JAKARTA, KOMPAS Profil calon anggota DPR RI yang akan berkontestasi di Pemilu 2019, tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan profil caleg pada Pemilu 2014. Sikap aktif masyarakat untuk mencari informasi dan memilih calon terbaik di Pemilu 2019, amat dibutuhkan guna terwujudnya lembaga legislatif yang lebih baik.
Ironisnya, saat ini dibutuhkan upaya yang lebih ekstra untuk mencari informasi latar belakang caleg secara mendetail. Pasalnya, masih ada caleg yang tidak mempublikasikan riwayat hidupnya secara detail. Kalau pun dipublikasikan, hanya tentang hal-hal mendasar seperti nama, alamat, dan pekerjaan. Hal lain seperti rekam jejak pekerjaan, jejaring, dan aktivitas yang dilakoninya, tidak banyak dicantumkan.
Di saat yang sama, upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melarang bekas napi perkara korupsi menjadi caleg melalui Peraturan KPU, juga telah dibatalkan Mahkamah Agung.
Meski demikian, menurut Ketua KPU Arief Budiman, Minggu (23/9/2018) di Jakarta, inisiatif KPU itu telah memberi dampak.
Menurut Arief, ada sekitar 200 orang bekas napi perkara korupsi yang sempat diajukan jadi calon anggota DPR, DPRD, dan DPD. Sebagian lalu diganti oleh partainya. Namun ada yang tidak diganti, dan lalu mengajukan sengketa. Akhirnya, ada 38 orang yang dimenangkan dalam sengketa di Bawaslu. Dari jumlah itu, belakangan sebelum penetapan caftar calon tetap (DCT) peserta Pemilu Legislatif, tetap ada partai yang lalu mencoretnya kendati klausul pelarangan itu sudah dibatalkan MA.
Swasta mendominasi
Dari tingkat pendidikan, sebanyak 77,4 persen dari 7.968 caleg di Pemilu 2019 berpendidikan minimal dipoloma/sarjana. Persentase ini lebih rendah jika dibandingkan pada pemilu 2014, dimana ada 84 persen dari 6.607 caleg yang berpendidikan sarjana, magister, dan doktor.
Di saat yang sama, caleg dengan latar belakang pekerjaan, swasta dan pengusaha, semakin mendominasi di Pemilu 2019. Pada pemilu mendatang, ada 62,4 persen caleg dengan latar belakang pengusaha dan swasta. Sementara saat Pemilu 2014, hanya ada 49.1 persen caleg dengan latar belakang pekerjaan itu.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mempertanyakan semakin banyaknya pengusaha dan swasta yang ingin menjadi anggota legislatif. Ini karena bisa saja mereka merupakan orang yang sekadar mencari peluang untuk mengembangkan usahanya dengan berbagai cara, termasuk melalui legislatif. Namun, juga bisa pula mereka memang ingin mengabdi ke rakyat.
Di tengah munculnya sejumlah kritik terhadap kinerja DPR 2014-2019, Lucius menyampaikan, semakin banyak petahana yang mencalonkan diri jadi anggota legislatif. Dari 560 anggota DPR 2009-2014, sebanyak 89,5 persen yang kembali mencalonkan diri di pemilu 2014.
Sementara itu, dari 560 anggota DPR RI periode 2014-2019, sebanyak 529 orang atau 94 persen diantaranya kembali maju di Pemilu 2019. Dari jumlah itu, ada 349 orang yang ditempatkan di nomor urut satu di dapilnya.
“Masih ada banyak calon yang perlu diseleksi pemilih. KPU perlu menyediakan informasi yang bisa digunakan publik untuk menelusuri latar belakang caleg. Publik perlu serius mencari informasi mengenai caleg di dapilnya,” kata Lucius.
Masalahnya, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, saat ini lebih sulit untuk memetakan rekam jejak caleg. Pasalnya, banyak dari mereka yang menolak mempublikasikan riwayat hidupnya secara jelas.
“Dari sisi keterbukaan caleg, ada penurunan dibandingkan dengan tahun 2014. Dulu, publik bisa mengakses profil dan riwayat hidup caleg saat masih daftar caleg sementara (DCS). Kini, meski sudah DCT, masih susah melihat rekam jejak mereka, karena banyak yang tidak mempublikasikan,” ujar Titi.
Caleg memang tidak wajib mempublikasikan riwayat hidupnya. Namun jika sejak awal caleg menutup-nutuipi riwayat hidupnya, menurut Titi, hal itu jadi tendensi bahwa mereka menyembunyikan sesuatu, atau tidak mau terbuka ke publik.
Karakter caleg yang tertutup ini menurunkan derajat akuntabilitas mereka bila terpilih sebagai wakil rakyat. “Sifat ketertutupan itu buruk dalam konteks kerja-kerja publik. Ini karena rentan pada kesepakatan jahat, dan korupsi bisa muncul tanpa diketahui publik,” ujarnya.
Mantan anggota KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, pada Pemilu 2014, juga banyak caleg yang menolak mempublikasikan riwayat hidupnya. Namun, KPU lalu mengumumkan nama-nama mereka. “Oleh karena KPU mengumumkan mereka yang tidak mau membuka riwayat hidup, akhirnya publik protes. Parpol lalumengambil kebijakan untuk membuka semua,” ujarnya.
Kontestasi
Di awal masa kampanye ini, partai fokus menyolidkan dukungan. Para caleg diminta tak hanya berkampanye untuk dirinya sendiri, namun juga untuk pasangan capres-cawapres yang diusung partainya.
Sekretaris Jenderal Partai Perindo Ahmad Rofiq mengatakan, soliditas itu penting agar dukungan masyarakat tidak terbelah.
Sementara itu, Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto juga meminta para calegnya satu suara mendukung capres-cawapres yang didukung partainya.