Beda Nasib dengan Budi Gunawan, Pengacara: Setya Novanto Anak Tiri
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski sama-sama mengalahkan KPK di sidang praperadilan, tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik yang juga Ketua DPR Setya Novanto merasa berbeda nasib dengan mantan tersangka di KPK lainnya, seperti Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal (Pol) Budi Gunawan atau mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo. Baik Budi Gunawan maupun Hadi Poernomo pernah mengalahkan KPK di praperadilan.
Keduanya mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan status tersangka oleh KPK dan dikabulkan oleh hakim yang menyidangkannya. Setelah Budi Gunawan dan Hadi Poernomo memenangi praperadilan, tak seperti terhadap Setya Novanto, KPK tak kunjung menetapkan Budi Gunawan dan Hadi Poernomo sebagai tersangka lagi. Sementara terhadap Setya Novanto, KPK kembali menetapkan Ketua Umum Partai Golkar tersebut sebagai tersangka.
Setya Novanto memang mengajukan kembali permohonan praperadilan atas penetapan statusnya sebagai tersangka lagi oleh KPK. Sidang praperadilan yang dimohonkan Setya Novanto dijadwalkan akan digelar pada 30 November di Pengadilan Negeri Jakarta. Namun, pengacara Setya Novanto, Otto Hasibuan, mengatakan, sekalipun di praperadilan nanti Novanto kembali menang, penyidik KPK akan tetap mengejarnya dengan penyidikan baru.
”Karena nasibnya lain. Nasib dia berbeda dengan Budi Gunawan atau Hadi Poernomo yang penyidikannya dihentikan. Dia ini (Novanto) anak kuwalon (anak tiri). Mereka (Budi Gunawan dan Hadi Poernomo) anak emas,” ujar Otto yang mempertanyakan mengapa kasus Budi Gunawan dan Hadi Poernomo saat kalah di praperadilan tidak diteruskan KPK dengan penyidikan baru.
Dia ini (Novanto) anak kuwalon (anak tiri). Mereka (Budi Gunawan dan Hadi Poernomo) anak emas.
Sejak KPK resmi mengumumkan status Setya Novanto sebagai tersangka lagi pada 10 November, lembaga antirasuah tersebut bergerak cepat. Meski Setya Novanto ataupun pengacaranya berusaha melawan, termasuk dengan mengabaikan panggilan pemeriksaan sebagai saksi ataupun tersangka, hingga melaporkan kedua pimpinan KPK ke Bareskrim Polri, KPK tak menghentikan laju penyidikan terhadap politisi yang dikenal licin ini.
KPK bahkan menjemput paksa Setya Novanto pada Rabu (15/11) malam di rumah pribadinya. Tak menemukan Setya Novanto, keesokan harinya KPK memasukkan Setya Novanto dalam daftar pencarian orang (DPO). Pada hari yang sama, Setya Novanto kecelakaan dan harus dirawat di rumah sakit, tetapi KPK cepat tanggap.
Penyidik KPK memindahkan perawatan Setya Novanto dari RS Medika Permata Hijau ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan meminta pemeriksaan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Setelah hasil pemeriksaan tim dokter RSCM dan IDI menyimpulkan Setya Novanto bisa menjalani pemeriksaan, KPK langsung menahannya di Rutan KPK pada Minggu (19/11).
Selang sehari setelah menghuni Rutan KPK, pada Selasa (21/11) Setya Novanto langsung menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. Hari ini Setya Novanto kembali diperiksa sebagai tersangka.
Menurut Otto, kliennya menjawab 48 pertanyaan yang diajukan penyidik KPK. Ia ditanyai seputar pengetahuannya soal pengadaan KTP elektronik dan peran serta tugasnya sebagai Ketua DPR.
Otto yang mendampingi Novanto saat diperiksa penyidik KPK selama hampir lima jam mengatakan, kliennya menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh penyidik.
”Dia (Novanto) masih terlihat lemas, tetapi tadi dia bilang mau menjawab semua pertanyaan penyidik sekarang sehingga semuanya pun dijawab. Ada 48 pertanyaan yang diajukan penyidik dengan kooperatif,” kata Otto.
Kliennya itu juga sempat mengeluhkan sakit perut. ”Tadi perutnya sakit. Mungkin karena salah makan semalam. Untung tadi penyidik memberinya obat,” ujar Otto.
Kendati telah menjawab 48 pertanyaan, Otto mengaku masih belum jelas arah dugaan tindak pidana yang disangkakan kepada Novanto. Berpatokan pada sangkaan KPK, Novanto diduga melanggar Pasal 2 (UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor) tentang pelanggaran hukum dan Pasal 3 tentang penyalahgunaan wewenang.
”Belum jelas in konkrito (secara konkret) apa pidana yang dilakukan Pak Novanto. Tadi juga masih belum jelas arahnya karena masih soal hal-hal umum saja. Saya pikir masih diperlukan pemeriksaan lagi untuk beliau,” tutur Otto.
Belum jelas in konkrito (secara konkret) apa pidana yang dilakukan oleh Pak Novanto. Tadi juga masih belum jelas arahnya karena masih soal hal-hal umum saja.
Berdasarkan Pasal 65 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pihak Novanto akan mengajukan ahli dan saksi yang meringankan untuk diperiksa KPK. Pasal 65 itu berbunyi, ”Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.”
Permintaan untuk mendatangkan ahli dan saksi yang meringankan itu, lanjut Otto, diperbolehkan dan disetujui KPK. Nama-nama siapa saja yang akan memberikan keterangan untuk Novanto itu telah disusun dan akan diserahkan kepada KPK untuk dijadwalkan pemeriksaan.
Saat ditanyai tentang siapa saja yang akan dijadikan ahli dan saksi meringankan bagi Novanto, Otto antara lain menyebut dari kalangan DPR. Namun, tidak detail nama anggota DPR yang akan dihadirkan. Selain itu, pihak Novanto juga akan menghadirkan ahli hukum dan hukum tata negara.
”Pihak DPR, ya, yang saya kira akan bisa menjadi saksi karena mereka, kan, tahu pasti bagaimana proyek itu (KTP-el) dilakukan,” kata Otto.
Selain itu, Otto juga mendapatkan permintaan dari pengurus Partai Golkar, seperti Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, untuk bertemu dengan Novanto. Akan tetapi, permintaan itu belum bisa dipenuhi karena Novanto masih diperiksa.
”Tadi saya sudah sampaikan kepada KPK soal keinginan Pak Idrus Marham selaku Plt Ketua Umum Golkar untuk menemui Pak Novanto. KPK mengatakan sebaiknya dibuat surat permohonan untuk bertemu Novanto dulu, jangan datang langsung. Jadi, nanti akan dibuat surat permohonan,” katanya.
Sejak ditahan di Rumah Tahanan KPK, Minggu kemarin, Novanto baru dijenguk oleh istrinya, Deisti Astriani Tagor. Pengurus Partai Golkar juga belum bisa menjenguk Novanto. Sejak 21 November, Deisti juga telah dicegah KPK bepergian ke luar negeri untuk memudahkan penyidikan dugaan korupsi pengadaan KTP-el.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, penyidikan KTP-el ini masih terus berjalan. ”Saat ini ada dua tim yang berjalan paralel. Tim dari biro hukum ditugasi untuk mempelajari dokumen praperadilan yang telah diterima KPK, termasuk salah satu alasan pihak SN bahwa penyidikan yang dilakukan KPK adalah nebis in idem (perkara hukum yang sama dengan yang telah diputus),” kata Febri.
Febri mengatakan, tim di penindakan tetap menangani pokok perkara. KPK tidak ingin tergesa-gesa dalam menangani kasus KTP-el. ”Kami tetap akan melakukan penyidikan dengan hati-hati dan menjadikan kekuatan bukti sebagai tolok ukur utama,” katanya.