Terobosan Pemerintah Dinanti untuk Reforma Agraria Komprehensif
BANDUNG, KOMPAS — Terobosan pemerintah ditunggu untuk dapat mempercepat progres agenda reforma agraria. Pemerintah diharapkan dapat menerima masukan dari organisasi masyarakat sipil terkait subyek dan obyek lahan yang terkena reforma agraria.
Sertifikasi dan redistribusi lahan yang tidak tepat sasaran tidak akan mengatasi ketimpangan penguasaan lahan dan gagal menyejahterakan masyarakat.
Dalam sambutannya, Ketua Panitia Nasional Global Land Forum 2018 Dewi Kartika, di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Senin (24/8/2018), mengatakan, progres reforma agraria yang dicanangkan pemerintah berjalan terlalu lambat.
”Kami berharap terobosan dari pemerintah untuk menyelesaikan agenda reforma agraria untuk menata struktur kepemilikan tanah demi keadilan sosial kaum buruh tani, kaum nelayan, dan masyarakat adat di Nusantara,” ujar Dewi, yang juga Sekjen Koalisi Pembaruan Agraria (KPA).
Global Land Forum (GLF) 2018 akan mempertemukan lebih dari 500 perwakilan organisasi masyarakat sipil, organisasi pembangunan internasional, badan-badan PBB, dan lembaga pemerintahan dari 84 negara yang terkait dengan perjuangan hak atas tanah bagi rakyat, petani kecil, dan masyarakat adat. Acara ini berlangsung pada 24-27 September 2018.
Terkait terobosan yang dibutuhkan dalam agenda percepatan reforma agraria, KPA meminta pemerintah untuk menerima masukan dari masyarakat terkait subyek dan obyek reforma agraria (TORA).
Dalam pembukaan GLF 2018, KPA menyampaikan peta lahan prioritas reforma agraria kepada perwakilan pemerintah, yakni Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution.
Peta tersebut menunjukkan 444 lokasi lahan yang tersebar di 20 provinsi dan 98 kabupaten dengan total luas 654.392 hektar, baik yang berada di dalam kawasan hutan maupun nonhutan. Sebanyak 444.888 keluarga hidup di atas lahan tersebut. Di setiap lokasi lahan tersebut, sebuah kampung atau desa definitif telah terbentuk dan berkembang meski belum ada legalitas.
Tidak dimasukkannya lahan-lahan tersebut ke dalam TORA karena status lahan yang tidak clean and clear, masih tersangkut konflik agraria dengan perusahaan milik pemerintah.
”Kenapa (lahan-lahan) ini tidak diprioritaskan oleh kementerian terkait? Jika kita ingin mempercepat proses reforma agraria, mari kerjakan dari inisiatif masyarakat dari bawah,” ujarnya.
Dewi mengatakan, lokasi-lokasi ini menunggu pengakuan dari pemerintah. Pemerintah dinilai belum menyasar wilayah-wilayah konflik agraria ini. ”Kenapa sekadar sertifikasi tanah?” ucapnya.
Sekadar sertifikasi
Hal yang sama disampaikan Direktur International Land Coalition Michael Taylor. ”Sertifikasi lahan bukanlah reforma agraria. Reforma agraria yang sejati adalah mendistribusikan hak atas lahan kepada mereka yang tidak memilikinya,” katanya.
Dewi meyakini reforma agraria sejati tidak bisa dilakukan hanya dengan menerbitkan sertifikat untuk lahan-lahan yang sudah jelas kepemilikannya dan bebas konflik; redistribusi tanah milik negara dan tanah konsesi kedaluwarsa harus menjadi fokus.
Sementara itu, 9 juta hektar tanah obyek reforma agraria (TORA) sebagian besar hanya mencakup sertifikasi lahan dan pelepasan kawasan hutan.
Hanya sekitar 400.000 dari 9 juta hektar lahan TORA berasal dari tanah telantar dan konsesi yang kedaluwarsa. Sementara itu, sekitar 8 juta hektar berasal dari legalisasi lahan milik rakyat yang belum memiliki sertifikat (3,9 juta hektar) dan pelepasan kawasan hutan (4,1 juta hektar).
Langkah awal
Menanggapi hal tersebut, Darmin Nasution mengatakan, sertifikasi adalah langkah awal untuk sebuah reforma agraria yang komprehensif.
”Karena (lahan) yang sudah jelas saja belum pernah disertifikasi, kapan masyarakat punya kepastian dan mampu mengakses kredit untuk pembiayaan pengelolaan lahan mereka?” kata Darmin.
Redistribusi lahan yang berasal dari konsesi yang kedaluwarsa adalah langkah kedua reforma agraria, lanjut Darmin. Akan tetapi, ia mengakui bahwa progres redistribusi lahan dari jalur ini tidak bisa maksimal.
”Lahan yang hak gunanya tidak diperpanjang lagi itu sebetulnya tidak terlalu banyak karena makin lama masyarakat tidak mau melepas lahan mereka,” kata Darmin.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil menyebutkan, untuk tahun ini pihaknya menargetkan penerbitan 7 juta sertifikat tanah, meningkat dibandingkan tahun 2017 dengan 5 juta sertifikat. ”Pada tahun depan kami targetkan 9 juta sertifikat,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Pasundan Agustiana mengatakan, progres reforma agraria yang berjalan sejauh ini sudah melebihi perkiraannya. Sebab, dengan adanya program reformasi agraria, perjuangan rakyat yang sering berakhir pada kriminalisasi malah diakui oleh pemerintah dan dijadikan kebijakan negara.
”Kami memaknai hari ini adalah sejarah dimulainya pengakuan hak konstitusi rakyat dalam memperjuangkan sumber penghidupan. Kegiatan (reforma agraria Indonesia saat ini) memang belum sempurna, tetapi apabila dilihat sebagai sebuah embrio, kegiatan ini sudah melebihi target,” tutur Agustiana.
Bertukar pikiran
GLF 2018 resmi dibuka pada Senin (24/9/2018) pagi di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat. Pembukaan GLF diawali dengan penyampaian Deklarasi Petani.
Deklarasi ini berisi sikap pendapat mereka terhadap kondisi agraria Indonesia dewasa ini. Pembukaan GLF 2018 bertepatan dengan peringatan Hari Tani Nasional 2018. Isi deklarasi ini mendesak pemerintah segera melakukan reforma agraria yang lebih komprehensif.
GLF 2018 merupakan forum pertanahan terbesar di dunia. Forum ini diselenggarakan dengan kerja sama antara International Land Coalition (ILC), panitia nasional GLF, dan Kantor Staf Presiden.
ILC adalah koalisi yang terdiri dari 250 anggota organisasi nonprofit, organisasi masyarakat adat, serikat tani, lembaga penelitian, dan organisasi pemerintah di 77 negara.
Pemilihan Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan tiga tahunan sekali ini didasarkan pada beberapa perkembangan signifikan terhadap perjuangan hak atas tanah, termasuk adanya pencanangan program reforma agraria oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Tahun ini, GLF membawa tema ”United for Land Rights, Peace and Justice”. Isu dan subtema yang akan diangkat antara lain reforma agraria sejati, kedaulatan pangan, perampasan tanah, hak perempuan atas tanah, masyarakat adat, perubahan iklim, dan krisis regenerasi petani.
”GLF merupakan momen yang tidak ternilai untuk menggali solidaritas, menyatukan kembali, dan merencanakan aksi bersama,” kata Direktur ILC Michael Taylor.