Rendahnya Rasionalitas Politik di Tulungagung, Membuat Tersangka Korupsi Terpilih Lagi
Oleh
Siwi Yunita C
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS-Calon Bupati Petahana Tulung Agung memenangi pilkada, Rabu (27/6/2018) lalu, padahal calon tersebut telah jadi tersangka kasus korupsi. Tingkat rasionalitas politik masyarakat dan absennya partai dalam memberikan pendidikan politik di Tulungagung menjadi penyebabnya.
Berdasarkan penghitungan cepat oleh tim sukses calon dan penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Tulungagung melalui aplikasi android, pasangan petahan Syahri Mulyo (tersangka)-Maryoto Bhirowo mengumpulkan 59,8 persen suara. Sedang pasangan Margiono-Eko Prisdianto hanya mengumpulkan 40,2 persen.
Dosen Ilmu Pemerintahan dan Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Brawijaya Malang M Lukman Hakim, Kamis (28/6/2018), di Malang, mengatakan, rasionalitas atau kesadaran politik masyarakat dalam memilih calon di Tulungagung masih rendah.
Malang punya kesamanaan dengan Tulungagung. Di Malang, dua dari tiga pasangan calon yang berlaga di pilkada juga menjadi tersangka oleh KPK. Namun dua calon yang terlibat kasus korupsi tak terpilih.
“Kesadaran di masyarakat, rasionalitas masyarakat dalam berpolitik terjadi perbedaan antara Tulungagung dan Malang. Di Malang, karena wilayah sempit dan semua akses informasi dekat maka calon yang diusung kekuatan besar, seperti PDIP sekalipun hanya dapat 19,30 persen suara (calon Ya\'qud Ananda Gubdan/ tersangka),” ujarnya.
Menurut Lukman ada beberapa faktor yang menjadi penyebab rasionalitas politik satu daerah berbeda dengan daerah lain, di antaranya perbedaan kondisi geografis, akses informasi, sumber daya manusia, dan unsur primordialisme masyarakat sendiri.
Lukman juga menyebut partai di Tulungagung absen memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Partai hanya terjebak pragmatisme. “Karena itu pendidikan politik di Tulungagung perlu terus ditingkatkan. Ini memang tidak mudah. Dan jangan membebankan pendidikan politik hanya kepada KPU karena KPU hanya sebagai penyelenggara pemilu,” katanya.
Sementara itu Malang Corruption Watch (MCW) menilai tingkat partisipasi masyarakat yang rendah pada pilkada serentak tahun ini menjadi salah satu penanda bahwa masyarakat enggan memilih karena banyak calon yang jadi tersangka korupsi.
Dari tiga calon yang berlaga di pilkada Kota Malang, dua di antaranya—yang tersandung kasus korupsi—mendapatkan suara rendah. Pasangan petahana M Anton-Syamsul Mahmud 36,39 persen dan Yaqud Ananda Gubdan-Ahmad Wanedi 16,3 persen. Sedangkan pasangan Sutiaji-Sofyan Edy Jarwoko unggul 44,31 persen.
Koordinator MCW M Fahruddin Andriyansyah mengatakan tingkat partisipasi pemilih di Kota Malang kali ini tidak sampai 60 persen. MCW sendiri melakukan monitoring di 20 tempat pemungutan suara. “Pada pilkada sebelumnya, partisipasi pemilih capai 65 persen,” katanya.
Mengenai status tersangka calon kepala daerah, Fahruddin mengatakan ada pengaruhnya di Malang. Pengaruhnya pada perolehan suara yang mana perolehan suara calon yang diproses KPK tidak sebaik calon yang tidak diproses oleh KPK.
MCW melihat pemilih di Kota Malang cukup rasional. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi mereka memilih, yakni mereka memberikan suara atas dasar kewajiban sebagai warga negara, mereka melihat apakah visi dan misi sesuai kebutuhan, serta berdasarkan atas kedekatan dan relasi dengan pasangan calon.