Dalam rapat kerja bersama Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Selasa (4/9/2018), Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan, utang bukanlah tujuan dari pemerintah. Utang adalah instrumen yang digunakan ketika dibutuhkan untuk membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Utang diperlukan untuk mengatasi masalah krusial di berbagai sektor di saat pendapatan negara masih belum cukup dalam menanganinya. Pernyataan itu dia tekankan kembali mengingat isu utang pemerintah sempat memanas di kalangan masyarakat awam, bahkan juga di kalangan pejabat legislatif.
Berdasarkan data yang diolah Kompas, jumlah utang terus meningkat selama 10 tahun terakhir. Kendati demikian, peningkatan itu sebenarnya berbanding lurus dengan pertambahan jumlah produk domestik bruto (PDB).
”Utang yang produktif akan memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan PDB sampai pada tingkat tertentu,” kata Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Loto Srinaita Ginting secara terpisah.
Pada awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, utang mencapai Rp 1.313 triliun dengan PDB sebesar Rp 2.774 triliun pada 2005. Setahun kemudian, utang sempat turun menjadi Rp 1.302 triliun dan PDB naik Rp 3.339 triliun.
Jumlah utang menjadi Rp 1.389 triliun dan PDB sebesar Rp 3.951 triliun pada 2007. Naik kembali pada 2008, di mana utang mencapai Rp 1.637 triliun, sedangkan PDB menjadi Rp 4.949 triliun.
Pada masa Presiden Joko Widodo mulai menjabat, jumlah utang mencapai Rp 3.165 triliun dan PDB sebesar Rp 11.526 triliun pada 2015. Utang dan PDB kembali naik masing-masing Rp 3.515 triliun dan Rp 12.407 triliun pada 2016.
Setahun kemudian, utang semakin bertambah Rp 3.938 triliun dan PDB ikut naik Rp 13.589 triliun. Adapun jumlah utang pada 2018 sesuai asumsi Nota Keuangan 2018 akan mencapai Rp 4.166 triliun dan PDB sebesar Rp 14.881 triliun.
Loto melanjutkan, untuk negara berkembang, posisi utang hingga 60 persen dari PDB masih mendukung pertumbuhan. Jika melebihi jumlah tersebut, utang justru akan menghambat pertumbuhan PDB.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan, rasio utang harus kurang dari 60 persen terhadap PDB. Sejak tahun 2009, rasio utang pemerintah bahkan berada di bawah 30 persen. Selama 2015-2018, rasio utang terhadap PDB secara berturut-turut adalah 27,46 persen, 28,33 persen, 28,98 persen, dan 28 persen.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan, utang yang diambil selalu bersifat kompetitif dengan biaya serendah mungkin. Pemerintah berupaya untuk memaksimalkan penggunaan setiap utang yang diajukan.
”Utang tidak hanya untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk mengurangi kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran,” ujarnya. Menurut dia, utang telah dimanfaatkan dengan maksimal, terlihat dari beberapa pencapaian yang ada.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah kemiskinan akhirnya turun ke angka satu digit, yakni 9,82 persen atau 25,9 juta jiwa serta rasio gini pun turun menjadi 0,389 pada pada Maret 2018. Tingkat pengangguran Indonesia juga turun menjadi 5,13 persen pada Februari 2018.
Kendati demikian, lanjutnya, pencapaian itu masih jauh dari sempurna. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan untuk menurunkan kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran yang terus mendera Tanah Air.
Semakin sehat
Kepala Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Febrio Kacaribu menambahkan, kebutuhan untuk berutang semakin menipis untuk ke depannya. Tren itu terlihat dari defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan keseimbangan primer yang semakin sehat.
Defisit APBN terhadap PDB terus mengecil selama 2015-2017, yakni 2,59 persen, 2,35 persen, dan 2,67 persen. Diperkirakan, pada 2018 defisit akan menjadi 2,12 persen. Dalam Nota Keuangan 2019, target defisit menjadi 1,84 persen.
Kemenkeu menyebutkan, realisasi keseimbangan primer sebesar 1,23 persen terhadap PDB (Rp 142,5 triliun) pada 2015 dan perlahan turun menjadi 1,01 persen terhadap PDB (Rp 125,6 triliun) pada 2016. Pada 2017, realisasi menjadi 0,92 persen terhadap PDB (Rp 124,4 triliun).
Pada 2018, target defisit keseimbangan primer sebesar 0,44 persen dari PDB (Rp 64,8 triliun). Untuk tahun depan, defisit keseimbangan primer ditargetkan 0,13 persen terhadap PDB (Rp 21,7 triliun). Adapun keseimbangan primer adalah selisih antara penerimaan negara dikurangi belanja yang tidak termasuk pembayaran bunga utang.