Gerak Cepat Habibie dan DPR Dinginkan Suasana
29 Mei 1998
Meski Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri, Kamis (21/5/1998) pukul 09.00, dan menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden BJ Habibie, situasi di Jakarta dan kota-kota besar lain saat itu masih riuh. Aksi mahasiswa didukung berbagai elemen masyarakat terus berlangsung dengan tuntutan reformasi total dan Sidang Istimewa MPR dengan agenda meminta pertanggungjawaban Soeharto.
Situasi di Jakarta bahkan boleh dikatakan panas karena di kalangan masyarakat telah timbul dua kelompok yang bertentangan. Mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat prodemokrasi umumnya menilai bahwa pengunduran diri Soeharto tidak bisa menghapus kesalahannya di masa lalu. Soeharto tetap harus mempertanggungjawabkan kesalahannya di masa lalu di depan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Karena itu, Sidang Istimewa (SI) dengan agenda pertanggungjawaban Soeharto sekaligus pencabutan mandatnya sebagai presiden tetap harus dilakukan.
Baca juga: Lengsernya Soeharto, Babak Baru Demokrasi Indonesia
Mereka juga menilai, pengangkatan Habibie sebagai presiden ketiga RI tidak sah. Oleh karena itu, mahasiswa tetap bertahan di Gedung MPR/DPR untuk mendesak para wakil rakyat menyelenggarakan SI dalam waktu secepatnya.
Di pihak lain, ada kelompok masyarakat yang menganggap tuntutan mahasiswa agar Soeharto mundur sudah terpenuhi dan pengangkatan Habibie sebagai presiden adalah sah dan konstitusional. Kelompok yang kemudian dilabeli sebagai pendukung Habibie ini juga berkeinginan menyampaikan aspirasinya ke Gedung DPR/MPR yang ketika itu masih diduduki mahasiswa.
Sebagai wartawan di lapangan yang mengikuti gerakan mahasiswa sejak awal hingga akhirnya Presiden Soeharto mundur, menyaksikan situasi di depan gedung DPR saat itu mencekam. Mahasiswa yang beraksi di dalam kompleks Gedung DPR/MPR dan juga memenuhi Jalan Gatot Subroto, tol dalam kota, Bundaran Hotel Indonesia, dan Jalan Sudirman terlihat mulai gelisah ketika mendengar kabar massa pendukung Habibie bergerak menuju Senayan. Mereka khawatir akan terjadi benturan dari dua kelompok yang berbeda kepentingan.
Baca juga: Habibie Butuh Rakyat setelah Hari-hari Kelam
Aparat kepolisian yang didukung penuh TNI, dan terutama Marinir, berusaha keras untuk mencegah terjadinya benturan. Meski insiden-insiden kecil terjadi ketika massa pendukung Habibie berhasil memasuki kompleks DPR, bentrokan lebih serius bisa dihindari. Aparat kepolisian dan TNI berhasil menempatkan diri di antara kelompok berbeda tersebut.
Dengan kondisi seperti itu, aparat keamanan yang sudah lelah sebulan penuh mengamankan aksi-aksi mahasiswa dan menjaga situasi Jakarta yang sempat dilanda kerusuhan dan penjarahan akhirnya punya alasan kuat untuk meminta mahasiswa yang tengah menduduki Gedung DPR/MPR meninggalkan tempat. Melalui kerja keras dan negosiasi yang alot selama dua hari, akhirnya mahasiswa pun mulai meninggalkan kompleks DPR/MPR sejak Sabtu (23/5/1998) dini hari dengan kawalan ketat aparat keamanan. Sejumlah bus disediakan untuk mengangkut mereka ke berbagai tujuan.
SI tetap digelorakan
Meski begitu, mahasiswa belum berhenti bergerak. Di sejumlah kota, mahasiswa tetap menggelar aksi dengan tuntutan SI untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto dan pencabutan mandat sebagai presiden. Mereka berharap agar secepatnya diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakil presiden baru yang lebih bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Mahasiswa tetap menggelar aksi dengan tuntutan Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto dan pencabutan mandat sebagai presiden.
Tuntutan itu terus bergulir dan menjadi pembahasan, baik di DPR maupun kalangan masyarakat. Presiden Habibie pun bergerak cepat. Setelah membentuk Kabinet Reformasi, Habibie menemui sejumlah tokoh masyarakat dan politisi untuk mencari penyelesaian.
Hasilnya, tepat sepekan setelah pengunduran diri Soeharto, pemerintah dan DPR sepakat untuk menggelar SI MPR pada akhir 1998 dan pemilihan umum pada pertengahan 1999 seperti diangkat harian Kompas sebagai berita utama halaman 1 edisi Jumat (29/5/1998) dengan judul ”Sidang Istimewa MPR Akhir 1998, Pemilu 1999”.
”Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden BJ Habibie hari Kamis (28/5) sepakat bahwa pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan medio 1999. Kapan persisnya, hal itu akan ditentukan dalam SI MPR pada akhir 1998, atau awal tahun depan. Menjelang SI MPR, baik tim DPR maupun tim pemerintah akan mempersiapkan perangkat perundang-undangan baru, yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu”, tulis Kompas saat itu.
Kesepakatan itu diumumkan Ketua DPR/MPR Harmoko kepada pers seusai pertemuan konsultasi yang bersifat tertutup, antara pimpinan DPR, pimpinan fraksi-fraksi DPR, dan Presiden BJ Habibie selama 90 menit di Gedung DPR/MPR, Jakarta. Kesepakatan itu berarti muncul tepat sepekan setelah HM Soeharto berhenti sebagai presiden dan BJ Habibie mengambil sumpah sebagai presiden ketiga.
Dalam berita itu, disebutkan pertemuan diselenggarakan di tengah suasana pengamanan ketat yang dipimpin langsung Panglima Kodam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin. Puluhan tentara dengan senjata di tangan disiapkan di setiap pintu gerbang dan ratusan lainnya disiapkan di dalam kompleks gedung. Beberapa panser juga diparkir di dekat bangunan utama.
Lima kesepakatan
Kedatangan Habibie ke Gedung DPR/MPR sesuai undangan pimpinan DPR itu, menurut Harmoko, merupakan cerminan semangat reformasi. Pertemuan konsultasi, katanya, memang khusus membahas percepatan pemilu dalam rangka menindaklanjuti semangat reformasi.
Kedatangan Presiden Habibie ke Gedung DPR/MPR sesuai undangan pimpinan DPR itu merupakan cerminan semangat reformasi.
Kedua pihak mencapai kesimpulan yang dituangkan dalam lima butir kesepakatan. Pertama, keinginan pemerintah mengenai agenda percepatan pemilu memiliki semangat yang sama dengan DPR. Harmoko menjelaskan, DPR telah membentuk tim Program Legislasi Nasional (Prolegnas) menghadapi percepatan pemilu itu. Tim akan melakukan penyempurnaan, pengubahan, dan pembuatan perangkat perundang-undangan, seperti Undang-Undang (UU) tentang Pemilu, UU Kepartaian, serta UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Baca juga: Pemilu Secepatnya Jadi Solusi atas Krisis
Kedua, pihak pemerintah juga menyiapkan tim undang-undang, termasuk tim reformasi di bidang ekonomi dan hukum. Dengan demikian, antara tim pemerintah dan tim DPR dapat saling mengisi dalam pembahasan perangkat perundang-undangan itu. Selanjutnya, perangkat undang-undang itu akan jadi produk DPR. Proses ini diperkirakan memerlukan waktu enam bulan.
Ketiga, untuk menentukan waktu penyelenggaraan pemilu, diperlukan SI MPR dengan agenda mencabut, mengubah, dan membuat ketetapan-ketetapan MPR yang berkaitan bagi penyelenggaraan pemilu tersebut. Penyelenggaraan SI itu diperkirakan akhir 1998 atau awal tahun 1999.
Keempat, setelah MPR menetapkan waktu diselenggarakannya pemilu, diperlukan waktu menyosialisasikan persiapan pemilu, termasuk peserta, sistem, dan pelaksanaannya sesuai perangkat perundang-undangan yang baru, yang diharapkan selesai tahun 1999.
Kelima, jadwal program percepatan pemilu itu berarti sesuai dengan penataan perangkat perundang-undangan dan sesuai dengan konstitusi.
Menjawab pers, Harmoko ketika itu mengatakan, persiapan perangkat perundang-undangan tersebut memerlukan waktu karena itu tidak mungkin lagi mempercepat penyelenggaraan SI dari jadwal enam bulan ke depan.
Sikap Dewan sudah jelas, pengucapan sumpah Wakil Presiden Habibie menjadi Presiden sesuai dengan konstitusi.
Ditanya apakah dalam pertemuan itu juga dibahas status pemerintahan Habibie, Harmoko mengatakan, mereka hanya membahas percepatan pemilu sesuai keputusan rapat pimpinan DPR dan fraksi-fraksi sebelumnya.
Ditanya lagi apakah dengan demikian berarti pemerintah Habibie berstatus pemerintahan sementara, Harmoko mengatakan, hal itu tidak dibahas. Dalam hal ini, ujarnya, sikap Dewan sudah jelas. ”Sikap Dewan sudah jelas, pengucapan sumpah Wakil Presiden Habibie menjadi Presiden sesuai dengan konstitusi. Itu sikap Dewan dan fraksi-fraksi,” katanya.
Ditanya apakah mungkin dalam SI MPR nanti akan ada pengukuhan pemerintahan Habibie, Harmoko mengatakan, SI MPR merupakan cerminan kedaulatan rakyat. ”Kedaulatan rakyat ada di tangan MPR. Jadi, kita serahkan saja. Kalau berkembang (ke arah) itu, terserah nanti,” ucapnya.
Ketika hal ini juga ditanyakan kepada Wakil Ketua DPR Ismail Hasan Metareum, ia mengatakan, status Habibie sebagai presiden sudah jelas sesuai dengan konstitusi. ”Agenda Sidang Istimewa adalah mencabut, mengubah, atau membuat peraturan-peraturan yang berhubungan dengan mempercepat pemilu itu. Kalau masalah status presiden, saya patuh dan taat kepada UUD. Karena itu, saya menganggap Pak Habibie sekarang sudah presiden,” kata Buya.
Mendinginkan suasana
Meskipun agenda SI lebih diarahkan pada percepatan pemilu, tampaknya itu sudah cukup mendinginkan suasana. Aksi mahasiswa masih terus berlangsung, tetapi sudah tidak lagi masif dan meluas seperti sebelumnya. Pemberitaan di media pun mulai turun tensinya. Berita tentang SI dan pemilu dipercepat sepertinya memuncaki pemberitaan soal reformasi dalam sebulan terakhir. Hari-hari setelah itu, berita utama Kompas sudah kembali beragam, tidak lagi soal reformasi.
Pemberitaan mengenai SI memang masih sekali-sekali ada, tetapi itu tidak selalu menjadi berita utama, bahkan tidak di halaman 1. Pemberitaan selanjutnya lebih banyak pada persoalan teknis pembentukan partai politik baru dan sejumlah isu pelanggaran HAM pada tragedi Trisakti dan kerusuhan.
Aksi mahasiswa juga akhirnya mereda seiring dengan berkembangnya waktu dan Presiden Habibie bisa bekerja dengan baik memulihkan kondisi ekonomi meskipun masih terdapat kekurangan di sana-sini.
Andaikan Habibie dan DPR tak bergerak cepat merespons tuntutan mahasiswa dan masyarakat soal SI dan pemilu, sangat mungkin situasinya masih tetap kacau. Mahasiswa masih akan terus menyuarakan tuntutannya. Kesepakatan pemerintah dan DPR untuk menggelar SI MPR pada akhir 1998 dan pemilu pada pertengahan 1999 jelas telah mendinginkan suasana.