Impor Beras Berpotensi Kian Longgar Tanpa Revisi HPP
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah belum berniat merevisi aturan harga pembelian gabah/beras meski angkanya dinilai semakin tidak relevan. Tanpa revisi harga pembelian pemerintah atau HPP, target pengadaan beras oleh Perum Bulog diperkirakan semakin sulit dicapai, tercermin dari realisasi yang terus turun. Risikonya, potensi impor beras semakin longgar.
Ketentuan HPP masih mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 yang berlaku sejak Maret 2015. Dalam aturan itu, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani ditetapkan Rp 3.700 per kilogram (kg). Sementara harga GKP di lapangan sebagian besar lebih tinggi.
Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) di 1.708 lokasi transaksi pada September 2018, misalnya, harga gabah mencapai Rp 4.889 per kg GKP atau 32 persen lebih tinggi dibandingkan HPP GKP di tingkat petani. Situasi serupa berlangsung 2-3 tahun terakhir.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menyatakan, pemerintah tetap menerapkan HPP yang berlaku saat ini. Namun, dalam menjalankan tugas menyerap gabah/beras di lapangan, Perum Bulog bisa membeli dengan harga yang fleksibel.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Sumarjo Gatot Irianto menambahkan, meningkatkan HPP harus hati-hati. Menurut dia, jika harga gabah naik, pemerintah tidak harus serta-merta menaikkan HPP.
Berdasarkan pengamatan Gatot, harga gabah yang tinggi pada musim kering saat ini disebabkan oleh kualitas gabah yang baik atau premium. Solusinya, produksi gabah harus ditingkatkan dengan mekanisasi atau menanam padi gogo saat musim kering.
Harga konsumen
Peneliti Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, M Husein Sawit memprediksi, pemerintah tidak akan merevisi HPP hingga 2019 meski harga gabah menunjukkan tren naik. "Orientasinya ke inflasi atau harga di tingkat kosumen," ujarnya saat dihubungi dari Bogor, Jawa Barat, Minggu (7/10/2018).
Tidak direvisinya HPP, menurut Husein, menyulitkan pengadaan gabah/beras untuk cadangan pemerintah (CBP) dari produksi dalam negeri. Petani cenderung memilih untuk menjual gabah/berasnya kepada pihak-pihak yang membeli dengan harga pasar yang lebih tinggi.
Menurut Husein, tujuan HPP perlu dipertegas untuk menjamin penyerapan gabah petani dan menyokong pengadaan CBP oleh Bulog. Titik berat evaluasi rendahnya pengadaan CBP dalam negeri bukan di Bulog, melainkan setiap pemangku kebijakan yang tercermin dari aturan HPP.
Husein juga menyoroti pemberlakuan fleksibilitas HPP tidak efektif. "Fleksibilitas HPP sulit menyesuaikan harga pasar yang fluktuatif dan memiliki tren tersendiri," ujarnya.
Oleh sebab itu, Husein menyarankan adanya sejumlah tingkat harga dalam HPP untuk masing-masing kualitas gabah yang dipanen petani. Contohnya, ada harga khusus untuk gabah saat panen di musim kering, panen raya, dan di luar panen raya.
Selain itu, Husein menilai, perlu ada instrumen yang mewajibkan penggilingan padi menyetor untuk pengadaan CBP. Imbasnya, pengadaan beras dalam negeri bersifat dua arah, tak hanya \'jemput bola\'.
Impor longgar
Tidak adanya revisi HPP dan tren kenaikan harga gabah di tingkat petani, menurut Husein, melonggarkan impor beras. "Akibatnya, mau tidak mau pengadaan dari luar negeri jadi jalan keluar," ucapnya.
Hal itu tampak dari data penyerapan dalam negeri yang kian turun. Husein mencatat, pengadaan beras dalam negeri sebesar 3,2 juta ton (2016), lalu 2,7 juta ton (2017), dan tahun ini diprediksi 1,7 juta ton.
Berdasarkan data serapan gabah Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, pengadaan beras dalam negeri per 4 Oktober 2018 mencapai 1,45 juta ton. Sementara itu, izin impor beras untuk pengadaan CBP sepanjang 2018 sebanyak 1,8 juta ton.