Pasar Modal Indonesia Optimistis Berkembang pada 2018
JAKARTA, KOMPAS — Pasar modal di Indonesia optimis mampu berkembang pada 2018, meskipun di tahun ini akan ada peristiwa besar, yaitu pemilihan kepala daerah dan persiapan pemilihan presiden.
Kedua pesta politik tersebut diharapkan akan berlangsung dengan aman sehingga perekonomian tetap stabil.
Perusahaan manajer investasi PT Syailendra Capital optimis kondisi politik di Indonesia pada dua tahun ke depan tidak akan mempengaruhi perekonomian di Indonesia.
Mereka menargetkan pada akhir tahun 2018 dapat memperoleh dana pengelolaan hingga 20 triliun . Optimisme ini didasari atas peningkatan pada tahun 2017.
“Di awal tahun kami memperoleh dana pengelolaan sebesar 6,5 triliun dan meningkat menjadi 12,6 triliun di akhir tahun,” kata Presiden Komisaris PT Syailendra Capital Jos Parengkuan dalam acara Market Outlook 2018 bertajuk “New High, New Hope” di Pacific Place, Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (31/1).
Jos menambahkan, posisi pada hari ini berada pada angka 14,6 triliun. Ia berharap akan ada peningkatan pada angka 18 triliun hingga 20 triliun.
Menurut Jos, pada 2018 pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan dunia akan membaik.
Hal itu didukung dengan situasi politik yang masih stabil, suku bunga relatif rendah, dan rupiah stabil yang akan membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik lebih tinggi.
Berdasarkan pengamatan Jos, pada tahun sebelumnya ada kecenderungan pasar semakin naik karena menjelang pemilu perputaran uang lebih cepat. Kenaikan tersebut akan membantu tingkat konsumsi domestik.
Optimisme juga ditunjukkan Head of Research Strategist PT Deutsche Verdhana Sekuritas Indonesia Heriyanto Irawan. Ia mengatakan, kondisi perekonomian di Indonesia sedang lesu pada lima tahun terakhir.
Kondisi perekonomian di Indonesia sedang lesu pada lima tahun terakhir, yang ditandai dengan penurunan pendapatan per kapita.
Hal itu ditandai dengan penurunan pendapatan per kapita Indonesia. Namun, situasi tersebut tidak mempengaruhi perkembangan aktivitas ekonomi di Indonesia.
Heriyanto menjelaskan, pertumbuhan e-dagang di Indonesia cukup signifikan sehingga penciptaan lapangan kerja terus berkembang. Selain itu, adanya Transit Oriented Development (TOD) akan mempengaruhi pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Hal terpenting yang mampu menjaga pertumbuhan tersebut, yaitu tenaga kerja dan gaji yang mencukupi. “Jika keduanya dapat terjaga, maka investasi akan terus membaik,” kata Heriyanto.
Heriyanto berharap, investor tidak hanya berpegangan pada data statistik, tetapi juga mengamati perkembangan lapangan. Menurut Heriyanto, dinamika yang ada pada masyarakat akan mempengaruhi cara pandang investor dalam mengambil kebijakan.
Tahun politik
Pada 2018 akan ada perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) dan persiapan pemilihan presiden atau Pilpres 2019. Dua kegiatan tersebut dipandang tidak akan membuat kondisi perekonomian di Indonesia menurun.
Direktur Eksekutif Yunarto Wiajaya mengatakan, setiap jelang pemilu akan ada pertumbuhan ekonomi. Konflik yang muncul pada Pilkada DKI Jakarta 2017 tidak akan terjadi sebab isu SARA yang terjadi telah muncul sebelum pilkada, yaitu pada 2016.
“Isu tersebut muncul karena faktor elit politik yang ingin menjatuhkan lawan politiknya,” kata Yunarto. Mereka menggunakan isu SARA yang dikaitkan dengan ketimpangan ekonomi, pengangguran, dan penurunan daya beli.
Menurut Yunarto, isu itu tidak akan muncul di tahun 2018 karena tidak ada sosok kontroversial yang terlibat di dalamnya.
Faktor elektabilitas Joko Widodo yang telah mencapai 70 persen juga mempengaruhi stabilitas politik di Indonesia.
TNI dan Polri diharapkan tetap berada pada satu visi untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan di Indonesia sehingga stabilitas perekonomian juga akan terjaga.
Yunarto berharap, TNI dan Polri tetap berada pada satu visi untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan di Indonesia sehingga stabilitas perekonomian juga akan terjaga.
Hal serupa disampaikan wartawan senior Budiarto Shambazy. Ia berpandangan dalam waktu dua tahun ke depan, kondisi politik di Indonesia dapat lebih tenang.
Konflik besar yang terjadi pada masa lalu, kata Budiarto, sebagian besar bukan pada masa pemilihan umum (pemilu), yaitu pada 1965, 1974, dan 1998.
“Peristiwa kerusahan pada 1982 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat hanya sebuah rekayasa,” kata Budiarto.
Adapun kerusuhan yang terjadi pada 2016 lalu terjadi karena rekayasa elit politik yang ingin menjatuhkan Basuki Tjahaja Purnama karena kinerjanya yang mampu memajukan DKI Jakarta.
Oleh karena itu, jika pada 2018 dan 2019 tidak ada rekayasa dari elit politik, maka situasi politik dan perekonomian di Indonesia akan stabil.
Budiarto mengatakan, masalah terbesar yang sedang dihadapi Indonesia, yaitu pengaruh media sosial.
Ia berharap pemerintah harus memahami masalah tersebut dan TNI bersama Polri menjadi tulang punggung untuk menjaga keamanan di Indonesia. (DD08)