JAKARTA, KOMPAS- Setelah tuntas mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jumat (25/5/2018), DPR akan fokus menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana. Regulasi ini dijanjikan tuntas pada Agustus mendatang sebagai hadiah kemerdekaan Indonesia.
Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RUU HP) sebenarnya sudah dibahas oleh pemerintah dan DPR periode 2009- 2014. Namun, pembahasan itu tidak tuntas dan baru dibahas kembali oleh DPR dan pemerintah mulai Juni 2015.
Berdasarkan catatan Kompas, RUU HP untuk menggantikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang bersumber dari hukum kolonial Belanda tersebut sudah lama tak dibahas oleh DPR dan pemerintah. Rapat pembahasan terakhir digelar pada Februari 2018.
”Kami tak rapat bukan berarti tak bekerja. Tim kami dan pemerintah tetap bekerja untuk mensinkronisasi pasal-pasal di RUU HP. Jadi, saat rapat formal digelar, tak ada lagi perbedaan di antara fraksi-fraksi dan pemerintah,” kata Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU HP DPR Mulfachri Harahap, Jumat.
Setelah RUU Antiterorisme disahkan, proses pembahasan pun diyakininya bisa lebih cepat. Sebab, sebagian anggota panja yang juga bagian dari Panitia Khusus RUU Antiterorisme DPR bisa fokus mengikuti pembahasan RUU HP. Begitu pula Tim Panja KUHP dari pemerintah yang beberapa waktu belakangan lebih fokus menyelesaikan RUU Antiterorisme.
Penyelesaian pun diprioritaskan dengan target RUU bisa disahkan pada Agustus mendatang. ”Penyelesaian RUU HP pada Agustus itu sekaligus sebagai kado kemerdekaan Indonesia,” kata Mulfachri.
Pembahasan RUU HP sudah dijadwalkan pada Rabu (30/5). Anggota Panja RUU HP dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengatakan, sejumlah pasal akan dirumuskan ulang dan diperhalus redaksionalnya sehingga tidak memicu kontroversi di masyarakat.
DPR, pada April lalu, memperpanjang masa pembahasan RUU HP. Alasannya, masih ada beberapa pasal yang diperdebatkan, di antaranya pasal penghinaan presiden; pengaturan tindak pidana korupsi, narkoba, terorisme, dan lainnya; pasal pidana atas perzinaan yang diperluas; serta penghinaan pada parlemen dan pengadilan.
Menurut Arsul, sekalipun hingga kini masih ada perbedaan di antara fraksi-fraksi dan pemerintah terhadap sejumlah isu di KUHP, perbedaan itu tidak lagi tajam.