Cegah Penyelewengan, Masyarakat Perlu Mengawal Kepala Daerah Terpilih
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tidak adanya komitmen dan integritas membuat kepala daerah mudah menyalahgunakan kekuasaan seusai memenangi pemilihan kepala daerah. Masyarakat diimbau untuk terus memantau dan menjadi pengawal sehingga kepala daerah yang dipilihnya bisa menunaikan visi, misi, program kerja, dan janji saat berkampanye dulu.
Saat ini masih banyak kepala daerah yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, termasuk melakukan tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hal ini terlihat dari maraknya kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satu daerah yang cukup banyak memiliki kasus bupati/wali kota terjerat korupsi adalah Jawa Tengah. Penangkapan Bupati Purbalingga pada awal April lalu menambah deretan daftar kepala daerah di Jawa Tengah sepanjang tahun 2016-2018 yang berurusan dengan KPK.
Bupati Purbalingga Tasdi yang terpilih pada Pilkada 2015 ditangkap terkait kasus dugaan suap proyek pembangunan Islamic Center senilai Rp 77 miliar. Sebelum Tasdi, KPK juga telah menangkap Bupati Klaten Sri Hartini, Bupati Kebumen Yahya Fuad, dan Wali Kota Tegal Siti Masitha.
Pengamat politik dari Universitas Diponegoro Semarang, M Yulianto, menyatakan, tidak adanya komitmen dan integritas menjadi penyebab kepala daerah mudah menyalahgunkan kekuasaan dan melakukan tindakan korupsi.
”Saat ini memang tidak ada perbincangan atau diskursus mengenai bahaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan setelah kepala daerah terpilih dalam pilkada. Ini yang kemudian memudahkan sejumlah kepala daerah khususnya di Jateng melakukan korupsi hingga terkena operasi tangkap tangan KPK,” ujar Yulianto saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (26/6/2018).
Pengajar hukum dari Unika Soegijapranata Semarang, Hotmauli Sidabalok, menyampaikan, korupsi yang masih marak dilakukan kepala daerah bukan hanya disebabkan permasalahan hukuman atau sanksi yang ringan untuk koruptor. Namun, korupsi kerap terjadi karena sistem dan budaya masyarakat masih sangat permisif atau mengizinkan dan memaklumi terhadap kasus KKN.
”Sikap permisif masyarakat ini menyebabkan KKN tidak dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan yang serius,” ucap Hotmauli.
Hotmauli menyebutkan, kasus kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan KPK dapat menimbulkan optimisme sekaligus pesimisme bagi masyarakat dalam gelaran pilkada serentak tahun 2018.
Optimisme bisa terjadi jika pilkada menyuguhkan calon kepala daerah yang lebih baik dan lebih berintegritas dari kepala daerah sebelumnya. Sebaliknya, masyarakat juga bisa pesimistis jika calon kepala daerah dinilai memiliki citra dan integritas yang buruk.
Meski demikian, pilkada tetap harus dijalankan meski masyarakat dihadapkan pada calon-calon yang buruk untuk pembelajaran sebuah demokrasi yang sehat.
”Dalam keadaan seburuk apa pun, demokrasi harus tetap berlangsung. Masyarakat harus memilih yang buruk di antara terburuk jika seandainya memang calon kepala daerahnya tidak memiliki integritas yang baik,” lanjut Hotmauli.
Mengawal kepala daerah
Menurut Yulianto, masyarakat yang memilih kepala daerah tersebut pada pilkada tidak akan mengetahui perilaku asli pasangan calon yang dipilihnya. Hal itu karena saat pilkada calon kepala daerah akan menunjukkan citra yang baik di masyarakat. Perilaku korupsi diyakini baru muncul setelah kepala daerah tersebut memenangi pilkada dan memimpin daerahnya.
Oleh karena itu, salah satu cara agar perilaku korupsi kepala daerah bisa ditekan adalah dengan melibatkan masyarakat dalam memantau dan mengawal kerja kepala daerah. Pengawalan dari masyarakat ini bisa membantu kepala daerah menunaikan visi, misi, program kerja, dan janji saat berkampanye dulu.
Selain itu, menurut Yulianto, masyarakat juga perlu mengetahui profil dan rekam jejak calon kepala daerahnya sebelum memberikan dukungan dalam pilkada lewat berbagai instrumen seperti media sosial.
”Masyarakat perlu memilih kepala daerah yang bebas dari kasus hukum. Saat ini, calon yang bebas dari segala kasus hukum seperti korupsi menjadi salah satu pertimbangan utama masyarakat memilih kepala daerah,” ungkap Yulianto.