Cukup Bukti dan Saksi, Kasus Pelanggaran HAM Berat Dinilai Bisa Disidangkan
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Kasus pelanggaran hak azasi manusia (HAM) berat masa lalu di Tanah Air sebenarnya sudah memiliki cukup bukti dan saksi untuk dituntaskan. Namun, terdapat banyak pihak yang dinilai tidak menginginkan kasus pelanggaran HAM ini selesai.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Puri Kencana Putri, di Jakarta, Rabu (6/6/2018), menyampaikan, sejumlah bukti dan saksi telah dikumpulkan oleh Komnas HAM.
“Hampir semua orang yang bertemu Presiden minggu lalu di Istana pernah memberikan keterangan di depan tim penyelidik pro yustisia Komnas HAM. Hanya saja, banyak pihak yang memang tidak menginginkan kasus ini selesai,” ujar Puri.
Menurut Puri, banyak pihak tidak menginginkan kasus HAM selesai karena mengancam karir dan kepentingan yang bersangkutan. Banyak dari mereka bahkan masih memegang jabatan penting di dalam istana.
Puri menambahkan, pemerintah sekarang dan sebelumnya belum sepenuhnya berkomitmen penuh terhadap keadilan hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
“Jika berkomitmen, seharusnya pemerintah membuktikan pasal 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Proses hukum juga harus berjalan tanpa diskriminatif untuk korban pelanggaran HAM,” ungkapnya.
Kasus dugaan pelanggaran HAM di masa lalu hingga saat ini memang masih belum tuntas penyelesaiannya. Kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di seputar pergantian dari Orde Baru ke Reformasi di antaranya yaitu kerusuhan Mei 1998; penghilangan orang secara paksa pada tahun 1997-1998; dan kasus Trisakti, Semanggi I serta Semanggi II.
Kasus-kasus tersebut menelan sejumlah korban jiwa. Sebanyak empat mahasiswa meninggal akibat luka tembak dalam peristiwa di Universitas Trisakti pada Mei 1998. Sebanyak lima mahasiswa meninggal dalam Tragedi Semanggi I, dan lima orang juga meninggal di Tragedi Semanggi II.
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 7-8 Mei 2018 tentang pencapaian tuntutan reformasi, penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat menjadi hal yang paling disoroti publik.
Sebanyak 62 persen publik menyebut pengusutan kasus penembakan dan penculikan aktivis yang berlangsung pada periode 1997-1999 belum jelas penyelesaiannya.
Upaya penyelesaian
Upaya penyelesaian pelanggaran HAM sudah pernah menemui titik terang pada 2009 lalu. Saat itu, tepatnya pada 28 September 2009, DPR melakukan langkah penting dengan memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc terkait dugaan kasus penghilangan orang secara paksa pada tahun 1997-1998.
Namun, sampai saat ini, berkas hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus itu masih mengendap di kejaksaan. Hal serupa juga terjadi di kasus lain, seperti kerusuhan Mei 1998 serta peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, masih mengendap di kejaksaan. (Kompas, 21 Mei 2018)
Meski demikian, lembaga yang berwenang mengusut kasus HAM yakni Kejaksaan Agung dan Komnas HAM menyatakan tetap berkomitmen dan serius dalam menyelesaikan kasus yang tak pernah sampai ke meja hijau ini.
“Kami sungguh-sungguh menyelesaikan kasus dan bekerja keras bersama Komnas HAM. Faktanya memang kami berulang kali melakukan bedah kasus dengan Komnas HAM,” kata Jaksa Agung M Prasetyo.
Menurut Prasetyo, Kejagung tidak pernah mengabaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu meski dalam penanganannya menjumpai sejumlah kendala. Salah satu kendala itu ialah waktu kejadian yang terlampau lama seperti peristiwa 1965 dan penembakan misterius 1982-1985. Hal ini menyebabkan sulitnya mencari saksi maupun bukti terkait peristiwa tersebut.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menyampaikan, pihaknya telah bertemu dengan Menko Polhukam Wiranto dan Jaksa Agung Prasetyo. Pertemuan tersebut membahas tentang penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu dengan mendalami satu persatu kasus yang akan diteruskan ke pengadilan.
“Ada pencerahan mana saja kasus yang akan diteruskan dalam yudisial, namun belum sampai pada tingkat teknis. Jaksa Agung sebaiknya juga segera membentuk tim penyidik dan menentukan nasib dari berkas yang telah Komnas HAM selidiki,” tutur Taufan.
Aktivis HAM Pandji Pragiwaksono dalam bukunya ‘Menemukan Indonesia’ menyatakan, persoalan pelanggaran HAM di Indonesia perlu segera diselesaikan.
Menurutnya, Indonesia juga perlu belajar mengakui dan mengungkapkan kesalahan di masa lalu seperti yang dilakukan oleh Jerman atas pembantaian jutaan manusia pada kepemimpinan Hitler. Hal ini akan membuat Indonesia terbebas dari beban pelanggaran HAM dan melangkah menuju negara yang maju.