JAKARTA, KOMPAS - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Rabu (6/6/2018), di Jakarta, menyatakan, tujuh anggota Komisi Pemilihan Umum melanggar kode etik. Pasalnya, mereka menyusun peraturan verifikasi faktual partai politik peserta Pemilu 2019 yang memunculkan perlakuan berbeda.
KPU menilai putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ini tidak memengaruhi putusan yang sudah mereka ambil dalam tahapan pendaftaran parpol peserta Pemilu 2019. Namun, putusan itu jadi peringatan bagi KPU untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas kerjanya. Apalagi, sebelum putusan DKPP itu, sejumlah putusan KPU telah dikoreksi.
Sepanjang tahapan pendaftaran dan verifikasi parpol peserta Pemilu 2019, Bawaslu tiga kali memutuskan KPU harus mengoreksi keputusan, yaitu soal pendaftaran sembilan partai politik menjadi peserta pemilu, lolosnya Partai Berkarya dan Partai Garuda, serta membatalkan putusan Partai Bulan Bintang tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu.
Pada April lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta meminta KPU mencabut surat keputusannya yang menyatakan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia tidak memenuhi syarat untuk mengikuti pemilu.
Peringatan
Penjatuhan sanksi pelanggaran kode etik, berupa peringatan untuk anggota KPU, muncul di sidang pembacaan dua putusan dari pengadu, yakni pengurus Partai Republik dan pengurus Partai Islam Damai Aman (Idaman) bersama Partai Rakyat.
Kedua aduan itu terkait tahapan pendaftaran, verifikasi, dan penetapan parpol peserta Pemilu 2019. Tujuh anggota KPU yang menjadi teradu adalah Ketua KPU Arief Budiman serta enam anggota KPU, yaitu Hasyim Asy’ari, Viryan, Pramono Ubaid Tanthowi, Wahyu Setiawan, Ilham Saputra, dan Evi Novida Ginting.
Dalam persidangan yang dipimpin anggota DKPP, Muhammad, itu, KPU dinyatakan melanggar ketentuan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Ketentuan yang dilanggar terkait dengan prinsip keadilan dan profesionalitas
Anggota DKPP, Teguh Prasetyo, menyatakan, para teradu menerapkan dua peraturan berbeda saat verifikasi faktual terhadap parpol calon peserta Pemilu 2019. KPU telah mengeluarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan parpol Peserta Pemilu 2019. Setelah muncul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 173 Ayat 3 UU Pemilu, yang menyebabkan semua parpol, baik lama maupun baru harus menjalani verifikasi, KPU lalu mengeluarkan PKPU Nomor 6 Tahun 2018 sebagai pengganti PKPU No 11/2017.
”Secara substansi kedua PKPU mengatur obyek kegiatan yang sama, verifikasi faktual, tetapi menerapkan metode berbeda. Hal ini menyebabkan verifikasi faktual menjadi berbeda antara partai-partai yang diverifikasi faktual sebelum dan sesudah putusan MK,” kata Teguh.
Perbedaan metode verifikasi faktual itu dinilai tidak hanya menghasilkan kualitas hasil verifikasi yang berbeda, tetapi juga tingkat kesulitan berbeda. Hal ini bisa menimbulkan prasangka adanya perlakuan yang berbeda dan tidak adil di antara parpol peserta Pemilu 2019.
Seusai sidang, Ketua KPU Arief Budiman menyampaikan, setelah putusan MK, tak cukup waktu dan regulasi untuk menjalankan putusan MK sepenuhnya. Saat itu, dalam rapat konsultasi bersama DPR dan pemerintah, KPU usul untuk menambah personel, anggaran, atau waktu. Namun, ketiganya tidak disetujui. Akibatnya, KPU lalu menyederhanakan metode verifikasi kendati tidak mengubah substansinya.
”Tetapi, semua diperlakukan sama. Ketika PKPU baru terbit, maka semua partai dikenai PKPU baru,” kata Arief.
Meski demikian, Arief menilai putusan DKPP ini jadi peringatan bagi KPU untuk evaluasi dan tak berdampak pada putusan yang sudah dikeluarkan KPU.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini juga berpandangan putusan DKPP tidak berpengaruh pada administrasi Pemilu 2019. Namun, hal ini menjadi preseden buruk bagi penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, dia berharap KPU bisa berbenah serta meningkatkan kualitas dan performa kerja agar menjadi lebih solid dan profesional. ”Dalam membuat kebijakan dan pengaturan KPU harus menimbang benar-benar aspek keadilan dan integritas pemilu,” kata Titi.
Selain terkait metode verifikasi, DKPP juga menyatakan, KPU melanggar etik karena dua hal lain, yakni langkah KPU yang belum mendaftarkan Sistem Informasi Partai Politik ke Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Selain itu, KPU pada saat menyatakan partai tidak lolos penelitian administrasi hanya memberikan berita acara, bukan berupa keputusan. Keputusan baru diterbitkan setelah penetapan parpol peserta Pemilu 2019. Hal ini menghambat upaya hukum pengadu untuk menjadi peserta pemilu serta berimplikasi terhadap efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemilu.