Libatkan Masyarakat Sipil dalam Penyusunan Kebijakan Pekerja Migran
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
Saat ini, diperkirakan ada 6,9 juta pekerja migran dari ASEAN yang bermigrasi di kawasan itu. Sebanyak 87 persen di antaranya bekerja di sektor padat karya, seperti perikanan, pertanian, rumah tangga, manufaktur, bangunan, perhotelan, dan jasa makanan.
Di tengah desakan agar perlindungan terhadap pekerja migran ditingkatkan, negara anggota ASEAN pada November 2017 menyepakati Konsensus Perlindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran. Kesepakatan ini merupakan langkah cukup maju bagi upaya perlindungan hak asasi pekerja migran.
Di tengah desakan agar perlindungan terhadap pekerja migran ditingkatkan, negara anggota ASEAN pada November 2017 menyepakati Konsensus Perlindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran.
Namun, tindak lanjut dari Konsensus Perlindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran dinilai perlu dilakukan dengan melibatkan kelompok masyarakat sipil. Partisipasi mereka dibutuhkan guna menjamin agar aksi dari konsensus yang belum mengikat secara hukum itu sesuai prinsip hak asasi manusia dan benar-benar menjawab persoalan riil pekerja migran.
”Kami berharap program yang direncanakan melalui konsensus ini mampu mengatasi isu-isu yang dihadapi pekerja migran. Hal itu bisa tercapai apabila pemerintah melibatkan masyarakat sipil. Hingga sekarang, penyusunan kebijakan itu sering kali meninggalkan masyarakat sipil,” kata Daniel Awigra, Manajer Program Advokasi Hak Asasi Manusia ASEAN dari Human Rights Working Group (HRWG), Jumat (31/8/2018) di Jakarta.
Rafendi Djamin, konsultan senior dari HRWG, menambahkan, rencana aksi konsensus itu perlu disusun dengan menetapkan isu prioritas pekerja migran yang paling penting secara regional dan nasional. ”Penyusunan rencana aksi perlu melibatkan konsultasi masyarakat sipil agar lebih relevan,” ujarnya.
Menurut Dina Nuriyati dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), masih ada banyak persoalan pekerja migran yang belum teratasi, seperti pekerja migran tanpa dokumen, jaminan sosial, deportasi masa, dan pergerakan lintas batas.
”Dalam tujuh bulan terakhir, ada 73 pekerja migran meninggal di Malaysia. Belum ada investigasi khusus untuk itu. Pengawasan pergerakan lintas batas juga bermasalah. Berkali-kali pekerja migran menjadi korban tenggelam,” kata Dina.
Sebelumnya, Japar Malik dari Kementerian Ketenagakerjaan menyampaikan sejumlah rancangan rencana aksi selama periode 2018-2021. Rencana itu adalah kampanye publik tentang migrasi yang aman dengan kerja sama dengan Filipina, pembangunan kapasitas pekerja migran, riset tentang hak pekerja migran berdasarkan kontrak kerjanya, dan program reintegrasi pekerja migran yang kembali ke tempat asalnya.
Kebutuhan tenaga kerja
Hingga sekarang, pendekatan yang dilakukan terhadap persoalan pekerja migran belum dilihat dari sisi hak asasi manusia, tetapi lebih dari segi ketenagakerjaan dan ekonomi. Chonticha Tang dari Human Rights and Development Foundation Thailand menyampaikan, Thailand butuh tenaga kerja asing karena sedang menghadapi masalah populasi yang menua.
”Kami perlu lebih banyak tenaga kerja untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja, terutama di bidang perawatan. Anggota-anggota ASEAN dapat saling melengkapi kebutuhan itu dengan baik. Kami berharap pembangunan ekonomi itu juga sejalan dengan prinsip hak asasi manusia. Untuk itu, harmonisasi antarnegara sangat penting,” kata Chonticha.
Negara lain yang memiliki kebutuhan tenaga kerja di bidang perawatan adalah Singapura, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang. Reiko Ogawa, Associate Profesor dari Chiba University, Jepang, menyatakan, jumlah tenaga kerja Indonesia di bidang perawatan meningkat dari tahun ke tahun di Taiwan. Pada 2005, angka itu di bawah 50.000 orang, kemudian pada 2017 di atas 150.000 orang.
”Ada semacam stereotip yang disebar sejumlah agen bahwa tenaga kerja asal Indonesia lebih taat dan tenang, sedangkan tenaga kerja asal Filipina dikenal lebih memperhatikan hak kerja mereka,” ujar Reiko.
Dikutip dari siaran pers yang disampaikan HRWG, pekerja migran merupakan salah satu penggerak ekonomi di kawasan ASEAN, baik bagi negara tujuan maupun negara asal. Diperkirakan 6,9 juta pekerja migran dari ASEAN bermigrasi di kawasan Asia Tenggara. Sebanyak 87 persen di antaranya bekerja di sektor padat karya, seperti bangunan, perikanan, pertanian, rumah tangga, manufaktur, perhotelan, dan jasa makanan.
Ada semacam stereotip yang disebar sejumlah agen bahwa tenaga kerja asal Indonesia lebih taat dan tenang, sedangkan tenaga kerja asal Filipina dikenal lebih memperhatikan hak kerja mereka.
Konsensus Perlindungan dan Promosi Hak Pekerja Migran oleh ASEAN merupakan kesepakatan di tingkat regional dan tidak mengikat secara hukum. ”Artinya, implementasinya diserahkan kepada masing-masing negara. Standar implementasi itu belum ada dan sesuai dengan sistem hukum masing-masing,” ujar Daniel.
Untuk memastikan implementasi itu sesuai dengan keadaan riil di lapangan, pihaknya kini sedang melakukan riset bersama lembaga masyarakat sipil lain dari negara ASEAN. Hasil riset itu, menurut rencana, dirilis bulan depan. ”Kami berharap hasil riset ini bisa dijadikan sebagai masukan agar program pemerintah itu sesuai dengan kendala yang ditemukan di lapangan,” kata Daniel.