Advokat, Membela Klien atau Membela Kebenaran?
“Politik? Membosankan? Politik adalah sejarah yang bersayap! Wilayah kegiatan manusia apa lagi yang membangkitkan sifat termulia dalam jiwa manusia, sekaligus semua sifatnya yang terhina? Atau yang begitu menggairahkan atau yang lebih gamblang menyingkapkan kekuatan dan kelemahan kita? (Robert Harris dalam novel Imperium).
Imperium bercerita tentang Marcus Tullius Cicero, advokat dan senator Romawi. Romawi mengenal Cicero sebagai ahli siasat, senator, dan sekaligus seorang advokat handal yang memiliki kemampuan retorika luar biasa. Ia masuk ke dunia politik Romawi Kuno dengan idealismenya dalam bidang hukum dan konstitusi, selain juga kecakapannya dalam filsafat yang sedikitnya berhasil menggetarkan Gaius Verres, Gubernur Romawi yang korup di eranya.
Harris dalam novelnya menggambarkan pergulatan akal Cicero dalam membela seorang pria tua Sisilia yang menjadi korban perampokan Gubernur Verres. Cicero, advokat yang bukan siapa-siapa itu, menentang Verres yang korup. Namun, sekali-kali ia bukanlah seorang gagah berani yang asal-asalan “berani mati,” melainkan ia lihai menegang dan melonggarkan siasat dengan penuh kecerdikan. Argumentasinya dan pembelaannya mencengangkan, karena selain cerdik pandai, ia juga seorang orator ulung.
Kecerdikan yang bagaimana mestinya bisa dilakukan oleh advokat dalam membela kliennya di masa kini? Cicero, manusia yang hidup di era sebelum Masehi, setidaknya telah memberikan gambaran, keadilan dan kebenaran yang seharusnya menjadi patokan.
Di Tanah Air, imajinasi tentang advokat yang memegang teguh prinsip kebenaran dan keadilan itu agaknya mulai kabur. Dari catatan Kompas, sepanjang tahun 2016 saja, ada empat advokat yang ditangkap KPK dalam kasus suap. Bila angka itu ditambahkan dengan Fredrich Yunadi, mantan kuasa hukum Setya Novanto, yang ditangkap KPK awal Januari 2018, maka jumlahnya menjadi lima orang dalam dua tahun terakhir. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, sudah ada 22 advokat ditangkap KPK sejak lembaga antirasuah itu berdiri.
Kasus Fredrich Yunadi yang disangka menghalangi atau merintangi penyidikan KPK terhadap Novanto pun menjadi diskusi hangat di kalangan advokat. Ketua Tim Bantuan Hukum yang ditunjuk Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Seluruh Indonesia (DPN Peradi) untuk membela Frfedrich, Sapriyanto Refa, menyebut penetapan tersangka terhadap Fredrich yang berujung pada penangkapan, 12 Januari malam, merupakan kriminalisasi terhadap profesi advokat.
Fredrich disangka menghalangi penyidikan KPK baik secara langsung maupun tidak langsung melalui serangkaian peristiwa yang terjadi pertengahan November 2017. Rangkaian peristiwa itu bermula dari “hilangnya” Novanto dari rumahnya di Jalan Wijaya XIII, Jakarta Selatan, 15 November 2017, ketika penyidik KPK akan menangkapnya.
Pada 16 November sore, KPK menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO) atas nama Novanto. Namun, malam harinya, sekitar pukul 19.00, KPK menerima informasi adanya kecelakaan yang melibatkan kendaraan yang ditumpangi Novanto di Jalan Permata Berlian, Jaksel. Mobil Toyota Fortuner yang dikemudikan oleh jurnalis Metro TV M Hilman Mattauch menabrak tiang penerangan di Jalan Permata Berlian. Ada Novanto dan ajudannya, Reza Pahlevi, di dalam kendaraan itu. Novanto mengalami luka di kening bagian kiri dan dilarikan ke Rumah Sakit Medika Permata Hijau.
Rangkaian peristiwa pada pertengahan November itu diduga penuh rekayasa, sebab KPK memeroleh keterangan dan bukti yang menunjukkan Fredrich telah lebih dulu memesan kamar di RS Medika Permata Hijau. Padahal, saat itu Novanto belum diketahui sakit apa, dan kecelakaan belum terjadi. Tidak tanggung-tanggung, Fredrich disebutkan memesan satu lantai RS untuk Novanto. Pada akhirnya, Fredrich hanya memeroleh tiga kamar untuk Novanto.
Ini bukan kriminalisasi, sebab pasalnya ada, dan sudah pernah kami terapkan. Artinya ini bukanlah menyatakan sesuatu yang bukan kriminal menjadi kriminal, sebab semua sudah ada aturannya
Berdasarkan Pasal 21 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK juga menetapkan dokter yang menangani Novanto di RS Medika Permata Hijau, Bimanesh Sutarjo, sebagai tersangka. Bimanesh bersama Fredrich disangka memanipulasi rekam medis Novanto guna memasukkannya ke dalam RS, sehingga menghindarkannya dari penyidikan oleh KPK.
Pasal 21 UU Pemberantasan Tidak Pidana Korusi menyatakan, "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta."
Peran advokat
KPK menampik tuduhan kriminalisasi terhadap profesi advokat. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan meminta publik berhati-hati dengan penggunaan kata-kata “kriminalisasi” sebab kata itu bermakna menjadikan sesuatu yang awalnya bukan kriminal menjadi kriminal.
“Ini bukan kriminalisasi, sebab pasalnya ada, dan sudah pernah kami terapkan. Artinya ini bukanlah menyatakan sesuatu yang bukan kriminal menjadi kriminal, sebab semua sudah ada aturannya,” kata Basaria.
Profesi apa pun, menurut Basaria, harus menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan beritikadi baik. Penetapan tersangka kepada diri Fredrich didasari alasan kuat, sebab KPK telah memiliki bukti-bukti.
“Semua profesi harus dijalankan dengan itikad baik, dan tidak melangar hukum,” imbuh Febri Diansyah, juru bicara KPK.
Dari pihak advokat, Ketua Dewan Pembina Peradi Otto Hasibuan, Sabtu (20/1) di Jakarta, mempertanyakan tuduhan “merintangi penyidikan” yang ditujukan kepada Fredrich. Sebab, sejauhmana upaya advokat membela hak-hak kliennya itu bisa disebut sebagai menghalangi atau merintangi penyidikan. Apalagi peran advokat di dalam UU Advokat ditujukan untuk membela orang atau pencari keadilan yang dituduh melakukan kejahatan.
Posisi advokat di dalam sistem hukum Indonesia ialah untuk memastikan pencari keadilan mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Apabila tidak ada pengacara, penegak hukum bisa mengabaikan hak-hak tersangka, misalnya dengan penyiksaan, intimidasi, pemaksaan, dan tindakan-tindakan lain yang melukai hak-hak subyek hukum.
Posisi advokat di dalam sistem hukum Indonesia ialah untuk memastikan pencari keadilan mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara
“Hal ini yang harus diluruskan kepada publik. Advokat tidak identik dengan kliennya. Jadi, ketika advokat membela kliennya yang dituduh korupsi, bukan berarti pula advokat itu adalah koruptor atau mendukung korupsi. Itu dinyatakan juga di dalam kode etik. Tidak penting siapa yang dibela, tetapi bagaimana pembelaan itu dilakukan. Kalau pembelaan dilakukan dengan cara-cara yang salah, sekalipun orang yang dibela adalah tokoh, hal itu tidak bisa dibenarkan,” kata Otto.
Tidak cukup hanya dalam pengertian sempit membela hak-hak kliennya, advokat juga adalah seorang penjaga konstitusi. Sebab ia berada dalam posisi untuk turut pula melindungi hak-hak warga negara, sekaligus memastikan kebenaran itu terungkap, dan tidak menghukum orang yang tidak bersalah. Untuk mencapai tujuan itu, menurut Otto, seorang advokat haruslah pintar, sekaligus baik.
Dengan memahami posisi advokat, secara alamiah peran advokat memang merintangi penyidikan dalam artian positif. “Jika penyidik melakukan intimidasi, atau misalnya dalam pembuatan BAP tidak ditulis sesuai dengan keterangan tersangka, advokat bisa melarang tersangka menandatangani BAP. Jika itu yang dilakukan oleh advokat, itu bisa juga dinilai menghalangi penyidikan, tetapi dalam artian yang positif, agar tidak ada penyidikan yang melanggar hak-hak tersangka,” kata Otto.
Advokat juga membela kebenaran dengan memastikan semua pihak yang terlibat dalam proses hukum itu berjalan dalam koridor yang semestinya. Pembelaan advokat terhadap kliennya harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak melenceng dari kaidah hukum.
Hak imunitas atau kebal hukum yang dimiliki seorang pengacara pun disertai syarat bahwa saat dia menjalankan tugasnya itu dilandasi itikad baik. “Kalau advokat menjalankan tugasnya tidak disertai itikad baik, ia kehilangan hak imunitasnya,” katanya.
Dalam kasus Fredrich, perbuatannya membela kliennya, menurut Otto, harus ditelisik lebih jauh apakah cara yang digunakannya sesuai koridor hukum, dan bertujuan melindungi hak-hak klien, ataukah telah melenceng dari kaidah yang semestinya.
“Jangan sampai setiap upaya yang dilakukan advokat untuk membela kliennya itu dimaknai merintangi penyidikan,” ujar Otto yang pernah membela Jessica Kumolo Wongso dalam kasus kopi bersianida.
Kritisi terhadap peran advokat disampaikan Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur yang melihat pembelaan berlebihan kelompok advokat terhadap Fredrich justru mencemarkan nama baik profesi advokat.
Dalam kasus yang disangkakan kepada Fredrich, misalnya, apakah merekayasa klien agar bisa masuk rumah sakit itu merupakan suatu upaya pembelaan yang sesuai dengan UU Advokat? Apakah juga memanipulasi rekam medis klien itu termasuk ke dalam upaya pembelaan yang sesuai dengan UU Advokat?
“Kalau memang perbuatan yang disangkakan kepada Fredrich itu benar, tentu perbuatannya itu tidak sesuai dengan tugas yang diberikan UU Advokat. Tidak hanya sanksi pidana yang bisa diberikan, tetapi juga sanksi etik yang semestinya harus diambil oleh Peradi,” kata Isnur.
Kasus yang menimpa Fredrich Yunadi setidaknya menegaskan kembali peran sentral advokat dalam penegakan hukum, sekaligus membuka pertanyaan mendasar tentang kesetiaan profesi ini pada kebenaran.
Advokat masa kini, seperti halnya Cicero di era Romawi Kuno, semestinya juga gemas pada korupsi. Dalam salah satu persidangannya menghadapi Verres, ia mengatakan, “Kasus Verres akan menentukan apakah mungkin, dalam sidang pengadilan yang terdiri atas para senator ini, seseorang yang benar-benar bersalah dan benar-benar kaya dapat dihukum. Karena seluruh dunia tahu, perbedaan Verres dengan orang lain hanyalah dalam hal kejahatannya yang mengerikan dan kekayaannya yang melimpah. Oleh karena itu, jika dia dinyatakan tidak bersalah, tak mungkin kita membayangkan penjelasan apapun selain alasan yang paling memalukan.”