapal di sini. Istilah orang Karangsong, orang seperti Pak Calim itu bos, sedangkan pemodal kapal disebut juragan kapal,” ungkap Tarya.
Kapal dikerjakan dalam empat bulan. Upah harian para pekerja Rp 150.000 per hari. Bekerja mulai pukul 08.00 sampai pukul 17.00. ”Bos bayar ke saya borongan,” kata Tarya tanpa menyebutkan pendapatan yang dia terima.
Haji Nur yang tiba-tiba sudah berdiri di geladak kapal membenarkan, pada 2015 sejumlah pemilik tambak menjual lahan untuk membeli kapal. Mereka tergiur banyak cerita sukses para juragan kapal mengarungi Laut Arafuru.
Maklum, pendapatan dari tambak jauh lebih kecil dibandingkan pendapatan dari mencari ikan di laut, terutama di Papua. ”Istilahnya, orang-orang darat pada ikutan nyebur ke laut,” kata Haji Nur. Ia terkekeh.
Haji Nur menjelaskan, hampir semua juragan kapal di Karangsong tumbuh dari nelayan kecil seperti dirinya. ”Awalnya saya bekerja di satu perahu milik juragan perahu. Pada 1970-an, saya dipercaya menjadi nakhoda, lalu membeli sope bekas. Setelah tabungan cukup, saya menjual sope bekas dan membuat yang baru. Pada 1998, saya sudah punya dua sope,” kata jebolan kelas II SD itu.
Setelah tabungan cukup, Haji Nur pun memesan kapal berbobot 120 GT tersebut. ”Nilainya Rp 6 miliar. Sudah lengkap dengan semua fasilitas, termasuk jaring ikan. Modal sendiri 70 persen, pinjaman bank 30 persen,” ungkap pria yang masih buta huruf tetapi tergolong sukses ini. Jika sudah siap berlayar, kapal ini akan membawa 16 nelayan, termasuk seorang nakhoda.
Ia mengakui, pembuatan kapal miliknya tergolong lamban. ”Sudah hampir setahun belum selesai. Dari (bulan) Maulud tahun lalu sampai Maulud tahun ini belum selesai,” katanya. Penyebabnya, kurangnya jumlah pembuat kapal di Karangsong dibandingkan bertambahnya pemesanan pembuatan kapal yang mulai meningkat sejak 2015.
Kapal ini adalah kapal ketiga miliknya. ”Dua kapal saya lainnya sedang di laut. Kapasitas masing-masing cuma untuk 70 ton ikan,” ujar Haji Nur.
Pada bagian lain ia menjelaskan, para nelayan awalnya berasal dari Pabean Udik dan Paoman, sedangkan para pembuat kapal kebanyakan berasal dari Pasekan dan Pagirikan. Semuanya masih berada di sekitar Karangsong.
Orang-orang darat pada ikutan nyebur ke laut.
Pembukaan zona timur
Ketua Koperasi Perikanan Laut (KPL) Mina Sumitra, Desa Karangsong, Darto, yang ditemui di kantornya, Jumat (5/10/2018), menjelaskan tentang sejarah perkembangan dunia nelayan di Karangsong. Ia memaparkan pada 1980-an nelayan di Karangsong kebanyakan masih menggunakan perahu sope berbobot 5-10 GT. Ada sekitar 100 sope kala itu. ”Dua hari melaut, kembali dengan 50-200 kilogram ikan,” ucapnya.
Pada 1995-1997, ukuran sope bertambah sehingga bisa melaut 15-30 hari dengan hasil tangkapan 2-2,5 ton ikan dengan jaring nilon. ”Perahu sudah mulai membawa bahan baku es untuk tempat penyimpanan ikan. Jumlahnya di era itu sampai 60 sope,” kata Darto.
Pada 2000-2007, nelayan Karangsong mulai menggunakan kapal dengan bobot 40-60 GT. Jaring ikan mulai memakai jenis ginlet oceanic. Kapal sudah menggunakan instalasi pipa pendingin untuk penyimpanan ikan.
Nelayan tak lagi hanya mencari ikan di seputar pantai utara Jawa, tetapi sudah merambah sampai Kepulauan Natuna dan perairan di Kalimantan sekitar Banjarmasin. Mereka di laut sampai 50 hari dengan hasil tangkapan 10-20 ton. ”Jumlah kapal-kapal jenis ini pada masa itu mencapai 100,” kata Darto.
Pada 2007-2013, para nelayan mulai bersaing dengan kapal jenis pukat harimau dan cantrang. Tak ingin terdesak, mereka mulai membuat kapal-kapal berbobot 99 GT.
”Para nelayan Indramayu sempat terseok-seok dengan suasana seperti ini, apalagi dengan hadirnya kapal-kapal nelayan asing. Beruntung nelayan, terutama kami, punya Ibu Susi (Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan) yang berani menenggelamkan kapal-kapal asing pencuri ikan itu,” kata Darto.
Langkah Susi berikutnya adalah membuka zona pencarian ikan di wilayah timur seperti di perairan Arafuru. ”Ini menjadi awal kebangkitan para nelayan Karangsong. Hampir seluruh pangkalan perairan di Timika, Dobo, dan Tual, misalnya, cepat diwarnai kapal-kapal nelayan dari Indramayu,” ucap Darto bangga.
Harga kapal berbobot 70-150 GT, lanjut Darto, Rp 4 miliar-Rp 6 miliar per unit. Selesai dibuat dalam 4-7 bulan. ”Itu besaran kapal paling banyak dipesan tahun-tahun belakangan ini,” ujar Darto.
Ini menjadi awal kebangkitan para nelayan Karangsong. Hampir seluruh pangkalan perairan di Timika, Dobo, dan Tual, misalnya, cepat diwarnai kapal-kapal nelayan dari Indramayu.
Dari 2014 sampai sekarang, kalangan nelayan di Karangsong, lanjut Darto, sudah mempunyai 600 kapal berbobot 70-150 GT. Setelah empat sampai lima bulan melaut, para nelayan mampu membawa pulang ikan 120-170 ton dari perairan Papua.
”Catatan di TPI (tempat pelelangan ikan) Karangsong tahun 2014 menunjukkan, 17.215, 58 ton ikan terjual. Tahun 2016 sebanyak 21.437, 23 ton ikan, tahun 2017 turun menjadi 20.827, 95 ton, tetapi tahun 2018, sampai bulan September ini, sudah 21.559, 30 ton ikan terjual di TPI,” kata Darto.
”Buat pedagang kelas menengah seperti saya, modal beli ikan di TPI maksimal Rp 30 juta untuk membeli satu ton ikan di sini. Kalau para pedagang kelas atas di sini bisa membeli sampai 2-3 ton ikan,” ujar Turia (52) yang ditemui di TPI, Jumat lalu. Ia menilai, membuka usaha di TPI tergolong sangat menguntungkan.
”Di sini prosesnya cepat. Padahal, ada puluhan pedagang ikan dalam partai besar hingga pedagang ikan dalam partai kecil di sini karena ikannya melimpah,” kata perempuan setengah baya itu. Ia umumnya menjual ikan ke Pasar Telancang, Pasar Eretan. ”Kalau menjual ikan manyung biasanya ke Pasar Dadap,” kata Turia.
Terhambat perizinan
Pada 2017 tercatat hasil tangkapan ikan yang dijual di TPI Karangsong merosot. Mengapa?
”Karena lambannya perizinan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ini yang menjadi momok bagi kemajuan armada kapal nelayan kami,” ungkap Darto. Ia menjelaskan, ada sekitar 13 item yang harus dilengkapi pemilik kapal sebelum kapal diizinkan berlayar.
”Tiga dokumen yang utama adalah dokumen gros akta kapal, pass tahunan, dan surat kelayakan. Setelah mendapat tiga surat ini, baru diterbitkan surat izin usaha perikanan (SIUP). Setelah pemilik kapal mendapat SIUP, dia baru mendapat buku kapal atau bukti kepemilikan kapal. Dilanjutkan dengan penerbitan SIPI (surat izin penangkapan ikan) serta mendapat perangkat PMS (power management system) dan alat untuk memonitor keberadaan kapal. Ngurus beginian bisa sampai setahun baru selesai,” ujar Darto kesal.
Ia berharap, terobosan yang dilakukan Susi bisa berlanjut pada pelayanan perizinan yang lebih cepat dan ringkas. ”Seharusnya cukup ada gros akta atau buku kapal saja untuk memperpendek prosedur. Kalau perlu, 13 item dokumen bisa dikurangi menjadi hanya lima dokumen, dengan sistem penerbitan dan pengawasan online (dalam jaringan),” ucap Darto.
Menurut dia, petugas di KKP seharusnya memberi pendampingan kepada para pemilik kapal sehingga seluruh syarat bisa dipenuhi saat mengurus. ”Yang lama itu saat ngurus dokumen. Kami terpaksa balik lagi, balik lagi, karena katanya kurang inilah, kurang itulah. Coba kalau semua keterangan dan proses lewat online dan jumlah dokumen bisa dikurangi. Dua-tiga bulan perizinan bisa selesai,” kata Darto.
Ia mengatakan, biaya mengurus dokumen dan membayar pajak kapal dengan bobot 120 GT, misalnya, mencapai Rp 120 juta, ditambah untuk perangkat PMS Rp 6 juta, ditambah Rp 6 juta lagi untuk penerbitan seluruh dokumen. Jadi, total yang harus dibayar mencapai Rp 132 juta setiap tahun. ”Itu belum termasuk Pajak Penghasilan yang rata-rata mencapai Rp 15 juta setahun,” ungkap Darto.
Pemilik tiga kapal berbobot 47 GT-117 GT ini yakin, jika persoalan izin lancar, jumlah kapal nelayan dari Karangsong masih akan bertambah puluhan kapal. Saat ini, koperasi yang ia pimpin sudah memiliki lima kapal berbobot 30-90 GT dengan pola bagi hasil, 60 untuk koperasi dan 40 untuk nelayan. ”Jika soal perizinan teratasi, koperasi kami berani membuat lima kapal lagi tahun depan,” katanya.
Badai Dora
Haji Nur dan nakhoda Ciswanto (45) membenarkan pengurusan izin yang masih lamban dan berkepanjangan. ”Ya, kalau pengurusan izin sampai setahun, artinya tabungan saya selama tidak melaut habis lagi, dong,” ujarnya, Sabtu (6/10/2018) pagi. Jerih payahnya bersama belasan nelayan mengarungi Laut Arafuru kembali menguap.
Meski demikian, Ciswanto mengakui, kebijakan Susi membuka zona timur telah membuat kesejahteraan sebagian besar nelayan di Karangsong meningkat. ”Itu tidak bisa dimungkiri. Kalau boleh, kebijakan tersebut berlanjut dengan penyederhanaan prosedur perizinan sehingga kami bisa mengharapkan masa depan anak-anak kami lebih baik dari orangtuanya,” ucapnya.
Sebelum zona timur dibuka, kapal-kapal dari Indramayu mencari ikan di perairan Makassar, Kendari, sampai Natuna paling ujung di Laut China Selatan. Hasil tangkapan rata-rata 40-50 ton. Di Natuna, ikan yang terjaring kebanyakan ikan manyung.
Kalau boleh, kebijakan tersebut berlanjut dengan penyederhanaan prosedur perizinan sehingga kami bisa mengharapkan masa depan anak-anak kami lebih baik dari orangtuanya.
”Tapi di sana rawan menghadapi para nelayan kecil yang banyak memasang bubu (perangkap ikan) tanpa penanda. Ini membuat kapal-kapal kami secara tidak sengaja merusak bubu mereka. Konflik antara kami dan mereka sering terjadi,” ungkap Caswinto, nakhoda Kapal Motor (KM) Anugerah.
Setelah zona timur dibuka, ia dan 17 nelayan yang ikut, dengan kapalnya yang berbobot 97 GT, sanggup menjaring ikan hingga sebanyak 165 ton. Beberapa jenis ikan yang terjaring umumnya ikan hiu, ikan tongkol, dan tengiri. ”Sebulan perjalanan pulang pergi, sebulan istirahat di laut, dan dua bulan menjala ikan, hasilnya rata-rata segitu,” ujarnya.
Apa kesulitan terbesar yang dihadapi di Laut Arafuru? ”Tibanya Angin Barat terutama menghadapi Badai Dora seperti yang kami hadapi beberapa bulan lalu. Kalau cuma ombak dua sampai tiga meter sudah hal biasa buat kami. Yang kami enggak tahan tiupan anginnya,” kata Ciswanto.
Kapalnya yang bergerak dari timur ke barat dihadang angin dari barat ke timur. ”Kapal kami dikepung angin dari tiga penjuru, yaitu dari arah barat laut, barat, dan barat daya. Akibatnya, kapal kami hanyut ke arah tenggara dan terdampar di perairan Papua Niugini atau Australia,” kata Ciswanto. Kapal terpaksa bergeser ke perairan di Merauke dan lego jangkar empat mil laut dari darat selama sepekan. Setelah itu baru mereka menjala ikan.
Cerita tentang kerja keras dan kegigihan kaum nelayan Karangsong mengarungi laut nun jauh dari kampungnya menunjukkan, jiwa bahari Indonesia masih menggelegak dan berdampak positif pada perbaikan perekonomian nasional, terutama di kalangan masyarakat bawah. Sayang jika hal itu terhambat masalah klasik urusan perizinan nan panjang dan berbelit seperti dikeluhkan kalangan nelayan Karangsong. (WINDORO ADI)