SEMARANG, KOMPAS — Universitas Diponegoro dan Universitas PGRI Semarang menginisiasi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Perlindungan Guru dan Dosen. RPP itu mencari titik keseimbangan dalam hal belajar-mengajar bagi guru dan siswa.
Rancangan peraturan pemerintah (RPP) dibentuk karena terpicu sejumlah kasus. Selama ini ada sejumlah kasus terkait oknum guru yang memberi sanksi berlebihan kepada muridnya yang kemudian masuk pada ranah hukum. Ada pula guru-guru yang dilaporkan langsung ke kepolisian tanpa melihat masalah secara keseluruhan dan jenis pelanggaran yang dilakukan pendidik itu.
Rektor Undip Yos Johan Utama di sela-sela diskusi kelompok terarah (FGD) Penyusunan RPP Perlindungan Guru dan Dosen, di Kota Semarang, Kamis (20/9/2018), mengatakan, guru perlu kenyamanan dalam mengajar sehingga tujuan mencetak anak-anak bangsa yang berintegritas terwujud.
Yos mengatakan, selama ini perlindungan bagi guru belum memadai. Kaburnya batasan-batasan mendidik siswa membuat guru seakan mudah dilaporkan ke polisi. ”Guru menjadi takut untuk mendidik dan eksesnya terjadi pembiaran. Ongkosnya lebih mahal. Mesti ada ekuilibrium (titik keseimbangan),” ujar Yos.
Menurut Yos, RPP Perlindungan Guru dan Dosen ini akan ditindaklanjuti dengan riset dan pada akhirnya naskah akademik. Dari naskah akademik kemudian dibuat RPP untuk diserahkan kepada Presiden lewat Kantor Staf Kepresidenan. Riset ditargetkan selesai pada Desember 2018. Adapun draf sepenuhnya rampung direncanakan Februari 2019.
Yos menuturkan bahwa gagasan menyusun RPP tersebut karena pihaknya terpanggil untuk mengusulkan regulasi yang dapat mewujudkan kenyamanan dalam proses belajar-mengajar. Menurut dia, upaya ini terkait bisnis terbesar bangsa demi menjamin bangsa Indonesia sebagai bangsa yang semakin berkualitas.
Rektor Universitas PGRI Semarang Muhdi menambahkan, saat ini sudah ada sejumlah regulasi yang terkait dengan hak-hak guru dalam menjalankan tugas. Namun, implementasinya belum ada. Apa yang diperjuangkan selama ini, terkait guru honorer misalnya, masih berlangsung secara sporadis.
Karena itu, menurut Muhdi, diperlukan peraturan yang lebih jelas untuk diimplementasikan. ”Tidak hanya berbicara guru-guru yang mendapat perlakuan tak baik saat mengajar, tetapi juga perlindungan terkait kesejahteraan, kesehatan, dan lainnya. Dalam undang-undang, harus mendapat penghasilan layak,” ujarnya.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan, bagaimanapun guru yang melakukan kekerasan terhadap murid akan berhadapan dengan hukum. Karena itu, RPP Perlindungan Guru dan Dosen diharapkan dititikberatkan pada pembangunan kapasitas guru.
Retno menambahkan, pemerintah daerah juga harus memiliki peran lebih dalam meningkatkan kapasitas guru. ”Sudah seharusnya pemda menyisihkan anggaran demi pembangunan kapasitas guru,” ujar Retno.
Temu Ismail dari Sekretariat Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menuturkan, penyusunan RPP Perlindungan Guru dan Dosen harus terus dikawal agar bisa berjalan dengan baik. Apabila tak seperti itu, drafnya akan tertunda atau kalah prioiritas dengan masalah lainnya.
Ketua Dewan Kehormatan Guru Jateng Sudharto mengemukakan, ada dua kunci utama dalam pendidikan, yakni memanusiakan (hominisasi) dan membudayakan (humanisasi) manusia. ”Terkait ini, sering kali masyarakat lupa bahwa orangtua adalah pendidik pertama. Jika ini terbangun baik, proses belajar-mengajar di sekolah tidak akan menimbulkan persoalan,” kata Sudharto.