JAKARTA, KOMPAS - Mekanisme pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah antara eksekutif dan legislatif masih menjadi celah terbesar terjadi korupsi di lingkungan pemerintahan daerah. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang seharusnya mengkritisi usulan program dan nilai anggaran dalam APBD ternyata ikut bekerja sama dengan eksekutif atau pemerintah daerah mencari keuntungan dalam proses pembahasan dan persetujuan APBD.
Modus semacam itu terungkap dalam penetapan 18 anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa waktu lalu. Mereka diduga menerima suap dari Wali Kota Malang Mochamad Anton terkait dengan pembahasan APBD Kota Malang tahun 2015. Modus serupa terjadi di Sumatera Utara.
Sebanyak 38 anggota DPRD Sumut ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Penetapan itu telah dikonfirmasi oleh Ketua KPK Agus Rahardjo.
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko di Jakarta, Sabtu (31/3/2018), mengatakan, baik eksekutif maupun legislatif di daerah sama-sama kuat dan punya kewenangan membahas anggaran daerah. Karena itu, diperlukan satu suara dan persetujuan dari kedua belah pihak supaya anggaran daerah itu bisa dijalankan. Jika DPRD tidak setuju dengan pengajuan anggaran, pemda terpaksa menggunakan APBD tahun sebelumnya.
”Akan tetapi, masalahnya bukan di situ sebenarnya. Masing- masing, baik eksekutif maupun legislatif, punya kepentingan mencari keuntungan di luar keperluan anggaran untuk rakyatnya. Mereka kemudian bekerja sama dan itu pun sebenarnya kelihatan juga dalam kasus-kasus penganggaran lain, semisal kasus KTP elektronik di tingkat nasional,” kata Dadang.
Tidak transparan
Kepentingan eksekutif dan legislatif itu didukung oleh proses pembahasan yang tidak transparan. Publik kerap tidak mengetahui program yang diusulkan pemda dalam proses pembahasan di DPRD. Kerap kali hasil pembahasan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) tidak semuanya dibawa dalam rapat dengan DPRD. Potensi korupsi itu bahkan sudah muncul saat perumusan dan penentuan anggaran yang melibatkan begitu banyak pihak, tetapi tidak dilakukan dalam proses yang transparan dan melibatkan publik.
”Di tahap pembahasan awal, yakni musrenbang dari tingkat desa, kecamatan, hingga ke kabupaten atau provinsi, nantinya ada perubahan. Ketika usulan atau program itu dibawa dalam rapat dengan DPRD di tingkat pusat daerah, pembahasannya menjadi elitis. Oleh karena itu, pasti ada kongkalikong dalam pembahasannya, dan modusnya selalu seperti itu,” katanya.
Tidak hanya di Kota Malang, Sumut, atau Jambi, yang sejumlah anggota DPRD telah ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pembahasan APBD oleh KPK, daerah-daerah lain pun memiliki kecenderungan serupa. Korupsi amat terbuka lebar di dalam pembahasan anggaran daerah yang elitis dan tidak transparan.
Secara terpisah, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Oce Madril, berpendapat, tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif dalam pembahasan APBD merupakan salah satu bentuk politik uang. Eksekutif membungkam legislatif dengan cara menyediakan uang supaya pembahasan APBD berjalan mulus.
”Masih banyak dari mereka yang menjalankan pemerintahan daerah dengan pola-pola koruptif, misalnya dengan berbagi kekuasaan atau berbagi uang. Tawar-menawar dalam pembahasan anggaran menjadi contoh praktik koruptif karena tidak ada yang tahu ada kesepakatan apa di balik persetujuan proyek atau anggaran,” ujarnya.
Tiga tujuan
Berkait hal ini, pengajar hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Hifdzil Alim, menambahkan, ada tiga tujuan dalam korupsi APBD. Pertama, sumber pendapatan anggota DPRD untuk memenuhi mahar politik untuk mendaftar sebagai calon anggota legislatif.
”Kedua, biaya politik yang tinggi sekali dan politik uang untuk meraup suara dalam pemilu. Gantinya nanti akan diperoleh dalam pembahasan APBD jika caleg terpilih,” katanya.
Ketiga, bertemunya kepentingan antara legislatif dan eksekutif. Keduanya sama-sama mengeluarkan banyak uang untuk mencalonkan diri di dalam pemilu sebelumnya. Kondisi politik biaya tinggi membuat korupsi anggaran pemerintah akan terus terjadi.
”Selalu saja tiga pola dan tujuan itu berulang dalam korupsi APBD,” kata Hifdzil.