Saat ”Anjing Penjaga” Menjadi ”Anjing Peliharaan”
Kasus suap Kota Malang yang melibatkan kepala daerah dan 41 dari 45 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daearh Kota Malang menggemparkan banyak orang. Kisahnya menjadi konsumsi berita dalam dan luar negeri. Orang pun bertanya, kenapa suap massal itu bisa terjadi?
Pada tulisan-tulisan sebelumnya sedikit banyak sudah disinggung mengenai disfungsi partai politik (parpol) di mana mereka gagal mencetak kader-kader politisi andal yang akan menjadi mitra kerja pemerintah daerah. Parpol adalah rumah para anggota dewan terhormat itu sehingga parpol memang tidak bisa lepas tanggung jawab atas kasus tersebut.
Pemerintah pusat pun sudah sering dikritik mengenai pentingnya menelisik aturan-aturan hukum terkait pencalonan anggota dewan atau kepala daerah. Semisal, bagaimana aturan bahwa caleg koruptor atau calon kepala daerah yang pernah tersangkut kasus korupsi agar jangan dipilih kembali pada pilkada berikutnya.
Di luar itu, satu hal patut disorot adalah peran wartawan atau jurnalis sebagai ”anjing penjaga” atau watchdog kepentingan masyarakat Kota Malang. Bernard C Cohen dalam Advanced Newsgathering karangan Bryce T McIntyre menyebut pers memiliki peran pelapor, interpreter (penafsir), wakil dari publik, peran jaga (watchdog), serta peran pembuat kebijaksanaan dan advokasi.
Bagaimana sebenarnya peran wartawan di sana hingga kasus suap massal itu terjadi? Benarkah wartawan sang ”anjing penjaga” sudah berubah menjadi ”anjing peliharaan”, yang sikapnya manis apalagi saat diajak tuannya jalan-jalan sehingga suap atau korupsi menjadi banal (biasa), dan akhirnya warga dikejutkan dengan ditahannya 41 anggota dewan, wali kota, kepala dinas, dan kontraktor atas suap pembahasan APBD Perubahan 2015.
Bisa jadi memang demikian. Wartawan bukannya mengkritisi, melainkan menutupi atau malah mengetahui proses suap itu sendiri. Hal itu tampak dari munculnya nama seorang wartawan di Kota Malang yang turut menjadi saksi dan dimintai keterangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus suap pembahasan APBD-P 2015. Ia dipanggil beberapa kali, baik saat KPK memeriksa di Kota Malang maupun saat di luar kota. Ia disebut-sebut menjadi perantara pertemuan anggota dewan dan pihak swasta. Hingga kini KPK memang hanya memanggil si wartawan Kota Malang itu sebagai saksi.
Namun, bukankah itu sudah sepatutnya mengoyak kesadaran kita, terutama para jurnalis, bahwa wartawan pun sekarang menjadi sangat dekat dengan suap dan korupsi. Miris rasanya melihat pemandu arah kerja wartawan yaitu Sembilan Elemen Jurnalisme milik Bill Kovach-Tom Rosenstiel dibuat runtuh begitu saja.
Sembilan Elemen Jurnalisme tersebut meliputi kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, loyalitas pertama jurnalisme adalah pada masyarakat, inti jurnalisme adalah melakukan verifikasi, wartawan harus memiliki kebebasan dari sumber yang diliput, wartawan harus mengemban tugas pemantau yang bebas terhadap kekuasaan, jurnalisme harus menyediakan forum untuk komentar atau kritik publik, jurnalisme harus bisa membuat yang penting menjadi menarik dan relevan, wartawan harus menjaga berita proporsional dan komprehensif, dan terakhir wartawan memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya.
Di Kota Malang sebenarnya sangat mengherankan jika para ”anjing penjaga” di sana berubah menjadi ”anjing peliharaan”. Sebagai kota terbesar kedua di Jawa Timur, berbagai organisasi kewartawanan ada di sana, baik organisasi wartawan media cetak, elektronik, maupun online. Tentu lembaga-lembaga kewartawanan itu akan mendidik wartawannya sebaik mungkin agar bisa lolos dan masuk kompetensi sebagaimana diamanatkan Dewan Pers.
Lalu bagaimana itu bisa terjadi? Yang paling mungkin adalah wartawan/jurnalis di sana bisa jadi ”dipangku” lalu ”mati”. Pelajaran bahasa Jawa mencontohkan bahwa huruf Jawa kalau dipangku akan mati. Begitu pun orang Jawa, saat ”dipangku” atau dimuliakan, ia tidak akan bisa berbuat apa-apa karena sungkan (ekstremnya disebut mati). Misalnya, orang berkoar-koar membenci pemerintahan, tetapi begitu diberi jabatan/posisi tinggi, ia pun berubah jadi pendiam.
Salah satu hal yang terlihat nyata dalam dunia jurnalistik di Kota Malang adalah pemberian fasilitas cukup baik oleh Pemkot Malang dan DPRD Kota Malang kepada wartawan. Di bagian dalam Balai Kota Malang terdapat gazebo terbuka yang bisa menjadi tempat wartawan untuk mengetik atau menanti narasumber. Di sanalah wartawan sering terlihat berkumpul. Namun, tempat itu tempat umum sehingga saat Pemkot Malang butuh mengadakan acara, gazebo diubah menjadi tempat perjamuan.
Tempat seperti itu pun ada di DPRD Kota Malang. Di DPRD Kota Malang, wartawan memiliki tempat duduk khusus lengkap dengan meja dan Wi-Fi. Lokasinya berada di lantai satu, pojok kanan setelah pintu masuk utama. Pun, oleh karena banyak kursi di lantai dua, biasanya wartawan juga memanfaatkan kursi di sana. Bukan sekadar untuk mengetik dan menanti narasumber, wartawan biasanya juga memanfaatkan tempat itu untuk tidur. Wartawan lebih tertarik berkumpul di gedung dewan karena di sofa-sofa empuk itu wartawan bisa tidur. Berbeda dengan di balai kota, wartawan tidak bisa tiduran.
Namun rasanya bukan sekadar masalah pemberian tempat duduk yang melemahkan daya kritis wartawan. Wartawan di Kota Malang bisa jadi mulai kehilangan daya kritis karena diajak ”jalan-jalan” oleh Pemkot Malang. Tentu saja klausul dalam APBD-nya adalah studi banding. Ada yang diajak hanya 1-2 orang, dan ada yang diajak studi banding bersama satu rombongan.
Satu per satu fasilitas itu menjadikan wartawan tidak memiliki posisi kuat di hadapan dewan dan pemkot. Bahkan, sempat ada wartawan Kota Malang yang mengeluhkan bahwa mereka dilarang masuk ke ruang komisi dewan.
Tiba-tiba saya teringat pesan Jakob Oetama dalam buku Yuk Simak Pak Jakob Berujar karya Ninok Leksono. Dalam buku itu Jakob berujar bahwa wartawan jangan berhenti mengetuk, frapper toujours. Yang artinya adalah ketuklah selalu atau jangan berhenti mengetuk.
Dalam kasus di Kota Malang, apakah wartawannya sudah terus mengetuk? Dengan segala fasilitas itu, bisa jadi wartawan enggan ”mengetuk” karena sungkan. Mengetuk di sini bukan sekadar arti harfiah, melainkan juga kiasan dari mengkritik.
Jauh sebelum 2011, saya teringat bahwa suasana Pemkot Malang dan DPRD Kota Malang jauh berbeda dengan sekarang. Saat itu, wartawan dengan bebas masuk ruang fraksi dan komisi, membuka dan membaca APBD Kota Malang beberapa tahun ke belakang, dan berdiskusi mengenai klausul yang tertera di dalamnya (baik dengan sesama wartawan maupun dengan anggota dewan). Dari membuka-buka APBD itulah seringnya lahir berita. Saat itu, wartawan benar-benar mencari berita, bukan menjadi corong suara satu dua orang.
Dari buka-buka APBD Kota Malang saat itu, bahkan wartawan menemukan ada penganggaran pembelian tanah untuk Kantor Kecamatan Lesanpuro dengan harga sangat mahal. Padahal kenyataannya, kantor kecamatan itu sudah ada. Pemkot Malang belakangan mengakui penganggaran itu sebagai salah ketik. Coba bayangkan, jika wartawan tidak mengetahui dan menulisnya, ke mana larinya uang rakyat itu?
Tapi itu bertahun-tahun lalu, saat kinerja wartawan belum tergerus kecepatan era digital. Saat wartawan masih sempat berlama-lama ngobrol dan diskusi mencari fakta. Bukan seperti sekarang, wartawan berkejaran mencari kecepatan menulis berita.