Kisah Keajaiban Beras ”Selamatkan” Seorang Wartawan
Meski mengonsumsi nasi setiap hari, masyarakat tidak sadar betapa ajaibnya beras. Tidak hanya memberikan energi dan kekuatan, beras pernah ”menyelamatkan” seorang wartawan Kompas. Silakan simak kisah empirik ini.
Datangnya musim hujan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, berarti akan datang pula musim banjir. Tiga kecamatan di kabupaten ini, yakni Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang, selalu menjadi langganan banjir.
Letak geografis tiga kecamatan itu yang berada di titik terendah cekungan Bandung Raya membuat air bermuara ke sana semua.
Air tersebut mengalir dari pegunungan selatan di Kecamatan Pangalengan dan Kecamatan Kertasari serta air dari arah utara yang berasal dari Kota Bandung dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Saat daerah-daerah itu hujan deras apalagi banjir, sudah tinggal menunggu waktu saja tiga kecamatan tersebut mendapat banjir kiriman.
Belum lagi ketiga kecamatan ini adalah lokasi pertemuan arus utama Sungai Citarum dengan anak-anak sungainya dari utara ataupun selatan.
Ditambah dengan pendangkalan Sungai Citarum yang terus terjadi bertahun-tahun, membuat banjir luapan sungai sudah jadi agenda rutin tiap musim hujan.
Pada November lalu, lebih dari 2.000 rumah terendam dengan ketinggian air 30-200 meter selama hampir satu bulan penuh.
Lebih dari 1.000 warga, mulai dari anak-anak, dewasa, hingga lansia mengungsi. Derita itu seakan jadi rutinitas setiap tahun di sana.
Pada Kamis, 16 November 2017, ketika masih bertugas di Desk Nusantara yang ditempatkan di Biro Jawa Barat, saya pergi ke Kampung Cigosol, Kelurahan Andir, Kecamatan Baleendah, untuk meliput banjir.
Saya ke sana untuk mencari tahu alasan kenapa warga tetap bertahan tinggal di sana meski banjir terus merendam permukiman mereka. Padahal sebagian warga Kampung Cigosol sudah pergi meninggalkan rumahnya kosong hingga lapuk terendam air.
Berangkat dari kantor di Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, sekitar pukul 12.30, saya tiba di Kampung Cigosol sekitar satu jam kemudian.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 13 kilometer dengan sepeda motor, saya menitipkan kendaraan itu di parkiran sebuah gerai minimarket.
Sebelum menerjang masuk ke banjir, saya melipat celana parasut saya. Tidak lupa saya mengalungkan kamera SLR saya dan mengantungkan buku catatan kecil dan pena di jaket saya. Adapun ponsel dan dompet saya masukkan ke dalam tas.
Saya pun mulai masuk ke dalam perkampungan itu melalui gang kecil selebar 1 meter di balik minimarket itu.
Hari itu cuaca cerah sejak pagi sehingga meskipun masih banjir, tinggi muka air tersisa sekitar 45 cm dari sehari sebelumnya sekitar 100 cm. Tinggi muka air saat itu sedikit di atas lutut saya.
Kampung Cigosol adalah salah satu permukiman padat penduduk di Kecamatan Baleendah. Antara satu rumah dan lainnya berdempetan.
Saat itu rumah-rumah telah kosong ditinggal penghuninya. Jadi saya harus berkeliling masuk ke dalam perkampungan untuk mencari warga yang masih bertahan.
Setelah berjalan sambil menyibak air sekitar 15 menit, saya menemukan warga yang masih bertahan di rumah. Dia mengatakan, saat banjir lebih dari 1 meter merendam rumahnya, dia sekeluarga pergi ke pengungsian.
Adapun saat itu air sudah turun sehingga tidak lagi membanjiri isi rumahnya yang sudah ditinggikan 1 meter. Saat air susut, dia pergi ke rumah untuk membersihkan rumahnya.
Setelah sekitar 15 menit mewawancarainya, saya yang masih berdiri di lokasi banjir melangkahkan kaki ke depan untuk jalan.
Lalu tiba-tiba. Byur! Saya terperosok ke dalam selokan sedalam sekitar 1 meter. Saya tidak tahu di depan saya ada selokan itu karena air saat itu keruh sekali berwarna cokelat kehitaman.
Seketika itu juga basah semua badan saya. Kamera DSLR yang saya kalungkan serta tas yang membawa perlengkapan saya juga terendam air. Oh iya, tak sengaja air banjir luapan salah satu sungai terkotor sedunia itu pun terminum oleh saya. Hoeek! Pahit bukan main.
Melihat saya jatuh ke dalam selokan, warga yang tadi saya wawancarai itu langsung menarik saya keluar dari selokan itu.
Sambil tak henti meminta maaf karena lupa mengingatkan saya bahwa ada selokan, dia bergegas masuk ke rumahnya dan membawakan handuk kering.
Setelah berupaya mengeringkan barang-barang elektronik, saya langsung kembali ke kantor. Sesampainya di kantor, saya menemukan ponsel saya korslet. Kamera DSLR saya ”ngambek” tidak mau menyala.
Wah, korslet semua nih ’peralatan tempur’ , saya membatin.
Lalu tidak lama kemudian, fotografer Kompas senior, Rony Aryanto Nugroho, menjumpai saya yang sedang kalut. Dia bilang ke saya tidak perlu khawatir. Tiba-tiba dia memberikan solusi yang tidak saya duga-duga.
”Kamu timbun saja kameramu sama HP-mu di dalam beras. Diamkan sampai 3-4 hari nanti bisa betul sendiri,” ujar mas Rony sambil berlalu pergi meliput.
Saya bengong. Kok, beras? Memangnya bisa bikin kamera dan HP bisa berfungsi normal lagi?
Saya memilih percaya kepada Mas Rony yang sudah belasan tahun menjadi fotografer Kompas. Pengalaman dan sarannya sudah tidak perlu saya ragukan lagi.
Akhirnya saya meminta tolong office boy kantor untuk membelikan beras. Tak lama dia datang dengan beras seberat 5 kilogram seharga Rp 50.000 yang dibelinya di Pasar Cihapit.
Saya pun mencopot semua bagian kamera, mulai dari baterai, memori, sampai lensa. Kemudian saya timbun di dalam beras.
Begitu pula dengan ponsel saya. Semua saya lakukan sambil berharap apa yang disarankan Mas Rony ini bisa manjur.
Keesokan paginya saya mengambil ponsel saya yang sudah semalam suntuk ditimbun di dalam beras. Setelah saya nyalakan, voila! Ternyata berhasil. Ponsel saya yang kemarin sore tidak mau menyala itu bisa berfungsi normal.
Wah, lumayan! Saya tidak perlu bawa ponsel saya ke tukang reparasi. Seketika itu, muncul juga harapan bahwa kamera saya juga bisa berfungsi normal lagi.
Minggu (19/11) pagi atau tiga hari setelah ditimbun, saya ambil kamera saya dari dalam beras. Setelah membersihkan sisa beras yang masuk ke sela-sela peralatan kamera, saya pasang lagi bagian-bagian kamera itu.
Lalu saat saya nyalakan..., berhasil! Kamera saya berhasil menyala. Saya pun mencoba mengambil gambar dan berhasil. Saya coba semua fungsi kamera saya dan berfungsi seperti sediakala. Syukurlah peralatan kerja saya kembali normal seperti sediakala.
Kok, bisa, sih, ditimbun dalam beras saja kameranya langsung benar?
Jadi gini, kita semua harus berterima kasih kepada keajaiban beras. Ternyata, tidak hanya memberikan energi dari nasi yang kita makan, beras juga bisa jadi ”tukang servis” gratisan yang ampuh!
Jawabannya adalah karena beras merupakan penyerap air yang alami. Pori-pori beras menyerap air secara alami dari HP/kamera yang basah.
Selain itu, timbunan beras itu membuat suhu di dalam menjadi hangat sehingga sisa-sisa air di HP/kamera akan menguap dan HP/kamera mengering dengan sendirinya. Ketika air sudah hilang sepenuhnya, kerja elektronik bisa kembali seperti semula.
Begitulah kisah keajaiban beras yang sudah ”menyelamatkan” wartawan Kompas. Semoga menginspirasi.
https://kompas.id/baca/utama/2017/11/16/jumlah-rumah-yang-terendam-terus-bertambah/