Biaya Besar Bukan Alasan untuk Kembali ke Pilkada Tak Langsung
Oleh
DD08
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wacana pemerintah mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah dari langsung ke tidak langsung karena alasan biaya dianggap kurang bijak. Kedua sistem memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing dalam menjaga demokrasi di Indonesia.
Jumat (6/4/2018), Ketua DPR dari Partai Golkar Bambang Soesatyo menyampaikan wacana evaluasi sistem pilkada secara langsung pada rapat pimpinan DPR dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Kompleks Parlemen, Jakarta. Menurut Bambang, pilkada secara langsung membuat biaya politik amat tinggi sehingga banyak kepala/wakil kepala daerah terjerat korupsi.
Selama proses demokrasi dibangun sejak dua puluh tahun yang lalu, pemilu langsung telah membuat masyarakat ikut berpartisipasi secara aktif dalam berpolitik.
Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan, pandangan tersebut sebagai bentuk kemunduran demokrasi. ”Selama proses demokrasi dibangun sejak dua puluh tahun yang lalu, pemilu langsung telah membuat masyarakat ikut berpartisipasi secara aktif dalam berpolitik,” kata Ari di Jakarta, Selasa (10/4).
Meski demikian, tujuan dari pemilu langsung masih perlu dievaluasi. Menurut Ari, dalam pemilu langsung, oligarki (pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan tertentu) partai politik semakin menguat sehingga terjadi kemunduran demokrasi. Namun, untuk mengatasi kemunduran tersebut tidak dapat secara instan dengan mengubah sistem pilkada.
Direktur Eksekutif Respublica Political dan Pengajar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Benny Sabdo mengatakan, pilkada secara langsung dan tak langsung sama-sama membutuhkan biaya yang besar. Menurut Benny, kedua sistem tersebut memiliki peluang terbukanya transaksi politik sehingga setiap elite politik akan mengeluarkan biaya yang besar untuk mendapatkan kekuasaannya.
Korupsi menjadi cara untuk mengembalikan modal dengan cepat karena gaji seorang kepala daerah tidak akan cukup untuk mengganti kerugian selama proses pilkada berlangsung.
”Cara termudah yang dilakukan elite politik untuk mengembalikan modalnya yaitu dengan memainkan anggaran melalui kekuasaan yang dimiliki,” tutur Benny. Ia menambahkan, korupsi menjadi cara untuk mengembalikan modal dengan cepat karena gaji seorang kepala daerah tidak akan cukup untuk mengganti kerugian selama proses pilkada berlangsung.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, adanya politik uang yang muncul dalam sistem pilkada langsung tidak dapat hanya dianalisis dari permukaannya.
Menurut Titi, politik uang tersebut muncul karena penegakan hukum di Indonesia masih lemah sehingga mudah dimanipulasi. Selain itu, parpol belum menjalankan fungsinya dengan baik dan beberapa oknum penyelenggara pilkada tidak dapat menjaga integritasnya.
Peneliti Politik Islam Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nostalgiawan Wahyudhi, mengatakan, permasalahan pilkada tidak hanya dapat dihitung secara materi. Adanya praktik politik uang dan anggaran dana yang besar merupakan bagian dari proses pembentukan demokrasi yang baru berjalan sekitar dua puluh tahun.
Menurut Nostalgiawan, dalam pemilihan tidak langsung, tidak dimungkiri juga dapat terjadi praktik jual-beli kursi jabatan. Hal itu terjadi karena DPRD yang memilih calon kepala daerah dan tidak dikontrol secara langsung rakyat.
Demokrasi
Ari mengatakan, untuk memperkuat demokrasi dibutuhkan pendidikan politik pada masyarakat sehingga pilkada bukan lagi sebagai ajang pertarungan untuk menghasilkan pemenang. ”Selama ini parpol hanya dikuasai elite politik dan tidak memiliki kader yang mengutamakan kepentingan umum,” katanya.
Selama ini partai politik hanya dikuasai elite politik dan tidak memiliki kader yang mengutamakan kepentingan umum.
Ia mengatakan, agar demokrasi dapat berjalan dengan baik, kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah perlu sejalan dengan tujuan untuk kepentingan umum. Menurut Ari, selama ini kebijakan pemerintah pusat dan daerah berjalan sendiri-sendiri.
Benny mengatakan, agar kebijakan pemerintah pusat dan daerah dapat sejalan, maka pilkada tidak langsung dapat mengakomodasi pemimpin yang memiliki satu tujuan.
Menurut Benny, pilkada langsung akan membuat legitimasi kepala daerah menjadi kuat sehingga mereka ingin menentukan kebijakan sesuai keinginannya sendiri.
”Tujuan pilkada tidak langsung akan dapat berjalan dengan baik apabila ada transparansi,” kata Benny.
Pilkada langsung akan membuat legitimasi kepala daerah menjadi kuat sehingga mereka ingin menentukan kebijakan sesuai keinginannya sendiri.
Ia menegaskan, proses seleksi calon kepala daerah harus dilakukan secara ketat oleh Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan melibatkan publik sehingga tidak hanya dilakukan oleh parpol.
Menurut Nostalgiawan, sistem demokrasi tidak dapat ditentukan secara kaku. Sistem tersebut akan terus berkembang sesuai dengan konteks dan kultur sosial politik dalam sebuah negara.