Ulama Perempuan Bantu Eratkan Indonesia Kembali
JAKARTA, KOMPAS - Sebanyak 138 ulama dari berbagai wilayah yang bergabung dalam Jaringan Ulama Perempuan Indonesia menyerukan agar kontestan dan simpatisan Pemilu 2018-2019 tidak melakukan politisasi agama.
Mereka melakukan berbagai aksi guna menjaga Indonesia yang sedang rentan isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), sekalipun menerima penolakan.
Dalam buku \'Catatan Politik\' oleh Denny JA tahun 2006, politisasi agama adalah memanipulasi sentimen agama dalam upaya meraih kekuatan dan kekuasaan. Padahal, agama merupakan ranah komunitas, bukan negara.
Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah, aktivis perempuan, dan dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta, Yulianti Muthmainnah ketika membacakan pernyataan Jaringan Ulama Perempuan Indonesia menyatakan, mereka mengimbau agama tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan politik.
“Mereka harus menempatkan persaudaraan dan persatuan di atas kepentingan politik pragmatis dan primordialisme guna menjaga persatuan bangsa,” kata Yulianti, dalam konferensi pers “Seruan Moral Jaringan Ulama Perempuan Indonesia untuk Menjaga Keutuhan Bangsa Indonesia,” di Jakarta, Kamis (1/3).
Indonesia akan mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 171 daerah tahun 2018 ini. Pada tahun 2019, Indonesia akan menggelar pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres).
Dalam konferensi pers itu, hal lain yang diimbau oleh para ulama adalah agar negara menegakkan hukum dengan tegas bagi yang melanggar dan meningkatan pengawalan pemilu.
Mereka pun meminta tokoh masyarakat, tokoh agama, organisasi, dan masyarakat pada umumnya meningkatkan pendidikan publik mengenai toleransi, pemahaman kearifan lokal, dan pertemuan lintas SARA.
Adapun Jaringan Ulama Perempuan Indonesia merupakan perkumpulan nonstruktural dari penyelenggara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Kongres itu merupakan pertemuan ulama perempuan pertama di Indonesia yang diselenggarakan pada 25-27 April 2017, di Cirebon, Jawa Barat.
Berdasarkan pemberitaan Kompas, 16 Maret 2017, jumlah konflik SARA di Indonesia sepanjang tahun 2015-2016 mencapai 1.568 kejadian. Menyusul di bawahnya adalah konflik yang melibatkan massa dalam kelompok besar 1.060 kasus.
Berbagai upaya dilakukan oleh para ulama perempuan untuk mempererat persatuan Indonesia. Pimpinan Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadis, Pondok Gede, Bekasi, Badriyah Fayumi menyatakan, hal pertama yang mereka lakukan adalah mengedukasi diri sendiri dan tidak menyebarkan bohong (hoax) dan ujaran kebencian. Mereka mengecek kebenaran suatu berita terlebih dahulu.
“Ketika berdakwah, kami selalu memasukkan unsur persatuan, perdamaian, dan toleransi. Unsur itu sudah dilakukan oleh semua ulama yang bergabung dalam perkumpulan ini,” tutur Badriyah. Menurut dia, menjadi seorang ulama berarti tugasnya adalah menjaga kohesi sosial.
Yulianti mengatakan, majelis taklim di daerahnya melakukan kajian rutin terkait ayat-ayat yang berpotensi memunculkan kebencian kepada orang lain. Dalam kegiatan tersebut, jemaah akan membahas bersama dan melakukan tafsir ulang ayat-ayat itu sesuai dengan konteks saat ini.
Khotimah Husna, Ketua Pimpinan Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) DIY Yogyakarta menambahkan, kasus-kasus yang menyinggung SARA di Yogyakarta baru-baru ini semakin menimbulkan kegelisahan.
Pada 11 Februari, Suliono (23) masuk dan menghunuskan pedang di Gereja Santa Lidwina sekitar pukul 07.30 saat jemaat tengah mengikuti misa. Ia melukai lima orang, yakni seorang pastor yang sedang memimpin misa, seorang anggota polisi, dan tiga anggota jemaat gereja.
Selain itu, T (48), seorang dosen aktif di salah satu universitas di Yogyakarta, ditangkap polisi pada 16 Februari 2018 akibat menyebarkan berita bohong terkait pembunuhan seorang ustad atau muazin oleh orang gila di Cikijing, Majalengka. Ia menyebarkan berita itu di medson dan berita itu dibagikan sebanyak 6.933 kali.
“Kami di Fatayat sebenarnya telah berkonsolidasi dengan berbagai organisasi sejak Januari. Rencananya, pada tanggal 29 April kami akan mengikrarkan kebangsaan untuk Jogja damai,” kata Khotimah.
Ikrar itu akan diikuti oleh 10 elemen masyarakat, termasuk organisasi masyarakat yang mewakili agama di Indonesia, lembaga swadaya masyarakat (LSM), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), dan akademisi.
Ia memperkirakan, sekitar 3.000 orang akan hadir dalam acara tersebut. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan istri Gubernur DIY Sri Sultan Hamenkubuwana X, yaitu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas serta Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Sirad juga direncanakan hadir.
Tantangan
Sebagai ulama perempuan, upaya mereka untuk mendorong persatuan bangsa menghadapi tantangan. Hal itu dihadapi oleh Jauharotul Farida, Ketua Lembaga Ketahanan Keluarga (LKK) Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah serta Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Jawa Tengah.
Menurut dia, ulama perempuan masih menerima diskriminasi pengakuan karena masih identik dengan laki-laki.
Anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, secara terpisah, menyatakan, tantangan yang dihadapi ulama perempuan merupakan persoalan yang sifatnya sosio-psikologis.
Dalam sepanjang sejarah Islam, ujarnya, tidak dikenal adanya perempuan yang menjadi ulama atau ahli ilmu agama. Umat Islam sering mengutip Siti Aisyah, istri Nabi Muhammad, tetapi ia dirujuk sebagai periwayat hadits.
Adapun Indonesia memiliki Cut Nyak Dhien yang adalah tokoh perempuan, namun merupakan pejuang kemerdekaan.
“Jadi, munculnya ulama perempuan itu dirasakan sebagai fenomena baru. Masalah sosio-psikologisnya adalah sebagian masyarakat belum akrabnya dengan adanya ulama perempuan,” tutur Mahfud.
Mahfud menegaskan, secara prinsip ulama bisa merupakan laki-laki dan bisa perempuan. Hal itu karena ulama berarti secara luas adalah ilmuwan dan khusus adalah ahli ilmu agama. Apalagi, sekarang perempuan juga telah memiliki akses pendidikan.
Menurut dia, Islam mengajarkan derajat laki-laki dan perempuan sama. Hal yang membedakan adalah fungsi kodratnya. Masyarakat harus mengingat ajaran bahwa manusia harus memerhatikan apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan.
Badriyah menambahkan, ulama perempuan tidak bergabung dalam organisasi struktural. Namun, setiap ulama memiliki komunitas mereka sendiri-sendiri.
Mereka akan terus menyuarakan empat basis pemikiran Jaringan Ulama Perempuann Indonesia, yaitu kebangsaan, kemanusiaan, keislaman, dan kesemestaan di wilayah mereka masing-masing. (DD13)