JAKARTA, KOMPAS - Efektivitas penggunaan politik identitas untuk memengaruhi preferensi pemilih dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pada Pemilu 2019 diperkirakan relatif lemah. Dengan begitu, para kandidat diharapkan juga bisa lebih fokus pada penggunaan diseminasi visi, misi, dan program untuk mendekati pemilih.
”Secara umum di beberapa daerah masih muncul (politik identitas), tetapi secara nasional relatif lemah,” kata Arya Fernandes, peneliti politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta dalam diskusi dan peluncuran buku Panduan Lengkap Pemilu 2019” di Jakarta, Kamis (27/9/2018).
Diskusi itu dihadiri sejumlah pembicara lain, yakni Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman, anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2012-2014 Albert Hasibuan, politisi Partai Persatuan Pembangunan Lena Maryana, peneliti Lingkar Madani Ray Rangkuti, dan Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Made Leo Wiratma.
Menurut Arya, pada pemilihan anggota legislatif, isu politik identitas tak akan banyak muncul karena dipengaruhi faktor komposisi caleg yang beragam dalam satu daerah pemilihan. Selain itu, demografi pemilih juga heterogen sehingga isu politik identitas justru bisa menjadi bumerang yang akan merugikan kandidat. Selain itu, politisi juga mulai menyadari bahwa efek elektoral politik identitas relatif lemah sehingga mereka perlu bergeser ke isu kampanye lain.
Pada kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden, isu politik identitas itu juga dinilai akan jauh menurun ketimbang Pilkada DKI Jakarta 2017. Selain karena karakteristik para kandidat yang berbeda, hal ini juga disebabkan para pemilih juga menyadari ada isu lain yang lebih penting, yakni isu ekonomi.
Survei CSIS tahun 2017, misalnya, menempatkan tingginya harga kebutuhan pokok sebagai isu yang paling menjadi perhatian masyarakat (30,9 persen). Hal ini diikuti dengan isu kemiskinan (19,2 persen), terbatasnya lapangan pekerjaan (16 persen), serta pelayanan dan biaya kesehatan yang mahal (8,2 persen).
”Kandidat juga berpikir isu ekonomi itu penting disuarakan. Kandidat penantang petahana menyadari bahwa usaha pemerintah di bidang ekonomi tidak mudah, selain karena kondisi domestik, juga karena ada faktor tantangan global. Ini dibaca penantang,” kata Arya.
Ray Rangkuti mengingatkan, kendati ada kecenderungan politik identitas melemah beberapa bulan sebelum hari pemungutan suara, hal ini tetap harus diantisipasi. Sebab, tidak tertutup kemungkinan hal ini menjadi semacam fenomena yang ”senyap” dan baru muncul beberapa pekan sebelum hari pemungutan suara.
Sementara itu, Arief Budiman meyakini pada Pemilu 2019, semua pemangku kepentingan punya semangat untuk tidak lagi menggunakan jargon-jargon kampanye yang bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan. Penyebaran informasi palsu atau hoaks juga terus dilawan melalui sosialisasi ke masyarakat.
”Semua sudah semakin menyadari bahwa heterogenitas, pluralitas, merupakan kultur bangsa kita dan semua harus bisa menerima. Kedepankan visi, misi, dan program dalam berkampanye,” katanya.