Dulu Lumbung TKI, Kini Sentra Sapi Mandiri
Beberapa tahun silam, hampir seluruh warga Desa Majasari, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, menggantungkan hidup dengan mengadu nasib ke negeri orang. Namun, melalui pengelolaan dana desa, warga perlahan pulang dan sejahtera di tanah sendiri.
Sambil membungkus paket kerajinan tas karyanya, Sholehah (37) bercanda dengan Atikah Salwa, anaknya yang masih berumur 4 bulan, Jumat (7/9/2018). Di teras rumahnya di Blok Maja 3, Majasari, Kecamatan Sliyeg, anaknya yang lain, Iqbal (8) bermain bersama teman-temannya.
Ketika sore menjemput, tiga ibu-ibu yang juga tetangga Sholehah datang untuk membuat tas kerajinan berbahan tali kur. Sambil merajut, mereka bercerita tentang model anyaman baru juga tentang anak-anak. Perbincangan mereka sempat terputus ketika seorang kurir menjemput paket yang dikirimkan Sholehah untuk pelanggannya di Kuningan, Jabar.
“Dalam seminggu, omzet saya bisa mencapai Rp 600.000 sampai Rp 700.000 dari membuat tas,” ucap pemilik merek “Umu Iqbal” ini. Penghasilan itu mungkin tidak seberapa dibandingkan ketika menjadi tenaga kerja Indonesia dengan gaji lebih dari Rp 5 juta per bulan.
Majasari pun jadi sentra sapi di Indramayu yang hanya mampu memenuhi 20 persen dari kebutuhan 11.000 ekor sapi per tahun.
“Tetapi, enak di desa. Bisa dekat dengan anak, keluarga, dan tetangga. Kalau jadi TKI, saya sering nangis. Kangen keluarga,” ucapnya. Ia hanya bisa pulang setidaknya dua tahun sekali dengan izin sang majikan.
Sholehah menjadi TKI di Arab Saudi pada 1998 dan berhenti pada 2009 saat berkeluarga. Keinginan menjadi TKI sempat membayanginya. Apalagi, suaminya tidak punya pekerjaan tetap.
Akan tetapi, bayangan itu lenyap ketika pemerintah desa bekerja sama dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) melatih purna TKI membuat tas kerajinan, bakso, dan keripik pisang, akhir 2015. Itu kali pertama desa mendapatkan kucuran dana desa sebesar Rp 293 juta.
Dibuatlah dua kelompok, yakni TKI Purna Mandiri dan TKI Purna Sejati yang masing-masing beranggotakan 25 orang. Dalam perjalanannya, ada purna TKI yang tidak aktif tetapi banyak juga yang tetap menggeluti usaha itu. Sholehah dan lima anggotanya, misalnya, masih fokus membuat tas kerajinan.Karya mereka kerap dipamerkan oleh pemdes saat akademisi, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman hingga Presiden Joko Widodo bertamu ke Majasari. Di balai desa, mereka dapat mengakses internet gratis untuk memasarkan produknya.
“Secara pemasaran, kami juga terbantu. Desa juga mengutus saya untuk ikut pelatihan kewirausahaan di provinsi,” ujar Sholehah yang telah menjual produknya hingga ke Taiwan dan New Zealand.
Nurfaidah (40), purna TKI yang memproduksi tas kerajinan, mengatakan, Majasari mulai menjadi kantong TKI pada 1997. “Selain tidak ada pilihan tempat kerja di desa, banyak TKI yang pulang jadi sukses, bisa bangun rumah. Tetapi, sekarang, di desa juga bisa nyari duit,” ujar Nurfaidah yang menjadi TKI selama 9 tahun.
Ternak Sapi
Kini, sejak ada dana desa, sejumlah pilihan untuk tetap di desa muncul. Selain tas kerajinan dan keripik pisang, pemdes juga mengalokasikan dana desa untuk mengembangkan peternakan sapi dan kambing. Keluarga TKI menjadi prioritas penerima program.
Tahun 2016, misalnya, pemdes mengucurkan dana Rp 100 juta melalui BUMDes Majasari kepada Kelompok Tani Tunggal Rasa untuk membeli lima ekor sapi. Kelompok juga mendapatkan pelatihan cara beternak sapi.
“Sekarang, sudah jadi 11 ekor sapi. Tahun 2017, kami juga dapat Rp 50 juta untuk membeli 43 ekor kambing,” ujar Ketua Kelompok Tani Tunggal Rasa, Majasari, Slamet Setiyadi.
Sapi itu dipelihara oleh keluarga TKI di kandang komunal yang disediakan desa. Jika layak jual, hasil penjualan sapi dibagi dua dengan komposisi 30 persen untuk BUMDes yang memberikan sapi sementara peternak mendapatkan 70 persen.
Harapannya, peternak untung dan mampu menambah jumlah sapinya.
Sebelumnya, pada 2013, Majasari juga mendapat bantuan 32 ekor sapi bunting dari Kementerian Pertanian. Jika sapi beranak, induknya harus dikembalikan ke kelompok untuk ditawarkan kepada warga lainnya yang ingin mengembangbiakkan sapi.
Saat ini, kelompok memelihara 150 ekor sapi dengan anggota 33 keluarga. Pada Idul Adha bulan lalu, kelompok peringkat 1 lomba agribisnis komoditi sapi potong tingkat Jabar ini mampu menjual 40 ekor sapi.
Majasari pun jadi sentra sapi di Indramayu yang hanya mampu memenuhi 20 persen dari kebutuhan 11.000 ekor sapi per tahun. Padahal, sebelumnya, desa dengan penduduk 5.489 jiwa itu dikenal sebagai lumbung TKI.
Peternak juga mengembangkan pupuk organik yang disimpan di penampungan kotoran sapi dan dikemas dalam karung. Peternak bahkan memiliki cadangan jerami yang difermentasi. Pakan ternak itu berada di lantai atas kandang.
Ternak sapi hanya salah satu buah pengelolaan dana desa yang baik. Menurut Slamet, kebahagiaan memelihara sapi ialah memulangkan istrinya yang sebelumnya bekerja di Qatar. ”Saya dan keluarga tadinya dihidupi istri. Sekarang, saya yang menghidupi keluarga. Anak saya juga sudah kuliah,” ujar Slamet.
Setelah ternak sapi, kini Pemdes mencoba beternak ikan lele dan bebek. “Nanti kalau berhasil, kami tawarkan kepada masyarakat. Warga butuh contoh. Tahun ini, kami menganggarkan Rp 25 juta untuk ternak bebek,” ujar Kepala Desa Majasari Wartono yang saat ditemui sedang membuat kandang bebek bersama warga. Program itu termasuk dari 37 persen pemanfaatan dana desa tahun ini sebesar Rp 809 juta.
Desa Terbaik
Tidak hanya itu, sejumlah pembangunan infrastruktur jalan juga swadaya masyarakat. “Tahun ini saja, swadaya warga mencapai lebih dari RP 300 juta. Ini bentuk partisipasi warga,” ujar Wartono. Bahkan, warga bergotong royong tanpa bayaran.
Oleh karena itu, ketika pemerintah pusat punya program padat karya yang memberikan upah untuk warga yang membantu pembangunan infrastruktur, Wartono khawatir gotong royong warga bekurang. Menurut dia, jika warga melakukannya sendiri tanpa upah, mereka akan mempunyai rasa memiliki terhadap desanya.
Inovasi pemdes dan kebersamaan warga Majasari membuahkan berbagai penghargaan. Beberapa di antaranya juara 1 Kontes Sapi Indukan Indramayu 2017, Pembibitan Terbaik Tingkat Jabar 2017, dan Adhikarya Pangan Nusantara kategori Pembinaan Ketahanan Pangan 2017.
Tahun lalu, Majasari diganjar penghargaan Treasury sebagai salah satu dari lima desa terbaik dalam pengelolaan dana desa. Penghargaan itu melengkapi anugerah sebagai Desa Terbaik Tingkat Nasional 2016 untuk regional Jawa-Bali.
Berdasarkan “Buku Pintar Dana Desa” (2017), pada 1983, Majasari merupakan desa tertinggal dengan angka kemiskinan 40 persen. Namun, tahun lalu, tingkat kemiskinan tercatat 8,24 persen. Ini lebih rendah dibandingkan tingkat kemiskinan nasional, yakni sekitar 10 persen dan Indramayu yang mencapai 12 persen.
Partisipasi warga. Selain musyawarah perencanaan pembangunan desa, pemdes juga membuat grup Whatsapp rembuk potensi desa (RPD). Melalui RPD, warga dapat mengusulkan program baru sesuai kebutuhan mereka,” ujar Wartono mengatakan kunci suksesnya.
Setelah itu, Wartono berkoordinasi dengan tokoh masyarakat untuk mengajak warga turut berpartisipasi aktif jika kekurangan dana atau tenaga dalam melaksanakan program tersebut. Jika dikerjakan secara gotong royong, warga akan merasa memiliki terhadap program itu.
Sebelum itu, Wartono yang menjabat kepala desa sejak 2009 juga sudah membuat berbagai program yang peduli terhadap warganya. Ia menerbitkan Peraturan Desa Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Asal Desa Majasari.
Isinya, antara lain, mewajibkan pihak sponsor atau perekrut calon TKI, pemberi izin calon TKI dan calon TKI melapor ke desa. Bagi purna-TKI, disediakan beragam kelompok usaha. “Memang, ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami masih terus belajar,” ujarnya.