Memuliakan Ragam Pangan Lokal
Di Nusa Indonesian Gastronomy, aneka pangan lokal yang kerap direndahkan itu menjelma mulia. Sagu Papua yang diolah menjadi mi dan disiram kuah kuning ikan gindara dari Kendari menjadi menu pembuka. Makan malam ditutup dengan boko-boko khas Jailolo berbahan sorgum yang dipadu irisan kenari dan gula merah.
Ragil Imam Wibowo yang menggawangi dapur restoran Nusa Indonesian Gastronomy di Kemang, Jakarta Selatan ini seperti menghamparkan kekayaan pangan Nusantara. Tak hanya mencomot menu tradisional dari berbagai daerah, chef yang mendapat penghargaan The Best of the Year dalam Jakarta Best Eats ini, meracik aneka bahan pangan itu menjadi menu baru yang mengundang selera.
Menyantap makannya, tak hanya lidah yang digugah, namun juga pikiran kita. Tak terbayangkan sebelumnya, keju kerbau khas Enrekang bisa dipadupadankan dengan irisan pisang kepok dan sambal balado dengan belut sawah dari Sumatera Barat. Sementara, ayam kampung yang dimasak dalam bambu khas Jailolo disandingkan dengan potongan sirsak muda dan daun singkong rebus dengan taburan singkong.
Menyantap makannya, tak hanya lidah yang digugah, namun juga pikiran kita.
Sementara itu, sukun kukus yang dilumatkan seperti mashed potato, disandingkan dengan jantung sapi Bali yang dimasak kari Aceh. Dibandingkan lumatan kentang, tekstur sukun terasa lebih lembut dengan harum yang khas.
"Inilah kekayaan Indonesia. Kita begitu kaya dengan ragam bahan pangan yang secara gizi sangat baik," sebut Tuti Soenardi, ahli gizi dan kuliner yang menjadi tamu Nusa Indonesian Gastronomy, restoran yang mendapat penghargaan Jakarta\'s Best Fine Dinning 2018 atas sajian olahan menu berbahan Nusantara ini, pada Sabtu (24/2) malam itu.
Para tamu lain, seperti ahli genetika Lembaga Biologi Molekular Eijkman Herawati Sudoyo, pengusaha Raeshita Hardisurya, penulis Irma Hardisurya, serta peneliti gizi dan kuliner dari Wanita Tani, Sri Wulan, begitu antusias menikmati sajian demi sajian yang dihidangkan. Herawati, yang kerap ke pedalaman untuk riset genetika manusia Indonesia, mengaku tak mengira bahwa aneka bahan lokal, bisa menjadi aneka ragam menu baru, yang nikmat.
Selain nikmat, ragam bahan pangan lokal yang semuanya bisa diolah menjadi tepung ini, menurut Tuti, hampir semuanya bebas gluten, sehingga aman bagi mereka orang yang alergi sejenis protein yang biasa ditemukan dalam gandum ini. Namun demikian, ketiadaan gluten ini membuat ragam bahan pangan ini juga menuntut kreativitas dalam pengolahannya.
"Kalau dibuat roti tepung-tepung lokal ini memang sulit karena tidak ada glutennya sehingga jadi keras, alternatifnya dicampur sebagain dengan terigu. Kalau kue-kue basah dan kue kering, tepung-tepungan lokal, seperti tepung ganyong atau mocaf (dari singkong) rasanya bisa lebih enak," kata dia.
Kajian dari Drajat Martianto dari Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (IPB), aneka tepung lokal ini dari aspek gizi sangat baik. Misalnya, tepung ubi kayu dan ubi jalar selain tidak mengandung gluten juga memiliki kandungan beta karotin yang baik sebagai antioksidan dan kadar serat tinggi. Tepung ini juga memiliki indeks glikemik dan kadar gula rendah sehingga cocok dikonsumsi penderita diabetes.
Tepung ubi kayu dan ubi jalar selain tidak mengandung gluten juga memiliki kandungan beta karotin yang baik sebagai antioksidan dan kadar serat tinggi.
Sekalipun dari aspek gizi ternyata sangat baik, menurut Tuti, masyarakat sering merendahkan kekayaan bahan pangan lokal.
"Tahun 2008 saya membuat festival sosialisasi pangan lokal dan menyajikan mi dari singkong. Ada pejabat yang berkunjung ke stan dan mencicipinya. Awalnya dia bilang enak sekali, namun begitu dikasih tahu bahannya dari singkong langsung ditaruh lagi," kata Tuti, yang telah menulis beberapa buku tentang aneka resep makanan berbahan pangan lokal ini.
Sikap merendahkan terhadap aneka pangan lokal memang telah lama terbentuk di masayarakat kita, sebagai sisa-sisa dari mental terjajah yang selalu menganggap yang didatangkan dari luar lebih baik.
"Makanan kita telanjur dikastakan, dan yang paling rendah yang lokal," kata Tejo Wahyu Jatmiko, penggiatan kuliner lokal yang juga Koordinator Nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera.
Dia mengisahkan, suatu ketika membawa aneka macam makan-makanan tradisional seperti umbi-umbian dan sukun ke salah satu sekolah dasar di Jakarta Selatan. Saat para siswa ditanya tentang makanan itu, mereka menjawab, "Itu makanan para Mbak dan sopir. Menyedihkan literasi pangan kita," kata dia.
Itu makanan para Mbak dan sopir. Menyedihkan literasi pangan kita.
Butuh inovasi
Bagi Chef Ragil, rendahnya literasi pangan masyarakat kita merupakan tantangan berat, namun bukan berarti tidak ada peluang. "Batasannya mau atau tidak kita meningkatkan derajat pangan sendiri. Contohnya sukun, selama ini masarakat tahunya hanya digoreng atau kukus. padahal, bisa diolah macam-macam, kalau dilumatkan lebih enak dari kentang," kata dia.
Buku-buku Tuti Soenardi merupakan salah satu motivasinya untuk mengolah ragam bahan lokal pengganti beras dan terigu. Namun, selebihnya, Ragil banyak mendapatkan inspirasi dari perjalannya ke daerah-daerah dan bertemu langsung dengan masyarakat.
"Indonesia begitu kaya dengan beragam bahan pangan yang diolah menjadi aneka kuliner lokal yang khas. Namun, memang tidak mudah lagi mencarinya. Sering kalau ke daerah justru kita disuguhi makanan-makanan olahan yang bukan khas, kalau tidak nasi ya roti," kata Ragil.
Indonesia begitu kaya dengan beragam bahan pangan yang diolah menjadi aneka kuliner lokal yang khas.
Ragil biasanya blusukan ke pasar-pasar tradisional, bahkan juga ke rumah-rumah masyarakat untuk berburu bahan dan resep lokal. "Pengetahuan soal bahan dan resep makanan tradisional ini tidak pernah saya dapatkan di sekolah. Itu karena pendidikan chef kita berkiblat ke barat semua," kata dia.
Kepala Departemen S1 dan S2 Pariwisata, Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti Saptarining Wulan mengatakan, selama ini pendidikan koki dan kuliner di Indonesia memang belum memasukkan pengetahuan tentang bahan pangan lokal.
"Sejak tahun 1969 sekolah tinggi kami berdiri memang harus diakui kiblat kita ke kuliner barat, sehingga potensi pangan lokal tidak diajarkan. Baru tahun ini kami emasukkan soal tepung sagu ke dalam kurikulum pastry (kue). Setelah itu kami akan masukkan tepung sorgum dan umbi-umbian," kata dia.
Menurut Saptarining, mahasiswanya mulai kini akan diajarkan mengolah makanan berbahan tepung lokal, khususnya sagu yang potensinya berlimpah.
"Kami juga menjalin kerjasama dengan para bupati-bupati di daerah penghasil sagu agar mengirim anak-anak muda untuk belajar mengolah sagu dengan sentuhan baru," kata Saptarining, yang juga Ketua Bidang Organisasi dan Profesi Masyarakat Sagu Indonesia (Massi) ini.
Selain menjadi akademisi, Saptarining juga memiliki usaha kuliner berbasis sagu yang dinamainya Puteri Sagu. Menurut dia, antusiasme masyarakat terhadap bahan makanan yang sehat sekarang mulai tumbuh.
"Sagu bebas gluten dan rendah protein, sehingga cocok bagi anak-anak dengan autis," kata dia.
Sagu bebas gluten dan rendah protein, sehingga cocok bagi anak-anak dengan autis
Namun demikian, selama ini bahan pangan lokal ini kalah bersaing dengan tepung gandum karena tidak dikembangkan menjadi menu-menu baru. "Selama ini banyak orang tahunya sagu hanya papeda sehingga tidak semua orang bisa memakannya," kata dia.
Saptarining mengajak para pelaku usaha untuk kreatif mengolah aneka tepung lokal sehingga bisa diterima di semua kalangan, terutama di kalangan generasi zaman now, yang selera makannya telanjur dibentuk oleh citra iklan aneka bahan makanan olahan berbahan baku impor, khususnya terigu.
Menurut Saptarining, saat ini produksi mi instan berbahan terigu impor di Indonesia sudah mencapai 14 miliar kemasan per tahun. Produk mereka sudah masuk ke pedalaman dan menggeser keragaman menu lokal. Keunggulan mi instan harga jualnya murah karena didukung produksi massal. Ini menjadi tantangan kita, tidak mudah, tetapi bisa dihadapi dengan kreativitas....