JAKARTA, KOMPAS — Tiga kota di Indonesia sudah menerapkan pelarangan kantong plastik di pusat perbelanjaan dan toko modern. Kota Bogor, Jawa Barat, bersiap menjadi kota keempat dengan kebijakan serupa per 1 Desember. Namun, kebijakan itu belum akan diberlakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurangi sampah kantong plastik DKI yang saat ini mencapai 2.400 ton per tahun.
Salah satu pertimbangannya, potensi lapangan kerja yang bisa berkurang sebagai dampak kebijakan itu jika menyebabkan produksi plastik di industri menurun. ”Kami juga harus merangkul industriawan-industriawan produsen plastik. Misal tutup semua, (pengurangan) tenaga kerja, kan,” ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Isnawa Adji, Selasa (2/10/2018), seusai diskusi ”Bangga Tanpa Plastik” di Pasar Tanah Abang Blok B, Jakarta Pusat.
Acara diselenggarakan Yayasan EcoNusa dan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Isnawa menjadi pembicara bersama Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Kepala Subdirektorat Mitigasi Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Hendra Yusran Siry, Kepala Seksi Bina Peritel Direktorat Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Supriyanto, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Balikpapan Suryanto.
Kota Bogor bakal menyusul Kota Balikpapan di Kalimantan Timur, Banjarmasin (Kalimantan Selatan), dan Bandung (Jabar) yang sudah menerapkan pelarangan kantong plastik di pusat perbelanjaan dan toko modern. Namun, kata Isnawa, DKI tidak boleh terburu-buru mengingat masalah provinsi ini lebih kompleks dibandingkan kota-kota itu. Salah satunya, hal itu terkait jumlah penduduk dan volume sampah yang sangat besar.
Jumlah penduduk Banjarmasin sekitar 700.000 jiwa, Balikpapan 760.000 jiwa, dan Kota Bogor lebih dari 1 juta orang. Adapun penduduk DKI 10,37 juta jiwa. Volume sampah DKI mencapai 7.000 ton per hari. Program yang cocok untuk kota dengan penduduk jauh lebih sedikit belum tentu optimal untuk Jakarta. Menurut Isnawa, Gubernur DKI Anies Baswedan meminta jajarannya agar menjalankan program yang efektif. ”Bukan yang diluncurkan hari itu tidak berjalan hari itu juga,” ujarnya.
Namun, bukan berarti DKI tanpa upaya. Ia menyatakan, pihaknya masih berdiskusi dengan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan guna menentukan program yang tepat untuk pengurangan sampah kantong plastik. Alternatif yang muncul, meminta pusat perbelanjaan membedakan jalur antrean pembayaran antara konsumen yang membawa kantong belanja sendiri dan yang tidak. Cara itu dinilai akan meningkatkan jumlah konsumen yang tertarik membawa kantong belanja sendiri karena terhindar dari antrean panjang.
Usulan lain, Gubernur menginstruksikan semua pejabat dan anggota staf di Pemerintah Provinsi DKI, mulai dari lurah, camat, wali kota, hingga satuan kerja, untuk menekan konsumsi plastik. Contohnya, meminta pejabat dan anggota staf membawa botol minum sendiri dan meniadakan penyediaan air dalam kemasan botol atau gelas plastik saat rapat. Keteladanan lebih efektif untuk mengajak warga mengurangi konsumsi plastik.
Agus Supriyanto menambahkan, pemerintah mendukung daerah-daerah menerapkan pelarangan kantong plastik di wilayah masing-masing. ”Pelarangan sampah itu solusi gratis,” katanya.
Selama ini, kantong plastik menjadi masalah pelik dalam hal pengelolaan sampah. Pemulung enggan mengambilnya karena harganya terlampau murah. Limbah kantong plastik dihargai Rp 200 per kilogram (kg), tetapi biaya mencucinya Rp 500 per kg. Sementara itu, 50 persen dari sampah di tempat pembuangan akhir merupakan sampah plastik.
Solusi tercepat, sampah plastik dibakar, tetapi itu akan menimbulkan pencemaran udara. Penggunaan insinerator untuk membakar sampah tanpa mengotori udara pun mesti didahului investasi fasilitas yang sangat mahal. Data KLHK, konsumsi kantong plastik di Indonesia 9,8 miliar kantong per tahun dan kantong plastik baru bisa hancur dalam 10-12 tahun.
Sampah dari darat rentan masuk ke laut dan menjadi pencemar. Hasil riset tahun 2015 peneliti Universitas Georgia, Jenna Jambeck, Indonesia adalah penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia dengan berat 187.2 juta ton. Peringkat pertama adalah China dengan 262,9 juta ton sampah plastik.
Hendra Yusran Siry menuturkan, sampah plastik di laut bakal tercerai-berai menjadi mikroplastik dengan ukuran 0,2 milimeter dan termakan biota di sana. Di antara biota tersebut terdapat sumber makanan manusia. Berdasarkan penelusuran Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mikroplastik ditemukan di ikan teri. Kondisi ini dikhawatirkan menimbulkan masalah kesehatan pada manusia, terutama potensi kanker.
Suryanto mengatakan, di Balikpapan, pelarangan kantong plastik di pusat perbelanjaan dan toko modern dimulai pada 3 Juli 2018. Dengan kebijakan ini terdapat pengurangan rata-rata 1,5-2 ton kantong plastik per hari dari rata-rata 40 ton sampah plastik (bukan hanya kantong) per hari.
Adapun volume sampah secara keseluruhan di Balikpapan sekitar 500 ton per hari sehingga banyaknya sampah di DKI 14 kali lipat dibandingkan di Balikpapan. ”Jadi, kalau DKI melarang kantong plastik, hasilnya bakal 14 kali lipat dari Kota Balikpapan,” ucap Suryanto.