Lembaga Keuangan Konvensional Belum Ramah kepada Petani
JAKARTA, KOMPAS - Kemunculan berbagai perusahaan rintisan di bidang penyaluran investasi bagi pertanian menjadi kritik bahwa program peminjaman lembaga keuangan konvensional belum ramah kepada para petani. Investasi yang dilakukan perusahaan rintisan diharapkan dapat mengubah pola pikir bahwa sektor pertanian memiliki prospek bisnis yang besar.
Data dari Crowde, perusahan rintisan di bidang teknologi finansial, menyatakan, Indonesia memiliki 39,6 juta petani. Ditambah lagi, 23 persen hidup di bawah garis kemiskinan.
Staf Departemen Penguatan Organisasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Ferry Widodo menyatakan, lembaga konvensional masih belum menjawab kebutuhan modal para petani. Selama ini, kesejahteraan petani belum terjamin hingga harus menggadaikan lahan atau meminjam uang karena sulit mendapatkan pinjaman usaha.
”Perusahaan startup dapat menawarkan bunga pinjaman rendah dan syarat yang mudah. Mengapa lembaga keuangan konvensional, seperti bank, tidak melakukan hal yang sama,” kata Ferry, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (26/1).
Program pinjaman dana, seperti kredit usaha rakyat (KUR), dari bank dinilai tidak memberikan modal dengan bunga yang rendah. Padahal, agrikultural juga memerlukan dana untuk pemasaran produk.
Ia menilai jumlah perusahaan rintisan di bidang pertanian yang semakin banyak seharusnya menjadi bukti bahwa pertanian dapat menjadi industri dengan nilai investasi yang tinggi dan layak diinvestasi (bankable).
Pertanian di Indonesia, ujarnya, sebenarnya memiliki nilai investasi yang tinggi. Namun, hal yang masih menjadi momok adalah rantai penjualan komoditas yang terlalu panjang dari petani untuk sampai ke pasar serta potensi gagal panen akibat iklim dan hama.
”Keberadaan perusahaan startup bisa jadi hal baik. Apalagi, lembaga keuangan masih belum serius memberikan pinjaman kepada buruh petani,” kata Ferry.
Kendati demikian, ia menyarankan, perusahaan rintisan harus berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perusahaan rintisan diminta agar dapat menjamin petani mendapatkan modal dengan bunga yang rendah dan kepastian harga jual yang sesuai, terutama bagi petani dengan luas lahan kurang dari skala ekonomi minimal atau tak sampai 2 hektar.
Berdasarkan Sensus Pertanian 2013, jumlah mereka mencapai 22,9 juta rumah tangga atau 87,63 persen dari total rumah tangga petani. Mayoritas adalah pemilik lahan kurang dari 0,5 hektar atau petani gurem. Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan, buruh di sektor tani berjumlah lebih dari 5 juta rumah tangga.
Sistem investasi yang diterapkan pun patut melalui proses yang transparan, efisien, dan efektif agar petani dapat memahami dengan mudah. ”Jangan sampai jadi jebakan sehingga mereka harus menggadaikan aset,” kata Ferry.
Saat ini, ada beberapa perusahaan rintisan di bidang tekonologi finansial dalam sektor pertanian. Sektor pertanian meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, perburuan, serta jasa pertanian.
Contoh beberapa perusahaan rintisan yang membuat aplikasi di bidang tersebut adalah iGrow, Eragano, TaniHub, dan Crowde. Pembuatan aplikasi-aplikasi tersebut dinyatakan untuk memudahkan akses petani kepada modal dan pemilik modal untuk berinvestasi.
”Kita kebanyakan makan nasi setiap hari tetapi tidak tahu bagaimana perjuangan di baliknya,” kata co-founder dan CEO Crowde, Yohanes Sugihtononugroho, dalam press conference peluncuran aplikasi Crowde untuk Android. Ia melanjutkan, permasalahan utama yang kerap ditemui di lapangan adalah kurangnya informasi, dana, dan koneksi.
Ada banyak masalah dalam pendanaan, ujarnya. Masalahnya adalah bank belum mampu memberikan pinjaman kepada petani dengan alasan tidak memenuhi persyaratan dan petani masih terjerat tengkulak dan rentenir.
Ia menemukan petani di beberapa daerah, seperti Cianjur, Jawa Barat, tetap meminjam dana dari rentenir dengan bunga 10-15 persen per hari. Petani juga bahkan menggunakan anak-anak mereka sebagai jaminan karena keputusasaan atas terbatasnya modal.
Keberadaan perusahaan, seperti Crowde dan sejenisnya, disambut baik oleh para petani dan investor. Crowde yang didirikan pada tahun 2015 mulai menangani 7 petani dan 30 investor secara manual. Setahun kemudian, Crowde beralih ke situs serta menangani 30 petani dan 300 investor.
Tahun 2017, jumlah naik menjadi 5.000 petani di 276 desa tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah investor menjadi lebih dari 9.000 orang. Daerah mayoritas berada di Jawa Barat dan Jawa Timur.
Beberapa daerah masih belum dieksplor karena masalah budaya dan infrastruktur. Daerah seperti Kalimantan belum menjadi fokus perhatian karena memiliki budaya yang berbeda, misalnya petani di daerah itu lebih memilih menanam tanaman untuk hasil jangka panjang, sedangkan perusahaan masih berorientasi pada tanaman produksi maksimal enam bulan.
Daerah seperti Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua juga masih terkendala konektivitas. Petani di daerah tersebut memiliki potensi, tetapi tidak memiliki pasar karena masih minimnya sarana infrastruktur.
Gotong royong
Yohanes mengungkapkan, perusahaannya memilih menerapkan sistem bagi hasil dalam berinvestasi. Tujuannya agar investor juga memiliki rasa kepemilikian. ”Kami membawa semangat gotong royong. Petani adalah pusat bisnis, bukan alat,” ujarnya.
Ia mencontohkan, investasi dapat dilakukan dengan mudah, minimal Rp 10.000. Profil petani, kebutuhan dana, dan perkiraan panen akan disertakan dalam aplikasi. Setelah investor menyetorkan dana, mereka dapat memantau perkembangan investasi mereka.
Investor dapat memperoleh keuntungan sekitar 10 persen dari investasi yang dilakukan walaupun jumlah akan berbeda bergantung dari ketentuan bagi hasil yang diinginkan petani. Crowde akan mendapatkan komisi 3 persen setiap transaksi dilakukan.
Menurut dia, terdapat 10 komoditas utama yang menjadi bahan investasi. Komoditas itu adalah sapi, bebek, domba, cabai, kentang, padi, wortel, udang vaname, ubi jalar, dan ayam broiler.
”Tetapi, investor harus diingatkan, investasi ada untung ruginya,” kata Yohanes. Investor disarankan membagi uang ke berbagai investasi yang potensial, misalnya tidak berinvestasi cabai pada musim hujan atau justru berinvestasi sapi menjelang perayaan Idul Adha.
Seleksi
Pemilihan petani untuk diajak bekerja sama berdasarkan ketentuan yang dimiliki setiap perusahaan. Crowde, misalnya, menyatakan, selama ini kebanyakan petani, kebanyakan buruh tani, yang berinisiatif menawarkan kerja sama ataupun atas rekomendasi koperasi di daerah.
”Kami akan ke lapangan untuk mengecek potensi dan kemampuan mereka. Yang terpenting adalah rekam jejak dan pengetahuan mereka, apa yang harus ditanam dan kapan,” kata Yohanes. Pengawasan secara berkala mengenai progres penanaman akan dilakukan oleh sekitar 500 koperasi ataupun universitas yang telah diajak bekerja sama dan 103 partner di daerah-daerah tersebut.
Crowde menargetkan untuk mengakomodasi 100.000 petani dan 30.000 hingga 50.000 investor pada tahun 2018. Target jumlah dana yang disalurkan adalah Rp 100 miliar. (DD13)