Para Pemuda yang Berjuang Mencegah Dampak Buruk Politik Identitas
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
Politik identitas membayangi di hampir semua gelaran pilkada di Indonesia. Pemilih pun tak jarang ikut hanyut dalam arus politik tersebut. Namun, di Kalimantan Barat, ada sekelompok mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Pemuda Perdamaian berani berpikir beda. Mereka justru memilih blusukan ke kampung dan sekolah demi memiminalisasi dampak buruk politik identitas dalam pilkada.
Tujuh mahasiswa anggota Pemuda Perdamaian Kalimantan Barat bersiap berangkat menuju Desa Rasau Jaya II, Kecamatan Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya, Minggu (1/4/2018) sore. Mereka berasal dari berbagai etnis, antara lain Dayak, Madura, Bugis, Melayu, dan Jawa.
Dengan menggunakan sepeda motor, mereka berangkat dari Kota Pontianak menyusuri jalan-jalan sempit di kampung-kampung daerah Kubu Raya. Lamanya perjalanan sekitar satu jam menuju lokasi yang dituju.
Mereka akan melakukan sosialisasi pilkada damai kepada masyarakat di Desa Rasau Jaya II. Malam harinya, pukul 19.00, kebetulan di desa itu ada kegiatan pertemuan kelompok tani. Pemuda Perdamaian pun meminta izin agar setelah pertemuan kelompok tani usai, mereka bisa diberi waktu untuk sosialisasi mengenai pilkada damai.
Pada awalnya ada warga yang curiga dengan mereka. Ada yang menduga, Pemuda Perdamaian adalah tim sukses salah satu calon kepala daerah. Namun, setelah dijelaskan, warga akhirnya paham bahwa Pemuda Perdamaian bukanlah tim sukses salah satu calon kepala daerah.
Setelah pertemuan kelompok tani usai, Pemuda Perdamaian pun diberi waktu menjelaskan mengenai pilkada damai. Mereka tidak melakukan presentasi menggunakan proyektor karena listrik padam pada malam itu sehingga menggunakan lilin.
Di tengah lilin yang berpendar temaram, mereka mengajak masyarakat agar cerdas dalam mengantisipasi potensi kerawanan pilkada, terutama kerawanan terhadap isu SARA dan informasi hoaks. Masyarakat jangan menjadi bagian yang dapat menimbulkan kerawanan pilkada. Isu SARA bisa menimbulkan konflik sosial.
Apalagi, sejarah mencatat, Kalbar pernah dilanda konflik sosial beberapa kali. Meskipun itu bukan karena pilkada, jangan sampai kisah pilu tersebut terjadi lagi karena akan merugikan masyarakat itu sendiri.
Mereka juga mengajak masyarakat agar cerdas dalam menerima informasi dengan menangkal informasi hoaks. Informasi hoaks bisa menimbulkan provokasi dan keresahan. Akhirnya berujung pada amuk massa.
Kampanye pilkada damai sudah beberapa kali mereka lakukan. Sejak Januari 2018, mereka sudah mengunjungi dua desa serta lima SMA/SMK di Pontianak dan Kubu Raya. Sosialisasi di SMA/SMK dilakukan kepada pemilih pemula agar mereka tidak hanyut dalam arus politik identitas serta berpartisipasi dalam menangkal hoaks.
Keprihatinan
Ketua Umum Pemuda Perdamaian Kalbar Irfansius mengatakan, Pemuda Perdamaian Kalbar terbentuk pada 8 April 2017. Pada mulanya Irfansius dan empat rekannya dari berbagai etnis yang satu kampus dengannya bertemu untuk berdiskusi.
”Kami memiliki keprihatinan yang sama dengan situasi yang terjadi saat itu. Dampak Pilkada DKI Jakarta lalu sangat terasa sampai ke Kalbar. Kami ingin berkontribusi dalam menciptakan perdamaian di masyarakat. Apalagi, Kalbar akan melaksanakan pilkada yang rentan terhadap politik identitas,” kata Irfansius, Minggu (1/4/2018).
Mereka membuat sejumlah program strategis, misalnya diskusi mengenai keberagaman. Kemudian, saat mendekati pilkada, terutama saat melihat indeks kerawanan pilkada Kalbar cukup tinggi, mereka mulai melakukan sosialisasi ke masyarakat dan ke sekolah-sekolah.
Untuk melaksanakan kegiatan itu, mereka menggunakan biaya swadaya. Setiap anggota menyisihkan dari uang jajan untuk biaya operasional secara sukarela. ”Dengan keterbatasan biaya, kami berupaya membuat kegiatan yang kecil tetapi bermanfaat besar bagi masyarakat,” ujar Irfansius.
Kegiatan mereka juga diunggah di situs yang diberi nama pemudaperdamaian.or.id. Dengan demikian, mereka juga bisa menyebarkan informasi tentang perdamaian di dunia maya sehingga sosialisasinya bisa lebih luas di tengah keterbatasan biaya.
Kini anggota Pemuda Perdamaian sudah mencapai 18 orang. Harapannya akan lebih banyak lagi anak muda yang tertarik menjadi ”agen perdamaian”, minimal menjadi motor perdamaian di lingkungannya.
Mengemban tugas sebagai ”agen perdamaian” seperti yang dilakukan Pemuda Perdamaian tidaklah mudah. Tidak sedikit orang yang pesimistis terhadap gerakan mereka. Bahkan, ada orang yang mencemooh karena menganggap mereka tidak loyal kepada suku atau golongannya. Ada pula yang menganggap semuanya adalah kesia-siaan.
”Orang-orang ada yang memandang sebelah mata kegiatan kami. Namun, saya konsisten bergabung dengan Pemuda Perdamaian karena ada kerinduan terhadap situasi yang penuh persaudaraan,” ujar Uus Tiawati, anggota Pemuda Perdamaian.
Upaya untuk menjaga kedamaian pun dilakukan oleh Komunitas SADAP, yakni Satu dalam Perbedaan. Komunitas itu menyuarakan keberagaman dengan membuat video berjudul ”Bersatu dalam Keberagaman” yang diunggah di Youtube.
Dalam video berdurasi 47 detik itu, terlihat anak muda dari berbagai latar belakang agama dan suku menyerukan pentingnya menjaga kebersamaan. Kalimat-kalimat yang mereka serukan dalam video tersebut antara lain ”dalam keberagaman ada prinsip kesetaraan”, ”Tuhan tidak memandang kamu dari status sosial atau dari apa pun agama yang kamu anut, tetapi Tuhan melihat ketakwaanmu”. Seruan lain dalam video itu adalah ”merawat keberagaman adalah bagian dari iman”.
Koordinator SADAP, Isa Oktaviani, mengatakan, selain melalui video, SADAP juga mengampanyekan kebinekaan melalui web. Di web yang diberi nama sadapindonesia.web.id itu, mereka memuat tulisan-tulisan yang memupuk kebinekaan. Ada juga melalui media sosial Facebook dan Twitter.
Apa yang dilakukan oleh kaum milenial itu memberikan harapan dalam merawat masa depan bangsa ini. Di saat para elite politik sibuk saling sikut menggunakan atribut suku dan agama untuk kepentingan pribadi, kaum milenial itu aktif mencari ruang-ruang ekspresi sendiri untuk menunjukkan kecintaan kepada negeri.