Peran Etnis Tionghoa Merawat Kemerdekaan Kerap Dilupakan
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perjuangan bangsa Indonesia dalam merawat nasionalisme dan kemerdekaan tidak terlepas dari peran serta seluruh rakyat, termasuk etnis Tionghoa. Namun, dalam sejarah, etnis Tionghoa kerap terlupakan, bahkan mendapatkan diskriminasi pada tiap rezim pemerintahan.
Pada masa sebelum kemerdekaan, dalam Undang-Undang Kolonial tahun 1854, ada tiga kelas utama dalam masyarakat menurut status hukum. Kelas pertama diisi oleh golongan Eropa, kemudian kelas kedua diisi oleh golongan Timur Asing, yang terakhir dari golongan pribumi.
”Etnis yang termasuk dalam golongan Timur Asing yaitu Arab, India, dan China. Mereka juga dikenal sebagai golongan minoritas menengah,” kata sejarawan Didi Kwartanada dalam dikusi bertajuk ”Peran Tionghoa dalam Perjuangan Kemerdekaan dan Nasionalisme Indonesia” di Jakarta, Sabtu (2/6/2018).
Menurut Didi, golongan minoritas menengah, khususnya etnis Tionghoa, kerap mendapat tekanan dari kedua belah pihak, yaitu dari masyarakat kolonial dan golongan pribumi. Padahal, golongan minoritas menengah menjadi perantara antara kelompok kolonial dan masyarakat pribumi.
”Golongan menengah ini mengisi ceruk perantara, mereka berdagang dan menyediakan sejumlah keperluan masyarakat dari berbagai golongan,” ujar Didi.
Golongan minoritas menengah, khususnya etnis Tionghoa, kerap mendapat tekanan dari masyarakat kolonial dan golongan pribumi.
Penolakan terhadap etnis Tionghoa juga terjadi pasca-terbentuknya Indische Partij (IJ) oleh tiga serangkai pada tahun 1912. Pasca-IJ muncul sejumlah partai nasionalis di wilayah Indonesia.
”Salah satu tokoh Tionghoa bernama Kwee Tjing Hong mengalami penolakan dari kelompok Bumiputera. Kwee awalnya ingin membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI) cabang Palembang dan Bangka, tetapi tidak mendapat persetujuan,” katanya.
Kemudian, pada pembentukan Sumpah Pemuda, sejumlah tokoh Tionghoa turut terlibat dalam perumusan naskah. Nama-nama tersebut yaitu Kwee Tiam Hong, Oey Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie.
”Setelah itu, naskah dan partitur lagu ’Indonesia Raya’ ciptaan WR Soepratman pertama kali diterbitkan di koran mingguan Sin Po pada 10 November 1928,” ujar Didi.
Didi menambahkan, dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) juga ada sejumlah tokoh Tionghoa yang berperan, seperti Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, dan Yap Tjwan Bing.
”Mereka memiliki peran masing-masing, seperti Liem yang mengusulkan kebebasan pers, kemudian Tan yang berperan mengusulkan kebebasan berserikat dan berkumpul, serta Yap yang turut berperan dalam pengesahan UUD 1945,” ujarnya.
Direktur Kesenian Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Restu Gunawan menjelaskan, etnis Tionghoa ini juga berperan dalam membangun sistem ekonomi di masa sebelum kemerdekaan hingga pasca-kemerdekaan Indonesia. Bahkan, mereka telah berjasa sebagai pedagang gelap untuk memenuhi sejumlah stok persenjataan rakyat Indonesia.
Etnis Tionghoa ini juga berperan dalam membangun sistem ekonomi di masa sebelum kemerdekaan hingga pasca-kemerdekaan Indonesia.
”Sejumlah pedagang Tionghoa melakukan perdagangan gelap, karena di Malaysia dan Singapura memiliki stok senjata, tetapi tidak memiliki stok hasil bumi. Oleh sebab itu, pedagang Tionghoa ini menjadi perantara untuk menjual dan menukarkan hasil bumi Indonesia dengan senjata-senjata dari daerah Singapura dan Malaysia,” ujarnya.
Ironi etnis Tionghoa
Didi menjelaskan, meski telah berjasa dalam sejumlah perumusan dasar-dasar negara, para tokoh Tionghoa ini tidak masuk dalam buku-buku sejarah nasional di era Orde Baru hingga Reformasi.
”Pada buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) edisi I tahun 1975, nama-nama tokoh Tionghoa di BPUPKI dan PPKI masih tercantum. Namun, dalam SNI edisi IV tahun 1990 dan seterusnya, nama-nama tersebut hilang,” ujarnya.
Restu menambahkan, perlu ada upaya untuk menyosialisasikan peran etnis Tionghoa ini. Upaya penerbitan buku-buku dengan tema sejarah etnis Tionghoa bisa menjadi salah satu cara untuk mensosialisasikan peran mereka ke masyarakat.
”Selain itu, dalam konteks Pancasila dan kebinekaan, sudah bukan zamannya lagi kita membeda-bedakan antaretnis dan golongan,” katanya.
Ekonom Christianto Wibisono menjelaskan. perekonomian serta pembangunan bangsa Indonesia akan sulit untuk maju jika masih ada diskriminasi antarsesama etnis, khususnya etnis Tionghoa.
”Selain itu, pemerintah perlu mampu menjaga kestabilan ekonomi sehingga etnis Tionghoa tidak menjadi kambing hitam. Seperti ketika rupiah melemah di angka Rp 14.000, mungkin kita berpikir bahwa rupiah pernah melemah hingga angka Rp 17.000. Namun, jika terus didiamkan, gejolak akan berpotensi muncul lagi,” ujarnya.
Etnis Tionghoa memang kerap mendapat diskriminasi hampir dalam setiap rezim pemerintahan.
Didi mengatakan, etnis Tionghoa memang kerap mendapat diskriminasi hampir dalam setiap rezim pemerintahan. Mereka kerap dijadikan kambing hitam jika di Indonesia terjadi gejolak ekonomi dalam pemerintahan, khususnya pada peristiwa Reformasi di tahun 1998.
”Potensi konflik antaretnis ini akan terus ada jika masyarakat memiliki pola pikir ’anti asing’. Seharusnya masyarakat Indonesia juga perlu belajar dan mengambil sisi baik dari masyarakat asing, khususnya etos kerja para etnis Tionghoa,” ujarnya.