JAKARTA, KOMPAS — Sekolah kebudayaan dan kemanusiaan yang diselenggarakan Maarif Institute selama sepuluh hari, mulai Minggu hingga Rabu (22/7-1/8/2018) di Bogor. Melalui kegiatan ini, diharapkan gagasan-gagasan Ahmad Syafii Maarif terkait nilai keterbukaan, kesetaraan, dan kebinekaan dapat ditanamkan kepada generasi muda saat ini.
Ahmad Syafii Maarif atau yang dikenal Buya Syafii memiliki pandangan agar Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang terbuka, inklusif, dan memberi solusi pada masalah besar bangsa dan negara. Ia berpendapat, harapan itu bisa terwujud jika umat Islam bermental terbuka, visioner, optimistis, dan tidak putus asa, serta tidak bermental minoritas.
”Sekolah kebudayaan dan kemanusiaan ini bertujuan untuk menyosialisasikan gagasan-gagasan Buya yang mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan, dan kebinekaan kepada anak-anak muda yang punya latar belakang etnis, suku, budaya, dan agama yang berbeda,” ujar Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Daraz di Bogor, Minggu.
Sekolah kebudayaan dan kemanusiaan ini bertujuan untuk menyosialisasikan gagasan-gagasan Buya yang mengusung nilai-nilai keterbukaan, kesetaraan, dan kebinekaan kepada anak-anak muda yang punya latar belakang etnis, suku, budaya, dan agama yang berbeda
Selain itu, kegiatan ini juga memformulasikan peta intelektualisme dan aktivisme Buya Syafii dalam konteks perkembangan pemikiran Islam Indonesia kontemporer. Generasi muda Indonesia pun diharapkan memiliki perspektif, sikap, dan pendirian yang relatif sama dengan Buya Syafii dalam memotret dinamika, perubahan, dan perkembangan kehidupan keberagaman di Indonesia.
Kegiatan ini juga diharapkan mampu menjadi wadah untuk membentuk jejaring intelektual muda dari berbagai daerah dan pelosok di Indonesia. Generasi muda harus menjadi jangkar bagi penyemaian berbagai ide dan gagasan besar Ahmad Syafii Maarif di masyarakat lebih luas.
Sebanyak 15 peserta hadir dalam kegiatan ini. Para peserta merupakan mahasiswa S-2 tingkat akhir dan yang sedang menempuh program doktoral. Untuk mengikutinya, para peserta diwajibkan membuat esai mengenai tema-tema yang telah ditentukan dengan mencantumkan sejumlah sumber bacaan minimal lima buku karya Buya Syafii Maarif. Dari 40 pendaftar hanya 15 yang lolos untuk bisa mengikuti kegiatan ini.
Acara ini selain dibuka oleh Buya Ahmad Syafii Maarif, juga menghadirkan beberapa narasumber kredibel sesuai dengan keahliannya. Narasumber tersebut di antaranya Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Amin Abdullah, yang juga guru dan dewan pembina Maarif Institute, Mahfud MD, Sudhamek AWS, Siti Musdah Mulia, Haedar Nashir, Komaruddin Hidayat, Ruhaini Dzuhayatin, Ahmad Najib Burhani, Yudi Latif, dan Zainal Arifin Mochtar.
Anggota Dewan Pengawas Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Sudhamek AWS, menilai, menanamkan gagasan Buya Syafii bukan hal yang mudah. Namun, melalui sekolah kebudayaan dan kemanusiaan ini setidaknya bisa memunculkan ”Syafii” baru yang justru bisa lebih baik untuk membangun Indonesia.
”Buya Syafii berpendapat, dalam konteks sebagai sumber etika ajaran Islam menjadi relevan dalam kaitannya dengan kesejahteraan dan keadilan. Oleh sebab itu, Buya berpendapat, mewujudkan kesejahteraan dan keadilan adalah salah satu bentuk praktik keislaman yang hakiki,” katanya.