Ondel-ondel, antara Pelestarian Budaya dan Sumber Penghidupan
Iqbal (17) dengan penuh semangat memainkan konghayan, alat musik berdawai dari Betawi. Ia bersama tujuh pemain musik lainnya mengiringi sepasang ondel-ondel yang terus menari.
Beberapa kali mereka berhenti di kerumunan orang, seperti pasar atau perempatan jalan perkampungan.
Mereka tergabung dalam sanggar ondel-ondel Bintang Sartika yang didirikan oleh Amsar (50) sekitar 20 tahun lalu di Jalan Kampung Irian 2, Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Setiap kali mengamen, mereka bergantian peran. Iqbal, misalnya, bergantian dengan Dias (17) memainkan konghayan dan gendang.
”Hampir setiap pemain lama (sudah bergabung selama beberapa tahun) dapat menjadi pemain musik dan penari ondel-ondel,” tutur Dias.
Setiap mengamen ada 13 orang yang akan ikut dengan peran masing-masing. Delapan orang menjadi pemusik, dua penari ondel-ondel, dan tiga orang yang membawa hiasan umbul-umbul sambil meminta uang kepada orang yang dijumpai.
Sebagai pendiri, Amsar pun masih ikut memainkan peran sebagai pemukul gong. Mereka mulai mengamen sejak pukul 14.00 hingga pukul 23.00. Pada dini hari, mereka memperbaiki ondel-ondel agar terlihat rapi dan menarik.
Dalam sehari, mereka mendapatkan Rp 200.000 hingga Rp 700.000. Mereka menyisakan Rp 100.000 sebagai uang kas. Sisanya dibagi untuk semua pemain secara merata.
Putri Amsar, Devi (22), menuturkan, uang kas tersebut dikumpulkan untuk memperbaiki alat musik dan hiasan ondel-ondel yang rusak atau pengadaan alat baru. Mereka juga menggunakan uang kas tersebut untuk persiapan ikut festival.
”Kalau ikut festival, harus beli seragam pemusik dan baju ondel-ondel, serta hiasan baru agar lebih menarik,” tutur Devi.
Sanggar Bintang Sartika memiliki 11 ondel-ondel. Mereka saling berpasangan dan memiliki nama, yaitu Ji’i berpasangan dengan Manohara, Jampang dengan Angeli, Bono dengan Marfuah, Raja dengan Ratu, dan Naga dengan Susana. Angeli juga harus bergantian dengan Anis.
Sementara Raja dengan Ratu dan Naga dengan Susana hanya digunakan pada acara besar, seperti festival, pernikahan, sunatan, atau kegiatan pemerintah. ”Kami ingin menyimpan dua pasang ondel-ondel tersebut agar tidak kotor saat dipajang,” ujar Devi.
Selain digunakan untuk mengamen secara berkelompok, mereka juga menyewakan ondel-ondel tersebut kepada kelompok yang lebih kecil. Kelompok kecil tersebut biasanya terdiri dari tiga orang, yaitu penari ondel-ondel, pembawa rekaman musik gambang kromong, dan peminta uang.
Ada juga yang mengamen sendiri dengan menjadi penari ondel-ondel sambil membawa ember kecil. Mereka menyebutnya dengan nama ngicik.
Melestarikan budaya
Bagi mereka, mengamen dengan membawa ondel-ondel tidak hanya sekadar untuk meminta uang receh, tetapi tujuan utama mereka ingin melestarikan budaya Betawi. ”Kami tidak ingin budaya asli kami hilang,” tutur Devi dengan logat Betawi-nya yang sangat kental.
Oleh karena itu, mereka sering merasa kesal ketika harus menghindar dari kejaran dinas sosial karena dianggap mengganggu ketertiban masyarakat. Salah satu anggota termuda, Daus (12), mengaku pernah ditangkap dan diamankan di panti sosial.
”Selama tiga hari saya hanya disuruh makan dan tidur sampai akhirnya ditebus oleh pemilik ondel-ondel,” ujar Daus.
Menurut pengakuan Devi, pengamen yang tidak membawa alat musik dipandang seperti pengemis sehingga sering ditangkap dinas sosial.
Pemain ondel-ondel tidak ingin dianggap pengemis. Mereka hanya ingin mencari uang dari keahlian yang dimiliki, yaitu bermain ondel-ondel.
Dias menuturkan, dengan tampil setiap hari, mereka dapat mengasah keahlian bermain musik. Bagi penari ondel-ondel, mereka dapat meningkatkan kreativitas gerakan dengan menyesuaikan irama musik.
Sementara itu, Devi menegaskan, mereka mengamen untuk mendapatkan biaya operasional dan mengembangkan sanggar. ”Kami sudah berusaha meminta bantuan kepada pemerintah pada 2008, tetapi hingga sekarang tidak pernah ada kelanjutan,” tutur Devi.
Keberadaan Sanggar Bintang Sartika telah menginspirasi beberapa kelompok sanggar ondel-ondel baru. Di Jalan Kampung Irian terdapat dua sanggar ondel-ondel lain, yaitu Sanggar Irama Adelia dan Sanggar Rama Rani.
Mereka tumbuh dan berkembang karena adanya keinginan mengembangkan budaya Betawi. Selain itu, adanya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan membuat mereka sulit dipisahkan.
Bertahan hidup
Bagi seniman ondel-ondel, kehidupan mereka tidak pernah terpisah dengan boneka raksasa tersebut. Setiap hari mereka berusaha untuk berlatih dan mengembangkan kreativitas. Di sisi lain, mereka tetap harus mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari. Ada juga yang menjadi seniman ondel-ondel untuk biaya sekolah.
Dias, misalnya, ia tetap sekolah sebelum mengamen. Siswa sekolah menengah atas tersebut tetap belajar di sela-sela bermain ondel-ondel. Selain untuk menambah uang saku, ia dapat meringankan beban orangtuanya.
Salah satu penari ondel-ondel, Gunawan (15), setiap hari ngicik atau menjadi penari ondel-ondel sekaligus meminta uang kepada orang yang ditemuinya. Sejak berumur 5 tahun, ia ditinggalkan oleh kedua orangtuanya di jalan raya. Semenjak itu, ia harus berjuang mencari uang sendiri untuk bertahan hidup dengan membawa boneka berangka bambu seberat 10 kilogram tersebut.
”Saya ikut ondel-ondel sejak umur 6 tahun sehingga saya menggantungkan hidup saya pada barongan (ondel-ondel),” tutur pria yang tinggal di Pasar Nangka, Kemayoran, tersebut.
Di Kramat Pulo, Senen, Jakarta Pusat, tiga pemuda memainkan ondel-ondelnya yang diiringi lagu rekaman gambang kromong. Nopai (34), Angga (24), dan Takur (18) merupakan anggota Sanggar Kumbang Betawi yang berada di Kramat Pulo.
Mereka menjadi pemain ondel-ondel sejak lima bulan yang lalu. ”Saya pekerja serabutan. Jadi, kalau tidak ada pekerjaan, saya main ondel-ondel,” tutur Nopai yang dipercaya sebagai ketua kelompok.
Sementara itu, Iqbal dapat mengembangkan bakatnya di bidang seni musik dengan bergabung Sanggar Bintang Sartika. Cucu Amsar tersebut mulai menjadi pemusik untuk mengiringi ondel-ondel sejak umur 12 tahun.
Kecintaannya pada musik gambang kromong membuatnya sering mendapatkan panggilan di sanggar lain untuk berbagai pementasan budaya Betawi. Iqbal berharap dapat terus berkarya mengembangkan budaya Betawi melalui bakat yang dimilikinya.
Walaupun terkesan karena dorongan kebutuhan hidup, mereka melakukannya dengan sukacita. Para pegiat ondel-ondel berharap, kesenian ini terus lestari karena menjadi ciri khas budaya Betawi. Di sisi lain, ondel-ondel menjadi sumber penghidupan mereka.