JAKARTA, KOMPAS — Ketersediaan obat program Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS di sejumlah apotek di Jakarta sering kosong. kekosongan obat terjadi karena distribusi yang terganggu.
Dua faktor utama menjadi penyebabnya; diantaranya arus kas apotek yang melambat dan kurangnya komitmen distributor serta pabrik dalam penyediaan obat. Kondisi ini terutama terjadi pada obat penyakit kronis, seperti jantung, hipertensi, dan diabetes.
Kepala Apotek Kimia Farma 282, Jakarta Barat Yedi Hadiman mengatakan, obat untuk peserta JKN-KIS di tempatnya banyak yang kosong. Ini sudah berlangsung sejak tiga bulan terakhir. Kekosongan obat terjadi di tingkat distributor. “Seharusnya (obat) yang diprogramkan pemerintah tidak boleh kosong,” kata Yedi, Senin (17/9/2018).
Menurut Yedi, obat yang sering kosong, antara lain adalat oros dan v-bloc. Untuk mengantisipasi kekosongan obat, apotek biasanya menjanjikan pasien beberapa hari hingga obat tersedia. Kadang-kadang apotek juga meminjam obat dari apotek lain sebelum pesanan datang.
“Kalau tidak, kita yang rugi. Terpaksa memberikan obat reguler (yang harganya lebih mahal) kepada pasien,” ujarnya.
Manajer Apotek Sana Farma Rawamangun, Jakarta Timur Muhamad Ni’mal Hayyi mengatakan hal senada. Saat ini, ketersediaan obat program JKN-KIS di tempatnya memang masih mencukupi. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, hampir setiap bulan ada obat yang kosong di tempatnya.
Menurut Ni’mal, tersendatnya obat untuk pasien program JKN-KIS disebabkan oleh rendahnya komitmen distributor ataupun pabrik dalam menjaga ketersediaan obat. Padahal, sebagai pemenang tender, distributor ataupun pabrik obat semestinya bertanggung jawab terhadap kewajibannya.
“Stok amlopidin (obat hipertensi), misalnya, terpaksa kita ambil dari distributor lain,” kata Ni’mal menunjuk tumpukan kardus obat di salah satu sudut kantornya. Itu dilakukan agar penjualan obat terus berjalan, meskipun harganya sedikit lebih mahal. Pasokan obat dari distributor yang memenangi tender sudah lama kosong.
Untuk menjaga ketersediaan obat, Ni’mal pun memperbanyak jumlah pesanan ke distributor. Jika biasanya apotek memesan obat untuk stok satu bulan, sekarang menjadi tiga bulan. Namun, ini hanya saat apotek punya uang lebih dan untuk obat tertentu yang harganya relatif murah.
Ni’mal melanjutkan, tersendatnya obat juga disebabkan oleh kurang lancarnya arus kas apotek. Tagihan apotek ke BPJS Kesehatan sering terlambat dibayarkan sehingga apotek tidak punya modal untuk memesan obat ke distributor.
Ni’mal pun berharap ketersediaan obat terjaga dan pembayaran tagihan obat program JKN-KIS berjalan lancar. Dengan demikian, roda bisnis apotek bisa terus berputar. “Kita hanya mengandalkan penjualan obat sebagai pendapatan. Kalau distribusi obat dan pembayaran tagihan tidak lancar, omzet kita pun menurun,” ujarnya.
Kepala Apotek Kimia Farma 48 Matraman, Jakarta Timur Ramadeni mengatakan, beberapa hari lalu keberadaan obat hipertensi sempat selama kosong dua sampai tiga minggu. Namun, dalam minggu ini obat telah tersedia kembali. “Untuk saat ini, ketersediaan obat aman,” katanya.
Apong Hasanah (52), warga Kota Bambu Selatan, mengakui, obat jantung yang ditebusnya ke apotek kadang-kadang kosong. Biasanya, dia dijanjikan dua hingga tiga hari untuk mendapatkan obat. Begitu obat tersedia, petugas akan menghubungi Apong untuk menjemput.
Meski obat kadang kosong, Apong tidak terlalu mempermasalahkannya. Apong terbiasa meminta obat baru sebelum obat lama benar-benar habis. “Tidak masalah, obatnya juga gratis kok,” ujarnya ketika ditemui di kawasan Slipi, Jakarta Barat.
Secara terpisah, Kepala Biro Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma\'ruf mengatakan, apotek bisa melapor ke kontak langsung (hotline) Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan jika terjadi kekosongan obat.
“Dalam mekanisme JKN di Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 (tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional), ada pengaduan apabila terjadi kekosongan obat,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta. (E04)