JAKARTA, KOMPAS – Pembatalan putusan Mahkamah Agung terkait perintah eksekusi kerugian negara dan biaya pemulihan lingkungan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan pada lahan sawit PT Kallista Alam oleh Pengadilan Negeri Meulaboh di Aceh merupakan bentuk ketidakpastian hukum.
Ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum kasus lingkungan dan bisa ditiru pihak-pihak lain yang pernah dikalahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam kasus serupa.
Mahkamah Agung diminta segera turun tangan menyikapi putusan tersebut. Komisi Yudisial juga didesak memeriksa majelis hakim yang menangani kasus-kasus ini karena sejumlah kejanggalan. Menurut Koalisi Antimafia Hutan, putusan Pengadilan Negeri Meulaboh tersebut telah membebaskan tanggung jawab PT Kallista Alam dengan menganulir putusan Mahkamah Agung sebelumnya.
Syahrul Fitra dari Yayasan Auriga Nusantara, anggota Koalisi Antimafia Hutan, Minggu (6/5/2018), di Jakarta, mengatakan, berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, upaya perlawanan terhadap suatu putusan harus dilakukan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Dalam kasus ini, MA telah mengeluarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), yaitu putusan Nomor 1 PK/PDT/2017 jo putusan Nomor 651 K/Pdt/2015 jo putusan Nomor 50/PDT/2014/PT BNA jo putusan Nomor 12/PDT.G/2012/PN.Mbo.
Ini merespons putusan PN Meulaboh Nomor 16/Pdt-G/2017/PN Mbo yang isinya mengabulkan seluruh gugatan PT Kallista Alam. Di dalam putusan itu juga menyatakan putusan-putusan sebelumnya dalam kasus perdata ini tak dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum kepada PT Kallista Alam.
Putusan penting lain, yaitu menyatakan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 1 PK/PDT/2017 (tertulis 2015 dalam putusan) tidak mempunyai titel eksekutorial terhadap PT Kallista Alam.
Koalisi Antimafia Hutan pun menemukan gugatan PT Kallista Alam hanya mempersoalkan sebagian lokasi yang pernah diperiksa sesuai Putusan Nomor 1 PK/PDT/2017 jo putusan Nomor 651 K/Pdt/2015 jo putusan Nomor 50/PDT/2014/PT.BNA jo putusan Nomor 12/PDT.G/2012/PN.MBO, yaitu lokasi tersebut berada di luar lokasi Hak Guna Usaha (HGU)-nya. Namun, dalam tuntutannya, PT Kallista Alam justru meminta agar terlepas dari seluruh tanggung jawab kerugian lingkungan hidup di lokasi HGU-nya.
“Kekeliruan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 16/Pdt-G/2017/PN Mbo justru mengamini gugatan PT Kallista Alam tanpa memahami muatan putusan terdahulu. Koalisi memaknai hal ini sebagai upaya pemutihan tanggung jawab PT Kallista Alam,” kata Syahrul.
“Komisi Yudisial agar aktif mengambil peran bila hakim melakukan di luar kepantasan. Pun Badan Pengawas MA juga sepatutnya menjalankan tugasnya,” imbuh Lalola Ester dari Indonesia Corruption Watch (ICW), anggota koalisi.
KLHK banding
Dihubungi terpisah, Direktur Penyelesaian Sengketa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jasmin Ragil Utomo menyatakan, pihaknya menyatakan banding atas putusan PN Meulaboh yang memenangkan Kallista Alam. “Memori banding sedang kami siapkan,” kata dia.
Era Purnama Sari, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), anggota koalisi, menyarankan agar memori banding berisi argumen bahwa putusan PN Meulaboh tak prosedural. Ia pun menyarankan agar KLHK juga aktif berkomunikasi dengan MA. Diharapkan, MA bisa memberikan putusan yang membatalkan Putusan PN Meulaboh dan menyatakannya tak berkekuatan hukum tetap.
Sejak Sabtu hingga Minggu malam, Kuasa Hukum PT Kallista Alam Hakim Tua Harahap (nama yang tertulis dalam putusan PN Meulaboh) tak bisa dihubungi pada dua nomor yang didapatkan Kompas. Kontak telepon tidak tersambung dan SMS tidak terbalas.