Sejumlah Pasal Dihapus
Pemerintah menghapus sejumlah pasal tindak pidana korupsi dan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
JAKARTA, KOMPAS- Pemerintah memutuskan menghapus sejumlah pasal tindak pidana korupsi dan tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat dari Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal-pasal hasil adopsi dari konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa itu diputuskan untuk diatur lewat revisi total UU Tipidsus setelah RKUHP disahkan.
Salah satu pasal yang dihapus tentang tindak pidana korupsi di sektor swasta dan pasal lainnya yang merupakan hasil adopsi dari Konvensi PBB Antikorupsi (United Nations Convention Against Corruption/UNCAC). Pemerintah mengusulkan agar pasal-pasal dihapus dan diatur melalui revisi total UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Perubahan substansi draf RKUHP tersebut dibahas dan diputuskan dalam rapat konsinyering Tim Panitia Kerja RKUHP Pemerintah, 28 Juni lalu. Namun, keputusan itu belum dibahas dan diputuskan bersama Tim Panja RKUHP DPR karena belum ada rapat bersama soal RKUHP. ”Pasal-pasal itu ditangguhkan, kami keluarkan dari RKUHP. Kita menunggu revisi total UU Tipikor. Nantinya, perbaikan UU Tipikor itu memang harus menyeluruh,” kata salah satu tim ahli pemerintah, Muladi, di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (4/7/2018).
Soal korupsi swasta
Sebelumnya, pemerintah dan DPR turut memasukkan empat jenis tindak pidana korupsi yang diatur UNCAC tersebut dalam RKUHP. Empat tindak pidana itu, selain penyuapan di sektor swasta, yakni memperdagangkan pengaruh, tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah, juga penyuapan pejabat asing/organisasi internasional.
Dengan perubahan itu, dalam draf terbaru versi 28 Juni 2018, ketentuan tentang tindak pidana korupsi di RKUHP hanya mengatur tentang adopsi Pasal 2, 3, 5, 11 dan 13 dari UU Tipikor. Ancaman pidana penjara dan denda yang diatur di RKUHP terkait pasal-pasal tersebut berbeda dari ketentuan di UU Tipikor. Namun, ancaman pidana penjara maksimum tetap 20 tahun seperti diatur di UU Tipikor.
Implikasi dari pasal-pasal UNCAC dalam UU Tipikor adalah KPK memiliki kewenangan menangani kasus korupsi di sektor swasta. Sebelumnya, KPK khawatir pengaturan pasal korupsi swasta di RKUHP membuat KPK tak bisa ikut menangani jenis tipikor tersebut. Oleh karena itu, KPK berkali-kali meminta korupsi sektor swasta diatur di UU Tipikor, bukan di RKUHP.
Selain pasal tipikor, pemerintah juga memutuskan menghapus pasal tindak pidana HAM berat, yaitu kejahatan perang dan tindak pidana agresi. ”Kita tetap mengacu UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Jadi, RKUHP cukup mengatur kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan,” kata Muladi.
Pemerintah dan DPR sebelumnya juga sempat berencana memasukkan kejahatan perang dan tindak pidana agresi dalam RKUHP sebagai bentuk mengadopsi ketentuan konvensi internasional Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ ICC). Kedua jenis tindak pidana itu memang belum diatur dalam UU Pengadilan HAM.
Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, DPR belum setuju keputusan pemerintah menghapus pasal-pasal tipidsus. Hal itu karena DPR dan pemerintah belum membahas bersama. ”Itu baru di internal pemerintah. Hasilnya apa belum resmi ke DPR. Jadi, DPR belum sepakat,” ujarnya.
Arsul mengatakan, usulan pemerintah itu bisa saja ditolak. Namun, ia setuju untuk mengatur pasal-pasal hasil adopsi konvensi internasional dalam UU khusus sektoral terkait.
”Agar lebih intensif dan terintegrasi, serta agar tak perlu kita berdebat, apakah dengan diratifikasi otomatis (ketentuan internasional) itu berlaku? Padahal, norma-normanya belum diatur khusus dalam pasal-pasal di UU? Karena itu, agar perdebatan itu berakhir, meski sudah diratifikasi, kita nyatakan saja lagi dalam UU,” kata Arsul.
Temui Presiden
Pimpinan KPK, kemarin bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Bogor. Seusai pertemuan, Ketua KPK Agus Rahardjo, didampingi pimpinan KPK lainnya, mengatakan, KPK mengusulkan delik tindak pidana korupsi tetap ada di luar RKUHP. ”Kami sampaikan (kalau delik tindak pidana korupsi masuk RKUHP) risikonya besar dan insentifnya tak kelihatan untuk pemberantasan korupsi,” katanya.
Presiden, menurut Agus, menginstruksikan kepada menteri terkait mengkaji masukan KPK. ”Masukan ditampung dan tidak ada lagi keberatan dari KPK. Batas waktu (target penyelesaian sebelum 17 Agustus 2018) diundur dan tak ditentukan tanggalnya,” tambah Agus.
Dalam pertemuan itu, Presiden didampingi, antara lain, Menteri Koordinator Bidang Polhukam Wiranto serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.