JAKARTA, KOMPAS -- Penataan kembali trotoar Sudirman–MH Thamrin akhirnya dilakukan meski sudah terlambat lima bulan dari jadwal. Namun, penataan yang dilakukan tiga perusahaan di bawah koordinasi Dinas Bina Marga DKI Jakarta memunculkan sejumlah catatan.
Pengamat perkotaan yang juga ahli lanskap Nirwono Joga, Kamis (8/3) menjelaskan, penataan trotoar dikhawatirkan menghilangkan jalur hijau pemisah jalur lambat dan jalur cepat. Ada 451 pohon sedang–besar dicerabut, dipindahkan ke RPTRA Kalijodo dan Taman BMW di Jakarta Utara, serta ke ruang terbuka di Jalan Tipar Cakung Jakarta Timur. Ini berarti ruas Sudirman-Thamrin kehilangan jalur hijau.
“Ini berdampak pada penurunan kualitas udara sepanjang Sudirman–Thamrin,” katanya.
Menurut pandangannya, seharusnya desain trotoar mengikuti dan mempertahankan pohon-pohon tersebut, serta menambah lebih banyak lagi pohon besar yang kuat sebagai peneduh jalan.
Hal lain yang perlu dikritisi adalah penyatuan jalur untuk sepeda motor dan bus reguler.
“Yang terjadi, sepeda motor akan masuk ke kanan ke jalur kendaraan pribadi jika lancar atau nekad menerobos trotoar yang terbuka lebar karena pembatasan dengan bollard di jalan-jalan di Jakarta terbukti tidak efektif,” ujar Nirwono.
Pemprov DKI didorong membatasi pergerakan kendaraan bermotor terutama di Jalan Sudirman–Thamrin, jika ingin mendorong orang nyaman berjalan kaki dan menggunakan angkutan umum baik itu kereta massal cepat (MRT), bus Transjakarta yang merupakan bus rapid transit (BRT), ataupun kereta ringan (light rail transit/LRT).
Pembatasan kendaraan bisa dilakukan dengan percepatan penerapan electronic road pricing (ERP), untuk membatasi jumlah kendaraan pribadi yang masuk ke pusat kota, termasuk ke Sudirman–Thamrin.
Dari catatan Kompas, situasi ini kontra. Di satu sisi Pemprov DKI ingin mendorong warga Jakarta untuk menggunakan angkutan kota. Namun di sisi lain, kini Sudirman–Thamrin kembali dibuka untuk sepeda motor dengan alasan keadilan sosial. Satu-satunya upaya pembatasan kendaraan pribadi dengan penerapan ganjil genap nomor polisi untuk mobil.
Selain itu, lanjut Nirwono, badan trotoar harus terbagi jelas dengan jalur untuk pejalan kaki plus jalur khusus penyandang disabilitas serta jalur sepeda sesuai UU No.22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Lebih penting lagi trotoar harus terhubung dengan jembatan penyeberangan orang (JPO) dan halte transjakarta serta stasiun MRT.
Diperjelas aturannya
Alfred Sitorus dari Koalisi Pejalan Kaki mengkritisi mengenai rencana diperbolehkannya kios-kios pedagang di trotoar. “Itu harus ditata lagi. Siapa yang bisa memberi garansi atau jaminan bahwa trotoar selebar 12-13 meter itu tidak akan diokupasi sewenang-wenang oleh pedagang?” ujar Sitorus.
Penataan trotoar, lanjut Sitorus, juga belum mengajak seluruh instansi yang menggunakan trotoar itu. Di antaranya PLN, penyedia telekomunikasi, Dinas LH, hingga penyedia air baku.
“Harus ada yang mengkoordinasi dari penggunaan trotoar untuk sejumlah utilitas tersebut. Supaya ketika satu instansi mau membongkar, akan membongkar seizin instansi yang mengkoordinir dan bisa kembali baik. Supaya tidak asal bongkar pasang,” ujar Sitorus.
Nirwono melanjutkan, untuk penataan trotoar dengan mengajak pemilik gedung membuka pagar, serta pengaturan pintu keluar masuk kendaraan di Sudirman Thamrin pun ia nilai akan sulit dan butuh waktu lama. Akses keluar masuk kendaraan ke gedung akan menjadi titik-titik macet baru karena bersilangan atau memotong jalur bus reguler dan sepeda motor yang padat terutama di pagi, siang, dan sore hari. Pembukaan pagar juga tidak mudah karena tidak ada jaminan keamanan terhadap bangunan.
Kepala Dinas Bina Marga DKI Yusmada Faizal tetap optimispara pemilik gedung di Sudirman–Thamrin akan mau membuka pagar gedung mereka. Dari 150-an pemilik gedung di ruas jalan itu sudah 10 pemilik gedung yang mau membuka pagar gedung mereka. “Meski pagar dibuka, tetap harus ada pembatas yang soft seperti air mancur, kolam, atau tanaman,” ujarnya.